Topswara.com -- "Jadi apa pun kalian kelak, tetap jadi pejuang ya Nak. Ibuk melahirkan kalian sebagai pejuang, penolong agamanya Allah. Karena hidup ini buat apa, kalau bukan untuk beribadah dan berjuang di jalan-Nya?"
Ini pesan berulang dari sang emak yang mungkin membuat telinga mereka bosan. Tetapi, bukankah harapan atas kebenaran sebaiknya di-instal berulang dalam benak anak agar kebenaran itu tetap kokoh? Dan bila masih berwujud harapan, berulangnya kata saat disampaikan, bukankah menjadi tanda untuk diperhatikan, pun diupayakan agar tercapai kemudian?
Apalagi hari ini anak-anak kita hidup di masa ketika keburukan selalu diulang hingga diterima kebanyakan manusia sebagai kebaikan. Saat yang salah dipaksa lumrah. Mereka tumbuh dalam situasi abu-abu, hingga ragu memutuskan, "Kelak mau jadi apa aku?"
Melahirkan generasi pejuang pasti impian setiap ibu pejuang. Kepada siapa lagi estafet perjuangan dialihkan, bila tidak pada putra-putrinya? Bukankah menjadi ironi, saat orang tua mengejar mad'u (objek) dakwah di luar rumah, sementara di saat sama lalai menggarap mad'u hipo (high potential) yaitu anak-anaknya sendiri?
Sejatinya, inilah salah satu yang ditakuti oleh musuh-musuh Islam. Ketika rumah kembali menjadi tempat pengkaderan, kala ibu Muslimah mendidik ananda sebagai pejuang, maka nyawa Islam akan terus ada. Bak jantung yang terus memompa darah kebangkitan Islam hingga peradaban Ilahi tegak kembali di muka bumi.
Tetapi untuk mewujudkan generasi Rabbani, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan bukan? Pun tidak secepat memasak mie instan.
Sebagaimana iman bukanlah warisan, generasi pejuang tidak auto lahir tersebab keturunan. Bukan berarti kalau orang tuanya pejuang, lantas anak-anaknya pasti jadi pejuang. Realitasnya, ada saja yang tidak tertarik, enggan, atau dengan berbagai alasan tidak mau mengikuti jejak heroik orang tua.
"Wajar" bila ada yang demikian. Bayangkan coba! Remaja sebaya mereka sedang sibuk nge-games, hang out, "healing", nyoba fashion brand terbaru, sementara ayah bunda meminta mereka mendatangi kajian, membuka kitab, mikirin umat dengan seabreg problematika, apa asyiknya?
Bila bukan karena proses penyadaran, pembiasaan, pengarahan, pensuasanaan, serta keteladanan dengan kesabaran dan keistiqamahan, niscaya kita akan sulit mencabut mereka dari zona nyaman ala Gen-Z saat ini. Ini bukanlah proses mudah. Apalagi di tengah arus hedonisme pragmatis yang sedikit banyak mungkin meninggalkan jejak gelap dalam fase tumbuh kembang mereka.
Maka, tugas orang tua adalah "kuat-kuatan" dengan arus zaman nan rusak. Mana yang lebih kuat, dialah yang bertahan. Pun jadi pemenang. Istikamah dengan idealitas menjadikan ananda sebagai bagian harisan aminan lil Islam. Atau membiarkannya tercebur dalam realitas kesenangan semu. Kian jauh dan jauh dari jalan kemuliaan. Hingga lupa caranya kembali.
Kadang diri ini malu. Menyaksikan tingginya daya juang anak-anak dan remaja Palestina menghadapi kekejian zionis Yahudi. Pasti orang tua mereka mendidik dengan cara luar biasa. Bagaimana tidak lahir generasi gagah berani, bila syahid adalah kata yang dinanti?
Seorang ibu Palestina begitu gembira saat mendengar putranya meregang nyawa di medan laga melawan zionis laknatullah. Ada balita yang mampu menasihati sang teman untuk tidak menangisi kematian saudaranya akibat serangan zionis, karena berharap balasan surga.
Sebelum bertanya, "Akankah anak-anak kita semilitan anak-anak Palestina?" Maka tanyakan pada diri kita, "Telahkah kita mendidik anak kita sebagaimana ibu Palestina menggembleng anak-anak mereka?"
Ya Rabb, ampuni diri ini!
Oleh: Puspita Satyawati
Pembina Mutiara Umat Institute
0 Komentar