Topswara.com -- Memang tidak perlu panik, tetapi jangan juga berpangku tangan. Itulah kira kira yang dilakukan oleh perusahaan minyak global sekarang. Mengejar portofolio transisi energi untuk membujuk perbankkan dan sektor keuangan agar tetap membiayai perusahaan raksasa migas.
Karena sektor perbankkan sudah tidak lagi leluasa membiayai perusahaan migas. DI indonesia misalmya BRI sudah menyatakan tidak akan lagi membiayai perusahaan minyak. Juga bank dalam negeri sekarang aktif menerbitkan greed bond untuk memobilisasi dana. Jadi nanti pasti digunakan membiayai EBT. Demikian juga bank bank global telah melakukan langkah lebih keras lagi.
Sekarang jika meminjam uang ke bank bank di Singapura, janganlah anda coba coba menaruh kata kilang minyak atau sejenisnya dalam proposal anda. Jika memaksakan diri maka dijamin anda pulang dengan kantong kosong.
Itulah sebabnya mengapa sejumlah perusahaan minyak dan gas telah menetapkan target emisi nol bersih atau net zero. Terlepas dari tantangan ekonomi yang ada saat ini, banyak perusahaan yang tetap mempertahankan upaya dekarbonisasi operasi dan rantai nilai mereka. Itu semua dilakukan agar masih bisa dapat uang dari pembiayaan perbankkan dan pasar keuangan.
Kalau diamati dengam cermat, perusahaan migas dalam dua dekade terakhir terlihat lebih sibuk mencari uang ketimbang melakukan ekplorasi dan eksploitasi migas. Nah sekarang ada ruang baru untuk cari uang namanya Net Zero Emission (NZE) dan Energy Transition (ET). Mereka semua perusahaan migas sudah paham.
Semisal Occidental Petroleum, salah satu perusahaan minyak internasional terbesar di Amerika Serikat, telah bermitra dengan perusahaan rintisan asal Kanada, Carbon Engineering, untuk membangun pabrik yang akan menangkap dan mengubur 500.000 metrik ton CO₂ setiap tahunnya.
Pada bulan Juni 2020, China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) menandatangani perjanjian dengan Shell untuk memasok kargo gas alam cair (LNG) netral karbon yang pertama ke Tiongkok mereka akan menggunakan kredit karbon untuk mengimbangi emisi yang terlibat dalam produksi dan konsumsi kedua perusahaan minyak tersebut.
Pada bulan Desember 2020, ExxonMobil mengumumkan ambisi karbonnya: mengurangi intensitas emisi gas rumah kaca di hulu sebesar 15 hingga 20 persen selama lima tahun ke depan dibandingkan dengan tingkat tahun 2016 sambil terus berinvestasi pada teknologi dan dukungan yang lebih rendah emisi “kebijakan yang baik dan memberi harga pada karbon.”
Lalu bagaimana Pertamina? Apa yang sudah diinvestasikan bagi NZE? Apakah program solarisasi sawit dan gasifikasi batubara dimasukkan dalam hitungan produksi energi rendah karbon? Tampaknya ini tidak akan diterima karena dua jenis energi primer tersebut berhubungam erat dengan deforestasi. Sementara 60 persen dari program NZE Indonesia diharapkan akan dikontribusikan oleh reforestasi.
Satu Langkah Saja Berarti
Baru baru ini Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan bahwa kontributor terbesar polusi jakarta adalah sektor transportasi. Sama seperti kota besar lainnya di Indonesia yang padat macet sehingga pemakaian BBM tidak efisien. Pertamina adalah penjual BBM paling besar di Jakarta.
Langkah mengurangi polusi perkotaan mestinya menjadi prioritas utama Pertamina, karena ini berdampak langsung pada masyarakat. Polusi secara medis adalah penyebab berbagai macam penyakit berbahaya.
Namun, sejauh ini belum ada publikasi yang dapat menjelaskan bagaimana Pertamina mengurangi emisi BBM 80 juta kl yang saat ini dijual Pertamina. Sebagian besar BBM tersebut adalah jenis Pertalite atau ron rendah sehingga menghasilkan banyak polusi.
Pertalite adalah BBM subsidi yang paling banyak dikonsumsi masyarakat dengan trend peningkatan dari tahun ke tahun. Semestinya pertamina membuat strategi bagaimana mengurangi konsumsi pertalite ini. Akan tetapi sampai sekarang belum bisa.
Sementara usaha untuk menambah portofolio di scope 3 ini kurang significant, seperti program mencampur BBM dengan ethanol untuk memghasilkan BBM baru. Inipun masih setengah hati. Mungkin karena ethanol masih langka, mahal dan harus impor.
Jika semua usaha mengurangi konsumsi BBM kotor, memperbaiki kualitas BBM juga belum bisa dijalankan Pertamina, maka ada satu langkah kecil yakni Pertamina dapat menginvestasikan banyak uang untuk menyedot emisi pada scope 3 ini. Mungkin perlu investasi dalam pembuatan atau pengadaan mesin alami penyedot PM2.5 sebagai kontribusi mengurangi polusi udara perkotaan. Alat sedotnya alami yakni menggunakan pohon pohon.
Apa bentuk investasinya? Pertamina dapat membeli atau menyewa lawan di perkotaan untuk menyerap emisi dalam jumlah besar. Membangun hutan kota yang besar di kota kota besar untuk menyerap polusi. Hutan kota terutama di Jakarta dapat ditanami tanaman keras seperti duren, mangga, nangka. Enam tahun lagi 2030 UN FCCC dapat diundang maka duren ke Jakarta hasil hutan kota. Sedap.
Oleh : Salamuddin Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
0 Komentar