Topswara.com -- Tindakan zionis Yahudi yang menyerang Gaza dan telah menewaskan lebih dari 11.000 orang di wilayah tersebut terus menuai kecaman dunia. Aksi boikot terhadap produk-produk yang terkait dengan zionis Yahudi pun diserukan di hampir semua negara mayoritas Muslim termasuk Indonesia.
Namun seruan boikot tersebut tidaklah datang dari negara, tetapi datang dari masyarakat. Terdapat ratusan daftar produk prozionis Yahudi yang masuk ke dalam daftar boikot karena perusahaan dari produk-produk tersebut diyakini memberi sokongan dana untuk serangan zionis Yahudi ke Palestina.
Di antaranya Mc.Donald, KFC, Burger King, Starbuck, Pizza Hut dan lain-lain. Tidak hanya produk makanan, tetapi juga produk kebersihan, kosmetik, fashion hingga restoran.
Bahkan baru-baru ini, MUI (Majelis Ulama Indonesia) menerbitkan fatwa baru, yakni fatwa Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Palestina. Dalam fatwa tersebut tertuang bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib. Sebaliknya, mendukung Israel dan mendukung produk yang dukung Israel hukumnya haram.
Seruan boikot yang di kampanyekan beberapa kalangan terhadap produk-produk zionis Yahudi patut diapresiasi sebagai bentuk perlawanan terhadap institusi penjajah tersebut.
Karena hal tersebut telah menggambarkan terwujudnya kesadaran individu masyarakat di negeri-negeri Muslim untuk membela Muslim Palestina. Umat melakukan apa yang mereka mampu, terlebih ketika menyaksikan negara tidak melakukan pembelaan yang lebih nyata atas nasib Muslim Palestina.
Bahkan seruan boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan zionis Yahudi telah mampu mendorong ormas Islam di negeri ini untuk mengeluarkan Fatwa. Namun yang perlu dicatat bahwa dari sisi perdagangan ekonomi, entitas Yahudi lebih banyak bergantung kepada negara-negara non-Muslim.
Andai pun seluruh rakyat dan pemerintah memboikot produk entitas Yahudi, maka tidak akan signifikan terhadap ekspor institusi. Apalagi selama ini, seruan boikot hanya lahir dari masyarakat dan bukan dari negara. Sehingga dampaknya lebih kecil.
Andai seruan tersebut dilakukan oleh negara, tentu akan efektif. Sebab, negara adalah pemilik kekuasaan yang memiliki pengaruh kuat di tengah-tengah masyarakat bahkan tidak hanya menyerukan boikot terhadap produk terafiliasi zionis Yahudi, negara juga mampu mengambil tindakan menutup perusahaan-perusahaan terkait dan dalam kondisi seperti itu pastinya mereka akan mengalami kerugian.
Lebih jauh dari itu, dalam konteks boikot terhadap perusahaan yang mendukung zionis, negeri-negeri Muslim harusnya mampu menghentikan pemberian pasokan energi dan pasokan penting ke entitas zionis Yahudi. Pasalnya, zionis Yahudi sangat bergantung pada pasokan energi dari negeri-negeri Muslim, seperti Turki.
Namun tampaknya semua itu mustahil dilakukan oleh negeri-negeri Muslim saat ini. Sebab, penguasa-penguasa Muslim saat ini telah menjadi kaki tangan negara-negara Barat yang secara nyata mendukung eksistensi zionis Yahudi bahkan menjadi penyokong utama persenjataan zionis Yahudi.
Maka tak heran, jika penguasa negeri-negeri Muslim hanya berani mengecam dan mengecam, tidak ada satu pun negara-negara Muslim yang berani memobilisasi militernya untuk menolong kaum Muslim di Palestina.
Tidak adanya upaya penguasa negeri-negeri Muslim mengikuti langkah milisi, yakni mengirimkan balasan serangan disebabkan adanya rasa nasionalisme di negeri-negeri kaum Muslim. Padahal, dahulu kaum Muslim bersatu di bawah kekuasaan daulah khilafah.
Namun adanya perjanjian Sykes-Picot membuat kaum Muslim terkotak-kotak menjadi nasion state. Tujuannya agar kaum Muslim tidak memiliki perasaan bersatu kembali. Maka, Barat menumbuhsuburkan paham nasionalisme di benak-benak kaum Muslim.
Pan Arabisme adalah salah satu cikal bakal penanaman nasionalisme di negeri Muslim. Sehingga, mereka merasa berbeda dengan kaum Muslim lainnya dan Barat mudah untuk menguasai dan mengendalikan kaum Muslim di bawah kekuasaannya. Karena itulah, tidak ada tentara atau perlawanan dari penguasa Muslim atas kebiadaban zionis Yahudi dan para sekutunya.
Sejatinya, nasionalisme tidak pernah dikenal oleh umat Islam. Kaum Muslim tidaklah tersekat-sekat, namun bersatu layaknya satu tubuh. Jika satu bagian tubuh tersakiti, maka bagian tubuh yang lain akan ikut merasakan sakitnya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-Hujurat ayat 10,
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا ٱلْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†ُونَ Ø¥ِØ®ْÙˆَØ©ٌ
"Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara."
Dahulu, kaum Muslim bersatu di bawah naungan khilafah. Khilafah adalah negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Khilafah akan menjadi junnah (perisai) bagi kaum Muslim.
Khilafah akan melindungi kaum Muslim dari bahaya, dari serangan musuh dan semua hal yang mengancam kaum Muslim. Inilah penjelasan Imam An-Nawawi terhadap hadis,
"Sesungguhnya Al-Imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya." (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud).
Dengan adanya khilafah, maka kaum Muslim Palestina tidak akan mengalami kehinaan dan kenestapaan seperti hari ini. Mereka tidak akan terusir kedua kalinya sebagaimana peristiwa Nakba 1948.
Sekolah, rumah sakit, rumah tinggal dan fasilitas publik mereka tidak akan dibombardir oleh rudal-rudal zionis Yahudi. Mereka akan mendapatkan kesejahteraan hidup dan perlindungan dari khilafah. Sebab khilafah paham bahwa tanah Palestina adalah tanah milik kaum Muslim.
Tanah Palestina adalah tanah kharajiyah yang ditaklukkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Uskup Agung Al-Quds Saphronius sendirilah yang menyerahkan kunci kota kepada Khalifah Umar. Tanah Palestina telah disirami oleh darah-darah para syuhada pasukan Panglima Salahuddin Al Ayyubi ketika beliau merebut kembali Al-Quds dari penjajahan tentara salib.
Tanah Palestina juga senantiasa dijaga dengan jiwa raga para khalifah terdahulu. Salah satu buktinya adalah ultimatum Sultan Abdul Hamid II kepada Teodore Hezrl agar jangan sekali-kali berani meminta tanah Palestina.
Oleh karena itu, arahan perjuangan kaum Muslim untuk Palestina harusnya satu suara, yakni berjuang untuk menegakkan kembali negara pelindung bagi umat Islam, yaitu daulah khilafah. Sebuah negara yang tanpa ampun akan menghabisi kebiadaban zionis Yahudi dan para sekutunya.
Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar