Topswara.com -- Memasuki awal November 2023, meskipun masih bersamaan dengan suhu udara panas yang berkisar antara 30-34 °C, hujan mulai turun di sejumlah daerah Indonesia. Di beberapa kota bahkan terjadi banjir.
Sebagaimana laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) DKI Jakarta, bahwa sekitar 54 RT di Ibukota yang terendam banjir akibat hujan sejak Sabtu, 4 November 2023 hingga 5 November 2023 (Liputan 6, 5/11/2023).
Selain itu, ratusan rumah juga merendam perumahan warga sejak Jumat 3 November 2023 di Kecamatan Melintang, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. (Tribunews, 4/11/2023).
Tidak hanya merendam pemukiman warga, hujan lebat juga menyebabkan atas stasiun LRT Cawang Halim bocor pada Minggu 5 November 2023, hal ini disampaikan manajemen PT Kereta Api Indonesia Persero.
Bencana banjir sudah menjadi langganan setiap kali memasuki musim penghujan. Menurut badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPPB) pada tahun 1 Januari sampai 3 Oktober 2023, kejadian banjir terjadi sebanyak 893 kejadian, diikuti cuaca ekstrim 861 kejadian (Databoks, 3/10/2023).
Pemerintah seharusnya melakukan upaya untuk mengantisipasi terjadinya banjir yang berulang. Hanya saja pemerintah tidak mau melakukan upaya tersebut. Walaupun iya, itupun dilakukan dengan setengah hati dan tidak menyentuh akar persoalan.
Hal ini terjadi karena sistem yang dijalankan penguasa saat ini adalah sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, yang menjadi standar dalam pembuatan peraturan adalah untung dan rugi. Bukan mengutamakan pengurusan umat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kondisi saat ini. Misalnya, untuk mengejar keuntungan pemerintah tetap melakukan pembangunan di tempat yang sudah padat penduduk.
Pembangunan sentralisasi di kota juga membuat urbanisasi meningkat, akibatnya tata kelola pemerintahan tidak beraturan. Padahal kondisi seperti ini membuat sistem drainase perairan menjadi buruk.
Selain itu prinsip kebebasan kepemilikan dalam sistem kapitalisme membuat para pemilik modal menguasai kekayaan alam, sehingga mereka dengan bebas melakukan alih fungsi lahan tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan.
Lebih menyedihkan lagi bahwa sebagian besar masyarakat menganggap kondisi demikian adalah nasib. Sehingga mereka pasrah dengan keadaan tersebut, padahal semua ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme.
Berbeda dengan sistem Islam, sistem Islam akan mengatasi banjir dengan kebijakan yang canggih, efisien, dan tepat. Pertama, pemerintah dalam sistem Islam akan memetakan daerah-daerah yang rawan terkena genangan air akibat rob, hujan, gletser, dan lain sebagainya.
Sehingga pemerintah akan menempuh berbagai upaya seperti membuat bendungan dengan berbagai tipe, yang mampu menampung curahan air dan aliran sungai, curah hujan, mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi.
Kedua, dalam hal undang-undang dan kebijakan, dalam islam kebijakan dalam membuat pemukiman baru, harus benar-benar mempertimbangkan drainase, penyediaan daerah serapan air, serta penggunaan tanah berdasarkan karakteristiknya. Hal ini berguna untuk mencegah kemungkinan adanya banjir.
Ketiga, dalam penanganan korban-korban bencana alam, termasuk banjir. Dalam sistem islam, pemimpin akan menyediakan berbagai logistik yang diperlukan seperti makanan, pakaian, tenda, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak jatuh sakit.
Selain itu dalam aturan Islam, pemimpin akan selalu mengerahkan para alim ulama untuk memberikan siraman kalbu bagi para korban agar selalu bisa mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka. Sekaligus menguatkan keimanan agar selalu tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah SWT.
Demikianlah hanya dengan sistem Islam, permasalahan banjir akan terselesaikan. Kebijakan dalam sistem Islam tidak hanya dipertimbangkan secara ilmiah. Tetapi juga melalui hukum syarak.
Wallaahu’alam.
Sumiati
Aktivis Muslimah
0 Komentar