Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rempang Eco City vs. Masyarakat Adat


Topswara.com -- Klaim pemerintah atas tanah warisan leluhur masyarakat Rempang berujung konflik. Sayangnya pemerintah memilih menggunakan gas airmata, lengkap dengan persenjataan huru hara yang mengakibatkan sebagian siswa SMP 22 dan SD 024 di Tanjung Kertang, Rempang Cate, Batam Kepulauan Riau sesak nafas akibat gas air mata aparat pada 7 September 2022. Detikcom, Sabtu (16/9/2023).

Peristiwa ini bermula ketika aparat masuk ke kampung adat Rempang untuk bersosialisasi mengosongkan lahan yang di huni masyarakat jauh sebelum Indonesia merdeka. 

Artinya tanah yang mereka tempati itu memang belum bersertifikat hak milik melainkan warisan dari para leluhur mereka. Dengan kata lain tanah dari babat alas atau memanfaatkan lahan yang belum terjamah. 

Karena tidak ada sertifikat itulah pemerintah mengklaim bahwa lahan tersebut milik negara. Sebenernya memang tidak mengapa jika negara mengklaim bahwa lahan tersebut menjadi milik negara. 

Hanya saja butuh dipersiapkan lebih matang jika memang rakyat direlokasi. Menyiapkan segala keperluan. Dari kebutuhan pokok, yaitu rumah yang menjadi tempat berlindung dan mencari penghidupan yang telah mereka kerjakan.

Adapun pengosongan dan relokasi ini bukan untuk kepentingan umum masyarakat, melainkan langkah awal dimulainya proyek strategis nasional, berupa Rempang Eco City yang menjadikan Rempang menjadi daerah industri, perdagangan, dan wisata internasional. 

Jika memang demikian jelaslah sudah, bahwa proyek Rempang Eco City ini tidak berpihak pada rakyat. Ada beberapa kepentingan penguasa, oligarki dan investor asing yang telah disepakati bersama pihak yang terkait.

Tanggal 28 September 2023, pulau Rempang 'clear and clean' untuk diserahkan kepada pengembang PT MEG salah satu yang pemegang proyek Rempang Eco City ini.

Mau tidak mau masyarakat Rempang tidak bisa berbuat apa-apa atas apa yang dimilikinya. Menerima pasrah apa yang menjadi keputusan pemerintah.

Rakyat berhadapan langsung dengan pemerintah. Tidak ada keadilan yang bisa mereka dapatkan. Isak tangis rakyat tak mereka hiraukan. Polisi dan TNI yang menjaga keamanan dalam negeri pun tidak mampu melindungi rakyat. 

Melainkan alat yang digunakan pemerintah untuk menyelesaikan urusan pemerintah dengan rakyat. Otomatis rakyat yang menjadi tumbalnya.
Begitulah realita rakyat Rempang tidak punya pilihan untuk menerima di relokasi tanpa bisa berbuat apa-apa. 

Teringat kisah Yahudi di Mesir yang tanahnya mau digunakan untuk fasilitas umum, yaitu masjid. Waktu itu yang menjadi gubernur di Mesir yaitu sahabat Amr bin ash Radhiyallahuanhum. 

Saat kakek tua Yahudi mengadukan masalahnya kepada Khalifah Umar di Madinah, Khalifah Umar menyuruh si kakek mencari sisa tulang belikat unta di kotak sampah, kemudian khalifah mengambilnya dan membuat huruf Alif di tulang tersebut. Memberikan kembali kepada si kakek dan menyuruhnya mengirimkan ke Amr bin ash. 

Mendapatkan kiriman tulang dengan goresan pedang tersebut, langsung tubuh Amr bin ash berkeringat, wajahnya pucat pasi. Kemudian menyuruh beberapa rakyatnya untu kembongkar masjid.

Melihat reaksi Amr bin ash, si kakek penasaran apa maksud tulang kiriman khalifah. Amr bin ash menjelaskan bahwa seberapa tinggi jabatan seseorang bahwa pada akhirnya akan mengalami hal yang sama, yaitu kematian. Karena itu bertindak adillah ke atas dan ke bawah. 

Artinya keadilan hukum harus ditegakkan. Tidak tajam ke bawah tumpul ke atas. Atau hukum yang bisa berubah sesuai keinginan atau segepok amplop coklat uang suap. Jika tidak maka khalifah tidak segan-segan memenggal kepalanya. 

Orang Yahudi pun tertunduk dan terkesan dengan keadilan Islam. Akhirnya ia pun mengikhlaskan tanahnya dan mengucapkan syahadat.

Pemimpin umat dalam Islam melarang keras mengambil tanah milik orang lain dengan kezaliman. Rasulullah bersabda "barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan tujuh lapisan bumi".

Saat ini, sebagian rakyat Rempang telah menempati relokasi. Sebagian rakyat belum ridha menempati lahan relokasi yang disediakan. Terutama masyarakat adat Kampung Tua yang berada di titik proyek pasir kuarsa.

Harusnya pemerintah kembali kepada aturan Islam dalam setiap lini kehidupan. Karena islam telah sempurna mengatur semua permasalahan yang terjadi, baik masalah individu, sosial dan tata kelola negara.

Termasuk masalah kepemilikan lahan. Hingga tidak ada kezaliman yang terjadi antara rakyat dan pemerintah. 
Barulah tercipta keadilan bagi semua rakyat. 

Allahu A'lam bish shawab.


Endang Mustikasari
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar