Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Program BRI Cina Benarkah Menguntungkan?


Topswara.com -- Proyek Belt and Road Initiative (BRI) merupakan program ambisius Cina terhadap dunia internasional. Memasuki satu dekade sejak diluncurkannya program BRI, Presiden Cina Xi Jinping beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa negaranya akan memberikan tambahan dana lebih dari US$100 miliar atau sekitar Rp1.576,99 triliun (asumsi kurs Rp15.769 per dolar AS) untuk program Belt and Road Initiative (BRI). 

Tambahan dana akan diberikan oleh pemberi pinjaman utama Belt and Road, yaitu China Development Bank dan Bank Ekspor-Impor. Tidak hanya itu, kedua lembaga tersebut juga akan menyiapkan sejumlah peluang pembiayaan lain. (cnnindonesia.com, 19 Oktober 2023) 

Program BRI yang digagas Cina pada 2013 ini, merupakan program andalan Cina demi meningkatkan pengaruhnya secara global. Melalui investasi dalam proyek infrastruktur, negara Tirai Bambu ini berambisi untuk menguasai perdagangan dunia melalui jalur sutera maritim. 

Dengan proyek BRI, Cina mengeluarkan dana sebagai bantuan investasi yang disalurkan hampir ke 150 negara. Investasi tersebut digunakan untuk berbagai pembangunan infrastruktur seperti jembatan, pelabuhan, jalan raya, pembangkit listrik, dan proyek telekomunikasi di Asia, Amerika Latin, Afrika, dan bagian Eropa. 

Berkaitan dengan investasi BRI tersebut, Indonesia sendiri merupakan penerima investasi terbesar sekitar US$5,6 miliar yakni setara Rp87,9 triliun (Rp15.710/US$1). Pada Semester I-2023, investasi Cina di Indonesia sudah menembus US$3,8] miliar. 

Pertumbuhan dana investasi ini mengalami peningkatan signifikan, mengingat tahun 2013 investasi Cina di Indonesia berada di angka US$297 juta. Namun benarkah investasi ini menguntungkan bagi rakyat dan negara? 

BRI memang jalan yang ditempuh Cina dalam meraih mimpi besarnya menjadi negara digdaya. Melalui investasi ini Cina masuk ke negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam. 

Sebagai negara yang punya program inisiasi dan menyuntikkan dana investasi, Cina pun mengumbar berbagai janji manis untuk menarik minat negara negara di Asia dan Eropa berkerjasama dalam program BRI tersebut.  

Indonesia termasuk negara yang mengapresiasi gagasan BRI Cina tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai kerjasama dalam pembangunan infrastruktur. 

Namun kenyataannya, investasi yang digelontorkan Cina merupakan utang berbunga disertai dengan berbagai kesepakatan yang mengikat negara-negara yang terlibat. 

Berangkat dari fakta ini, sejatinya akan ada beberapa bahaya serta kerugian yang akan menjadi beban negara pengutang. 

Pertama, negara yang mendapatkan suntikkan investasi wajib membayar utang plus bunganya. Jika gagal bayar dapat berisiko penguasaan infrastruktur yang telah dibangun. 

Tentu saja ini ibarat jebakan utang untuk menguasai negara berkembang. Kenyataan ini telah terbukti di Srilanka. Ketika Srilanka tidak mampu membayar utang beserta bunganya kepada Cina, ia harus merelakan pelabuhan Hambantota dikuasai Cina. 

Kedua, ada beberapa persyaratan yang diajukan investor untuk disepakati yang mengikat negara pengutang. Dalam posisi ini negara pengutang akan mudah diintervensi sehingga membahayakan kedaulatan negara. 

Selain itu, investasi Cina dalam proyek infrastruktur mensyaratkan agar material bahan bangunan dan tenaga kerja harus didatangkan dari Cina. Maka wajar jika Indonesia menjadi serbuan tenaga kersa asing (TKA) Cina. Banjirnya TKA asal Cina tersebut mengakibatkan konflik antara pekerja lokal dan tenaga kerja Cina di beberapa] daerah. Hal ini tentu merugikan rakyat.

Ketiga, pemanfaatan riba (investasi) akan jauh dari keberkahan. Meskipun dimanfaatkan untuk kebutuhan rakyat seperti pembangunan infrastruktur. Terlebih negeri ini mayoritas penduduk nya muslim yang berkeyakinan betapa riba itu sesuatu yang haram. 

Dengan demikian kerjasama dalam bentuk investasi tidaklah menguntungkan, baik bagi rakyat maupun negara. Dari sisi ekonomi maupun politik hanya menguntungkan negara besar yang memberikan utang. 

Kondisi tersebut sebagai akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme global yang diterapkan di dunia saat ini termasuk Indonesia. Dalam sistem ini negara berperan sebagai regulator yang mengeluarkankan kebijakan sesuai kepentingan pihak pemodal. 

Dalam sistem kapitalisme pun, negara memberi peluang kepada pihak-pihak pemilik modal termasuk negara asing untuk bekerjasama dalam pengurusan rakyat. Baik dalam pengelolaan sumber kekayaan alam ataupun pembangunan infrastruktur. Meskipun sejatinya hal tersebut membahayakan negara dan merugikan rakyat. 

Berbeda halnya dengan pengaturan dalam Islam. Infrastruktur merupakan kebutuhan rakyat diperlukan untuk memudahkan aktivitas manusia. Namun pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam tidak akan dibiayai dari utang berbunga atau investasi. Sebab syariat Islam dengan tegas mengharamkan bunga (kelebihan dari utang). 

Adapun pembiayaan pembangunan infrastruktur berkaitan erat dengan pengelolaan ekonomi dengan basis syariat Islam. Maka dengan penerapan sistem ekonomi Islam, negara akan memiliki sumber kekayaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat termasuk membiayai infrastruktur. 

Anggaran untuk pembangunan infrastruktur dapat diperoleh dari kas baitulmal pos pengelolaan kekayaan milik umum. Indonesia memiliki sumber kekayaan yang melimpah maka dalam Islam pengelolaan SDA tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta atau asing. 

Negara merupakan satu-satunya pihak yang berwenang untuk mengelolanya. Hasil dari pengelolaan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat salah satunya pembiayaan infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur adalah kewajiban negara dalam rangka mengurusi urusan umat, selain memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya. 

Oleh karena itu, dalam pembangunan infrastruktur negara tidak boleh bekerjasama dengan pihak asing. Jika kas baitulmal tidak mencukupi untuk pendanaan pembangunan maka ada dua kondisi yang harus diteliti terlebih dahulu. 

Kondisi pertama, jika pembangunan infrastruktur ini mendesak dan sangat dibutuhkan oleh rakyat hingga apabila ditunda akan mengakibatkan bahaya. Maka dalam kondisi ini negara boleh memanfaatkan pos wakaf dari masyarakat. Jika masih tidak cukup, boleh memungut pajak (dharîbah) dari rakyat yang kaya saja dan sipatnya temporal.

Kondisi kedua, jika pembangunan infrastruktur tidak terlalu mendesak hingga apabila ditunda pun tidak mengakibatkan bahaya. Maka dalam kondisi ini pembangunan infrastruktur dapat ditunda sampai dana mencukupi. 

Negara dalam pengaturan Islam akan bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan rakyat serta menjadi pelindung bagi hak-hak rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. "Imam (Pemimpin) adalah raa'in (pengurus), ia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya." (HR. Bukhari).

Maka dengan pengaturan Islam, rakyat akan mendapatkan kemaslahatan. Rakyat akan dilayani dan dipenuhi semua kebutuhannya. Pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan akan dibiayai negara tanpa investasi atau utang berbunga yang merugikan. Semua hal itu hanya akan terwujud dalam sistem kepemimpinan Islam yang menerapkan aturan Islam secara kaffah.

Wallahu a'lam bi shawab.


Oleh: Siti Aisyah 
Pegiat Literasi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar