TopSwara.com -- Mahalnya berbagai komoditas pangan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, menjadikan beban hidup semakin berat. Lemahnya kondisi perekonomian negeri nyatanya telah membuat rakyat semakin kelimpungan. Mereka harus mengencangkan ikat pinggang karena pendapatan yang makin menyusut di tengah biaya hidup makin membumbung.
Mirisnya lagi, saat kondisi ini belum tertangani, bantuan sosial untuk rakyat justru dikurangi. Sebagaimana yang dilansir dari cnnindonesia.com (30/10/2023), pemerintah memangkas 690 ribu keluarga penerima bantuan sosial (bansos) beras 10 kg per bulan dari 21,35 juta ke 20,66 juta. Jumlah tersebut dikurangi berdasarkan hasil evaluasi Badan Pangan Nasional (Bapanas) bersama pihak-pihak terkait.
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapenas, Racmi Widiriani, mengatakan bahwa koreksi data penerima berdasarkan validasi dari Kementerian Sosial. Ia menyebutkan bahwa ada beberapa penerima manfaat sebelumnya yang kini sudah meninggal dunia, pindah lokasi, maupun dianggap sudah mampu. Menurutnya upaya ini penting untuk menjaga kualitas produk pangan tersebut tetap terjaga hingga sampai di tangan penerima bantuan.
Negara Abai
Bila kita mencermati alasan pengurangan bansos beras tersebut, maka hal itu layak untuk dipertanyakan. Kalaupun penerima bansos pindah tentunya juga masih di Indonesia. Apakah dengan pindah lantas ia menjadi mampu?
Bila dikatakan penerima bansos yang kini telah menjadi mampu, benarkah seperti itu? Padahal, kondisi ekonomi sedang lesu, banyak usaha yang gulung tikar dan melakukan PHK, pengangguran di mana-mana, biaya-biaya naik, sementara penghasilan tetap. Yang benar adalah orang miskin justru bertambah. Kalau dikatakan dengan penghasilan Rp500 ribu per bulan sebagai orang mampu, sepertinya hal itu tak sesuai dengan kenyataan. Jumlah segitu sangatlah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama sebulan. Apalagi jika anaknya banyak, jangankan mampu, cukup saja masih jauh.
Sesungguhnya penyaluran bansos ini telah sejak lama memiliki banyak masalah. Mulai dari tidak semua keluarga miskin mendapatkan, tidak tepat sasaran, adanya penyunatan dana bantuan, bahkan sampai praktik korupsi di lembaga sosial.
Sungguh memprihatinkan. Negara abai dengan keadaan yang menimpa rakyatnya. Di tengah kondisi susah ini, negara malah mengurangi hak rakyat. Itu pun sebenarnya juga tidak mencukupi. Bantuan sosial yang diberikan seakan hanya pelipur lara sesaat. Padahal, biaya hidup makin meningkat dari waktu ke waktu. Belum lagi berbagai pajak yang juga harus dibayar oleh rakyat. Sudahlah hak tak diberi secara layak, rakyat masih harus menanggung tingginya biaya kehidupan. Rakyat seperti berjalan sendiri tanpa ada sokongan yang berarti dari negara.
Ironisnya, hal ini terjadi di negeri yang kaya dengan SDA. Kekayaan alam yang melimpah di negeri ini tak mampu dikelola dengan baik. SDA yang menjadi milik rakyat justru dimiliki oleh swasta dan asing untuk kepentingan para kapitalis. Alih-alih mengelola SDA untuk kebutuhan rakyat, negara justru membiarkannya dikuasai oleh korporat. Tentu saja, keuntungan mengalir ke kantong-kantong para pemilik modal. Sedangkan rakyat yang menjadi pemilik sah SDA justru hidup sudah dan melarat.
Inilah dampak penerapan sistem Kapitalisme sekularisme yang membuat kapitalis berkuasa atas harta rakyat. SDA tak dikelola untuk kemaslahatan rakyat. Sistem ini membiarkan swasta (pemilik modal) menguasai hajat hidup orang banyak. Peran negara bukan lagi sebagai pengurus kepentingan rakyat, tetapi berjalan sesuai kepentingan korporasi.
Jaminan Islam
Islam memandang bahwa sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan adalah kebutuhan dasar manusia. Di mana negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut untuk setiap individu rakyat. Negara sebagai pelayan rakyat sehingga tugasnya adalah memenuhi setiap yang menjadi kebutuhan pokoknya. Semua yang menjadi urusan rakyat harus diurus oleh negara dengan baik sebagaimana sabda Rasulullah saw.: الإِÙ…َامُ رَاعٍ Ùˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
Artinya: “Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad)
Seorang pemimpin dalam Islam diibaratkan seperti penggembala yang bertanggung jawab terhadap hewan gembalaannya. Ia bertugas agar gembalaannya terpelihara dengan baik, cukup makan minum, sehat, gemuk serta terjaga dari binatang buas yang mengancamnya. Seorang pemimpin akan melakukan berbagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya tanpa terkecuali. Pemimpin akan mencukupi kebutuhan rakyatnya dengan pemenuhan terbaik dan berkualitas.
Sungguh hanya dengan sistem Islamlah kesejahteraan hakiki bisa tercapai. Masihkah kita berdiam diri dan tidak bergerak untuk memperjuangkan sistem terbaik yang berasal dari Sang Pencipta manusia?
Wallahu a’lam bishshowwab
Oleh: Esti Dwi
Aktivis Muslimah
0 Komentar