Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bencana Banjir Berulang, Antisipasi Lamban


Topswara.com -- Dilansir dari
Liputan6.com, Jakarta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta melaporkan setidaknya ada 54 RT di Ibu Kota yang terendam banjir akibat hujan yang melanda wilayah DKI dan sekitarnya sejak Sabtu, 4 November 2023 hingga Minggu (5/11/2023).

Bencana banjir ini bukan perkara baru. Nyaris setiap musim penghujan bencana banjir pasti jadi langganan. Risiko ekonomi dan sosial yang ditimbulkan pun sudah tidak terhitung lagi. Sementara masyarakat dipaksa menerima keadaan, dengan dalih semua terjadi lantaran faktor alam.

Padahal, penyebab banjir tidak semata faktor alam. Ada banyak hal yang harus dievaluasi dari perilaku manusia, utamanya terkait budaya dan kebijakan struktural dalam pembangunan. Begitupun dengan dampak yang ditimbulkan. 

Seringkali negara gagap melakukan mitigasi bencana sehingga berbagai dampak tidak terantisipasi sebaik-baiknya.
Para penguasa sejauh ini malah sibuk berpolemik saat bencana sudah terjadi. 

Alih-alih mencari solusi, masing-masing sibuk mencari kambing hitam, bahkan menjadikannya sebagai bahan untuk saling serang. Wajar jika PR soal banjir tidak pernah kelar. Bahkan eksesnya makin besar dan sulit diselesaikan.

Sebetulnya, mudah untuk memahami bencana banjir, bahkan bencana lainnya bersifat sistemis dan harus diberi solusi sistemis. Faktor cuaca ekstrem misalnya, ternyata terkait dengan isu perubahan iklim yang dipicu perilaku manusia yang kian niradab terhadap alam, termasuk akibat kebijakan pembangunan kapitalistik yang eksploitatif dan tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan.

Curah hujan yang tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi.

Meluasnya bencana banjir justru menunjukkan gurita kapitalisme makin mencengkeram. Eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi faktanya memang kian tidak terkendali. 

Permukaan tanah pun makin turun akibat konsumsi air tanah untuk penunjang fasilitas hunian-hunian elit dan industrialisasi. Begitu pun dengan sungai. Volumenya makin menyempit akibat melimpahnya produksi sampah dan sedimentasi dampak hunian di bantaran kali.

Mirisnya, semua terjadi di hadapan mata para penguasa. Bahkan, sebagian besarnya terjadi secara legal atas nama pembangunan yang abai terhadap tata ruang dan tata wilayah, sangat profit oriented, cenderung pragmatis, dan mengedepankan ego sektoral.

Hal ini niscaya karena negara dan para penguasa merepresentasikan kepentingan para pengusaha. Bagi mereka, keuntungan materi adalah segalanya, maka soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan di masa depan, bukan urusan!
Kalaupun mitigasi bencana dilakukan, tampak semuanya sekadar upaya cuci tangan. 

Artinya, tidak benar-benar berusaha menyentuh akar persoalan. Terlebih soal mitigasi ternyata sangat multisektoral, mulai soal pendidikan, litbang, teknologi, infrastruktur, regulasi atau kebijakan, dan tentunya butuh dana besar. Padahal semuanya masih menjadi problem besar bagi negara yang sudah tenggelam dalam utang. Sementara para kapitalis, pasti punya hitung-hitungan.

Sejatinya, dunia ini butuh sistem Islam karena paradigma sistem Islam bertentangan secara diametral dengan sistem kapitalisme yang diterapkan sekarang. Dalam sistem kapitalisme, kebijakan penguasa yang merepresentasi kepentingan para pemilik modal justru jadi sumber kerusakan, sementara sistem Islam lahir dari keimanan dan ketundukan pada Zat Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam.

Ajaran Islam benar-benar mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Adab terhadap alam bahkan dinilai sebagai bagian dari iman.

Fungsi kekhalifahan adalah refleksi dari fungsi penghambaan, maka siapa pun yang melakukan kerusakan terhadap keseimbangan alam dianggap sebagai pelaku kejahatan dan dinilai sebagai bentuk kemaksiatan.

Penguasa dalam Islam betul-betul berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Semuanya bisa berjalan saat syariat Islam diterapkan secara keseluruhan. Syariat inilah yang mengatur halal haram, alias yang boleh dan terlarang hingga kerahmatan bisa dirasakan oleh seluruh alam.

Islam misalnya, menetapkan sumber daya alam termasuk hutan, sungai, dan tambang sebagai milik rakyat. Islam mengatur soal penggunaan tanah dan pentingnya memperhatikan tata ruang. 

Lalu memberikan kewenangan pengelolaannya kepada negara sebagai pemelihara urusan rakyat, seraya dengan tegas melarang eksplorasi dan eksploitasi secara serampangan sebagaimana biasa dilakukan dalam sistem sekarang.

Itulah kenapa saat sistem Islam ditegakkan, tidak pernah terjadi bencana yang penyebabnya di luar faktor alam. Oleh karena itu, seluruh bencana yang terjadi pada masa itu statusnya benar-benar sebagai musibah dan ujian, bukan dampak dari kerakusan dan niradab manusia terhadap lingkungan.

Wallahu alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar