Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pembentukan MKMK: Diragukan Mampu Pulihkan Marwah MK Menjadi "Ideology and Constitution Guardian"?


Topswara.com -- Kontroversi terhadap putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terkait dengan persyaratan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tertuang dalam UU Pemilu Pasal 169 huruf q masih terus berlangsung. 

Bahkan, para hakim MK dilaporkan ke MKMK karena dinilai melanggar kode etik dalam proses pemeriksaan perkara terkait. 

Mengapa hakim MK lebih mengutamakan keadilan formal dibandingkan keadilan substantif dalam memutus perkara, sementara mereka lebih dikenal sebagai para begawan bahkan dewa hukum di negeri ini? Segala putusannya bersifat final and binding (terakhir dan mengikat).

Keadilan substantif yang seharusnya dihadirkan oleh para hakim MK ternyata begitu terasing (secluded) bagi rakyat Indonesia karena putusan MK diduga tercemari oleh kepentingan politik bahkan kepentingan dinasti istana. 

Di sinilah penegak hukum telah terpasung legalitas formal sekaligus memarginalkan hati nurani dengan mengutamakan aspek nepotisme. Hakim telah mengutamakan kepastian hukum belaka dengan menambah frase yang pada pokoknya memberikan kesempatan bagi seseorang yg belum berusia 40 tahun namun sudah pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pemilu untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden sehingga meminggirkan nilai keadilan substantif yang berarti bahwa perilaku hakim tersebut tidak sesuai konsep Gustav Radbruch khususnya tentang pengutamaan nilai keadilan di atas statutory law.

Kalau kita telisik periode sebelum kepemimpinan MK khususnya sebelum rezim Jokowi, sebenarnya para hakim MK banyak yang berkarakter progresif, bahkan berani melakukan terobosan hukum dengan melakukan tindakan atau mengambil kebijakan untuk tidak menegakkan hukum (policy of non enforcement of law) demi pemuliaan keadilan substantif. 

Praktik non enforcement of law di Indonesia seringkali dilakukan oleh para penegak hukum. Terutama terkait dengan pencarian keadilan substantif, sangat diperlukan jiwa vigilante para penegak hukum karena sering kali berhadapan dengan kelompok yang mengukuhi legalitas formal. 

Praktik yang dilakukan oleh beberapa hakim, baik hakim peradilan umum hingga hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan kepada kita tentang bagaimana pergulatan sulit dan dilematis telah mereka lakukan untuk menghadirkan keadilan substantif tersebut MA dan MK telah menunjukkan progresivitas putusannya. 

Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai guardian of constitution yang masih berhadapan dengan kondisi faktual hukum yang berlaku yang masih didominasi aturan hukum lama yang dibentuk dengan paradigma otoritarian melaui proses yang tidak demokratis sehingga berpotensi untuk tidak akrab dengan realitas sosial dan tidak dekat dengan rasa keadilan rakyat.  

Putusan-putusan yang lahir dari progresivitas MK dalam mendukung upaya tegaknya konstitusi, demokrasi, hak asasi manusia dan nilai-nilai keadilan sosial telah tersebar dalam berbagai putusan MK baik dalam perkara judicial review maupun putusan yang terkait dengan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. 

Demi menegakkan konstitusi MK seringkali melakukan terobosan hukum ketika menemui kebuntuan legalitas formal, baik pada peraturan perundang-undangan maupun proses beracara. MK telah melakukan policy of non enforcement of law.

Dalam beberapa putusannya, MK telah keluar dari belenggu undang-undang yang dinilai tidak mampu memunculkan rasa keadilan dalam arti substantif, sebab undang-undang yang diuji tidak dapat memberikan solusi hukum terhadap permasalahan yang dihadapi sehingga mengusik rasa keadilan sosial di tengah masyarakat.

Sebagai contoh putusan tentang diizinkannya penggunaan KTP dan identitas lainnya yang sah untuk mencontreng pada Pemilihan Presiden tahun 2009. 

Bisa dibayangkan berapa banyak penduduk yang tidak dapat menyalurkan suaranya dalam pemilihan umum tersebut hanya karena kesalahan teknis sehingga penduduk tersebut tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). 

Kalau berdasarkan state law UU Pemilu jelas penduduk yang tidak terdaftar dalam DPT tidak dapat memilih. MK berpendapat bahwa apakah hanya karena alasan teknis kemudian orang dibiarkan kehilangan hak asasinya dalam demokrasi? Pertimbangan hak asasi, demokrasi serta moral etik inilah yang melahirkan keadilan substantif, yakni dengan cara melakukan non enforcement of law terhadap sebagian pasal UU Pemilu. 

Di luar MK, hakim lain yang juga menerapkan non enforcement of law dapat disebutkan beberapa di antaranya yaitu pada kasusMA yang memutus bebas terhadap dakwaan makar Mukhtar Pakpahan yang secara legalitas formal telah memenuhi unsur-unsur delik makar. Hakim Agung Adi Andojo Sutjipto waktu yang mengadili kasasi Mukhtar Pakpahan di masa Soeharto. 

Oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, Pakpahan dijatuhi sanksi pidana (straf) atas tuduhan berbuat makar. Dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. 

Menurut MA, para hakim di bawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial. Dan secara sosiologis, hal itu keliru jika diterapkan pada penduduk suatu bangsa yang sudah merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak asasi manusia.

Secara prinsip, policy of non enforcement ot law berpotensi dilakukan dalam proses bekerjanya hukum di Indonesia, hal ini mengingat masih banyak produk hukum yang pembentukannya tidak didasarkan pada proses yang demokratis, melainkan masih mengandalkan proses yang bersifat otoritarian atau dalam kondisi demokrasi yang baru pada tahap konsolidasi di era reformasi, pembentukan undang-undang masih banyak yang belum memenuhi prinsip demokrasi substansial. 

Karena pertimbangan pencarian keadilan substantif, peraturan hukum seringkali harus tidak diberlakukan (non enforcement). 

Ada empat ranah ilmu hukum yang dapat dijadikan landasan hakim atau pun penegak hukum lainnya untuk melakukan non enforcement of law, yaitu: (1) ranah filosofis, ranah teoretik, ranah konseptual, dan ranah praksis.

Selain empat ranah hukum yang seharusnya menopang pelaksanaan non enforcement of law, terdapat 4 alasan pokok kapan penegak hukum dapat melakukan non enforcement of law, yaitu:

(1) Ketika penerapan suatu peraturan hukum bertentangan dengan kaidah penuntun dalam pembentukan dan penegakan hukum. 

(2) Kalau hukum tidak akrab dengan realitas sosial, tidak dekat dengan rasa keadilan rakyat, tidak dimengerti karena bahasa hukum yang sulit dimengerti.

(3) Bilamana peraturan pelaksanaan merupakan sesuatu yang mutlak harus ada pada suatu produk hukum tertentu. 

(4) Bilamana bangsa dan negara menghendaki, yakni untuk kepentingan yang lebih besar dari pada penegakan hukum di bidang tertentu. Dalam keadaan “hard case” diskresi penegak hukum dapat dilakukan dengan caranon enforcement melalui sistem pemulihan (restitutif) atau dengan musyawarah (restoratif).

Putusan MK lebih dikenal mempunyai sifat final and binding (terakhir dan mengikat). Lalu bagaimana jika ternyata putusan MK dihasilkan dari proses yang patut diduga melanggar hukum dan etik? 

Siapa yang berhak membatalkan putusan MK ketika terbukti bahwa putusan tersebut dihasilkan dari proses yang menyimpang yang diputus oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK)? 

Apakah MKMK berwenang membatalkan putusan MK tersebut? Jawabnya tentu tidak karena MKMK hanya mengadili secara etik terhadap perilaku hakim MK. 

Paling yang bisa dilakukan adalah bahwa pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak mematuhi putusan MK tersebut. Perlu diketahui bahwa menurut penelitian dosen Trisakti 2019 ada sekitar 22 persen putusan MK tidak dipatuhi oleh stakeholders.

Kebuntuan macam ini harus ada jalan keluar di masa datang. Saya berpendapat bahwa mestinya hakim MK itu jumlahnya minimal 2 kali lipat dari majelis hakim yang ada, yakni 18 hakim yang terbagi menjadi 2 majelis. 

Majelis hakim yang memeriksa permohonan perkara tetap 9 hakim. Jika ternyata ada indikasi bahwa putusan 9 hakim sebelumnya ada kekeliruan yang nyata, maka putusan tersebut dapat dikoreksi oleh 9 hakim lainnya di MK. Saya kira ini adalah jalan keluar yang logis, progresif dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.

Para penegak hukum seharusnya sadar betul bahwa Indonesia kita adalah bangsa yang majemuk dan prismatik sifatnya, sehingga menegakkan hukum di Indonesia tidak identik dengan menegakkan peraturan hukum saja melainkan sekalian anasir-anasir yang berkelindan dengan norma itu. 

Tidak cukup MK menuangkan "frase tambahan" dalam sebuah pasal UU lalu amanat UU dapat dilaksanakan untuk meraih keadilan substantif, bahkan bisa sebaliknya. Di pundak penegak hukum diletakkan beban untuk menghadirkan keadilan substantif di tengah masyarakat.  

Para penegak hukum secara bersama-sama perlu melakukan gerakan menuju pemikiran hukum yang progresif sehingga secara bertahap namun pasti kita mencoba menapaki mutiara kata Galanter yakni menjadi penegak hukum yang mampu alleviating human sufferings dan menjadi profesional hukum yang need to be evolved persons. 

Tangan penegak hukum akan menorehkan nasib rakyat, apakah ke depan penegak hokum benar-benar mampu memberikan manfaat bagi rakyatnya atau sebaliknya. Para penegak hukum perlu menyadari bahwa hukum bukanlah semata-mata rule and logic, tetapi juga behavior. 

Oleh karena itu para penegak hukum seharusnya tidak hanya membaca dan mempelajari teks dan menggunakan logika peraturan saja melainkan perlu mendalami makna hukum, misalnya makna sosial (social meaning) kalau perlu dengan menggunakan cara moral reading seperti yang dikatakan oleh Ronald Dworkin. Hukum ada bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk manusia dan masyarakatnya. 

Saya perlu sampaikan kepada penstudi dan praktisi hukum bahwa hukum progresif bukanlah anti dengan undang-undang, bukan hukum yang dipakai sebagai dasar pembenaran pelanggaran hukum. Kekuatan hukum progresif tidak sama sekali menepis kehadiran hukum positif. 

Sebaliknya, hukum progresif tetap menjunjung tinggi aturan hukum namun tidak mau terpasung oleh aturan itu apabila menemui kebuntuan legalitas formal. Hukum progresif selalu menanyakan apa yang bisa saya lakukan dengan hukum ini untuk menghadirkan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people). Rule breaking oleh MK dan MKMK menjadi jawaban utamanya.

Melalui cara rule breaking oleh MK dan MKMK, diharapkan marwah MK dapat dipulihkan meski dengan susah payah. Kekhawatiran berbagai pihak atas pembentukan MKMK yang dilantik oleh Ketua MK Anwar Usman di tengah hegemoni kekuasaan yang tiran dan nepotis memang tidak berlebihan. 

MKMK boleh jadi hanya akan menjadi alat legitimasi putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dengan alasan MKMK yang dipimpin oleh Jimly Ashshiqi hanya memutus aspek etik dan tidak menyentuh soal keabsahan putusan MK yang diduga kuat tercemari oleh aspek nepotisme dan intriks kepentingan politik lainnya. 

Akhirnya saya perlu menyematkan lagi status FB saya yang berbunyi: Mereka Hanya Pura-pura Bertikai, Tapi Sejatinya Mereka Berkomplot". Jadi, apakah Anda masih percaya bahwa dengan pembentukan MKMK yang dipimpin oleh Jimly akan mmpu memulihkan Marwah MK Menjadi "Ideology and Constitution Guardian"?

Tabik...!!!

Semarang, Ahad: 29 Oktober 2023


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar