Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tanah Indonesia Bukan Milik Kapitalis Asing


Topswara.com -- Menyentuh sekali ketika melihat video Ustaz Abdul Somad saat menyuarakan dengan lantang doa-doa untuk rakyat di pulau Rempang yang menjadi korban kekerasan oleh pemerintahnya sendiri. 

Beliau mendoakan agar warga kampung Melayu itu diberikan kekuatan dalam menghadapi kejamnya aparat mengeksekusi warga terutama anak-anak sebagai korban aparat saat bersitegang dengan warga yang protes mengenai proyek “Rempang Eco-City”. 

Dikutip dari laman BP Batam, Rempang Eco-City merupakan salah satu proyek yang terdaftar dalam PSN (Proyek Strategis Nasional) 2023. 

Pembangunannya diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang ditandatangani Agustus lalu. Proyek Rempang Eco City adalah kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang bertujuan untuk mendorong daya saing dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. 

Rencananya akan digarap oleh PT MEG dengan target investasi mencapai Rp 381 triliun pada tahun 2080. Segala proyek agraria yang dilaksanakan sepanjang pemerintahan ini menuai konflik mulai dari lahan rakyat yang terampas secara paksa hingga tertangkapnya warga karena protes kepada pemerintah dengan proyek tersebut.

Pada kasus Rempang Eco-City ini pun, anak-anak turut menjadi korban bahkan pada saat mereka sedang belajar. Lebih miris lagi, pelakunya adalah aparat kepolisian bersenjata lengkap dan sengaja dipersiapkan apabila terjadi bentrokan dalam menuntaskan proyek ini. 

Puncak Konflik Rempang 

Sebenarnya, konflik Rempang ini tidak hanya masalah proyek saja, tapi terlihat pemerintah terburu-buru ingin menggusur rakyat yang berada di pulau Rempang. 

Padahal belum ada kejelasan terkait permasalahan proyek ini kepada rakyat di pulau tersebut. Musyawarah yang diharapkan, begitu juga dengan izin pengelolaan dari BPN kepada pihak pengelola proyek Rempang ini belum ada. 

Bahkan itu semua datangnya dari pemerintah Batam sendiri yang mengeluarkan perintah kepada kepolisian untuk mengamankan warga yang protes dan tidak boleh menghalangi saat pengukuran lahan saat itu. 

Oleh sebab itu, wajar saja jika warga setempat protes secara keras atas tanah mereka yang telah ditempati sejak ratusan tahun lalu bahkan dari sebelum Indonesia merdeka. Di mana pulau ini banyak sekali berdiri bangunan-bangunan tua yang disebut kampung tua dan bangunan prasejarah yang masih kokoh sejak tahun 1800-an. 

Tidak adanya komunikasi dengan warga setempat maupun warga tetua di pulau itu membuat banyak rakyat di pulau Rempang marah, terlebih ketika kepolisian menyerang secara merata hingga ke lingkungan sekolah. Pada saat anak-anak sedang belajar di sekolah, kepolisian menembakkan gas air mata yang sangat berbahaya (Republika, 29-09-2023).

Tetapi dengan adanya konflik yang sudah terjadi, tetap saja tidak mengurangi langkah pemerintah untuk terus melancarkan proyek ini. Pemerintah mulai menawarkan relokasi dan dana ganti rugi kepada rakyat rempang yang mau direlokasi. Menko Marves (Menteri Koordinator Bidan Kemaritiman dan Investasi) pun meminta untuk tidak melebih-lebihkan apa yang terjadi di pulau Rempang agar tidak menghambat proyek ini. (Harian Jogja, 29-09-2023) 

Tanah Indonesia bukan Milik Kapitalis 

Melihat banyaknya fakta di atas membuktikan bahwa ternyata sudah banyak sekali tanah Indonesia dijual secara halus oleh pemerintah dibalik proyek-proyek yang diajukan dengan mengatasnamakan “Indonesia Maju." 

Sedangkan faktanya justru hanya memajukan dan berpihak kepada para kapitalis saja. Banyak rakyat yang direlokasi, namun ekonominya tidak berkembang, semakin miskin dan malah menjadi buruh di tempat relokasi dengan bayaran murah.

Tidak hanya Rempang, Papua dengan PT Freeport yang sudah sejak lama menjadi milik kapitalis asing, dan kini banyak proyek agraria Indonesia telah berubah pemilim kepada Cina termasuk Rempang Eco-City. 

Bahkan proyek ibu kota baru pun adalah bagian dari kapitalisasi China yang nantinya akan berinvestasi dalam proyek tersebut. Secara sadar atau tidak, rakyat Indonesia tergiur dengan majunya teknologi saat ini, padahal secara sumber daya alam dan manusia sudah dirampas habis-habisan. 

Mulai dari tanah untuk pembangunan ekonomi, pertambangan minyak bumi, emas, dan proyek-proyek lainnya yang sudah berjalan sejak dulu. 

Bahkan pernah dibongkar oleh seorang youtuber bahwa PLTU yang ada di Indonesia adalah milik kapitalis yang saat ini sedang menjabat sebagai pemimpin negara pada pilpres lalu dan viral. 

Begitu banyak konflik agraria di negeri ini adalah imbas dari sistem kapitalisme yang saat ini diadopsi negara. Di mana pemimpin negara ada hanya demi kepentingan kaum kapitalis dan oligarki demi misinya memperluas bisnis dan kepentingannya. 

Negara menggunakan sumber daya alam untuk jual beli dengan kapitalis asing dan aseng serta tidak memikirkan nasib rakyat di negeri sendiri. Sehingga mereka melakukan berbagai cara untuk melancarkan bisnis yang terjalin dengan alasan klise untuk membangun negara. 

Padahal semua itu hanya demi memperkaya diri sendiri dan mengorbankan banyak nyawa di kala tanah terampas secara paksa.

Ganti rugi yang dikeluarkan pun tidak senilai dengan rumah dan fasilitas yang telah dibangun rakyat. Sebagai dampak hilangnya empati pada diri kapitalis yang ingin menguasai berbagai macam sumber daya alam negeri ini. 

Rakyat hanya menjadi buruh dengan bayaran rendah dan tidak mampu memakmurkan hidup dan keluarganya, ekonomi pun dirasakan semakin sulit. Ekonomi yang katanya dibangun demi rakyat, namun faktanya hanya bekerja untuk kepentingan kaum kapitalis.

Pada kasus Rempang contohnya. Konflik tanah sebagai lahan yang telah dimanfaatkan rakyat untuk tempat tinggal dan juga dikelola demi menghidupi ekonomi. 

Namun bersamaan dengan itu, negara turut juga mengadakan akad jual beli kepada kapitalis di atas tanah aktif rakyat tersebut. Alhasil, rakyat mendapat kecaman dan turut dirudapaksa oleh negara demi mempertahankan tanah tempat hidup dan tempat mengais rezeki dari sana hingga nyawa sebagai taruhannya. 

Tampak jelas bagaimana rusaknya kapitalisme mengurus rakyat. Sistem yang hanya berpihak dan menguntungkan bagi kaum kapitalis, tak segan-segan menyengsarakan harta dan nyawa rakyat. 

Keegoisan para kapitalis yang serakah dengan kekuasaan dan harta, mampu menyalahgunakan jabatan di pemerintahan demi menguasai wilayah dan berdampak pada pengusiran rakyat dari tanahnya sendiri.

Islam dan Agraria

Sedangkan agraria dalam Islam sangat berbeda dengan sistem kapitalisme. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah, Rasulullah SAW. bersabda: “Orang-orang muslim bersekutu dalam kepemilikan tiga hal; air, padang rumput, dan api. Harga dari benda tersebut diharamkan. 

Abu Sa’id telah menjelaskan bahwasanya yang dimaksud adalah "air yang mengalir." Hadis ini menjelaskan bahwa sumber daya alam termasuk tanah adalah milik umum (rakyat) yang dikelola bersama-sama oleh negara. Bukan untuk dikuasai individu apalagi dijual kepada pengusaha asing. 

Sedangkan undang-undang agraria yang berlaku di Indonesia saat ini, tanah diakui milik seseorang secara legal jika memiliki dua syarat. Yaitu adanya penguasaan secara fisik dan memiliki sertifikat hak milik atau hak guna bangunan yang dikeluarkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional). 

Dari kedua syarat tadi dapat timbul konflik bukti kepemilikan ganda yang sama-sama dikeluarkan oleh BPN. Inilah bukti bahwa sistem kapitalisme bisa mengatur sertifikat hak milik yang dipengaruhi oleh kekuasaan. 

Sehingga apabila tanah sengketa itu dibawa ke pengadilan, hasilnya akan menjadi milik pihak yang memiliki kekuatan. Rakyat pun akan menelan pahitnya ketidakadilan. 

Sungguh, solusi tuntas untuk memberi keadilan bagi rakyat hanyalah Islam yang datang dan diatur langsung oleh Yang Maha Agung Allah SWT. Islam menetapkan bahwa negara adalah pihak yang bertanggung jawab untuk mengatur pengelolaan tanah sesuai syariat Islam. Negara tidak boleh bertindak sebagai regulator penyebab penguasaan lahan oleh beberapa pihak. 

Syariat Islam memiliki konsep pertanahan yang khas dan menghilangkan kezaliman antar satu pihak dengan pihak lainnya. Dalam Islam sistem peraturan tanah sepaket dengan sistem pengelolaannya sehingga bukti kepemilikan seperti sertifikat hanyalah dokumen penunjang saja untuk mengelola tanah tersebut. 

Bukti yang nyata adalah aktivitas pengelolaan tanah tersebut. Apabila ada seseorang yang tidak memanfaatkan tanah lebih dari 3 tahun maka tanah tersebut akan diambil oleh negara dan diberikan kepada pihak yang mampu mengelolanya sehingga tanah akan mudah digunakan oleh banyak pihak dan siapa pun dapat memiliki dengan syarat mampu mengelolanya. 

Namun kasus Rempang adalah tindakan keji negara kepada rakyat. Tanah yang jelas-jelas sangat dimanfaatkan dan aktif dikelola rakyat, dirampas tanpa welas asih demi kepentingan kapitalis sebagai tanda pilih kasih. 

Inilah perbedaan sistem agraria Islam dengan sistem agraria kapitalisme. Tidak ada “ganti rugi” dalam sistem Islam karena Allah SWT. yang mengatur sistem pemerintahannya, hanya ada “ganti untung” yang bisa memberikan rakyat sumber daya alam dengan merata, dikelola dengan baik dan tidak hanya menguntungkan beberapa pihak. 

Wallahu’alam bisshawwaab.


Oleh: Rifka Fauziah Arman, A.Md.Farm.
Asisten Apoteker
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar