Topswara.com -- Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia telah melakukan Asessment Nasional. Hal ini sebagai salah satu upaya mengukur dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh satuan pendidikan. Dan dari hasil Asessment Nasional tahun 2023.
Didapati learning poverty atau ketidakmampuan belajar di Indonesia ternyata masih cukup tinggi. Dibuktikan dari hasil asessment kognitif Di SMPN 11 Kota Kupang yang dilakukan pada bulan Juni 2023, ada 21 pelajar tidak bisa membaca dan menulis, bahkan ada yang tidak bisa membedakan abjad. (Tribun News, 10-8-2023).
Learning poverty sendiri adalah ketidakmampuan anak usia 10 tahun untuk membaca dan memahami cerita sederhana. Hal ini dapat berdampak pada kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan di tingkat lanjut.
Sedangkan dalam laporan Fixing the Foundation: Teachers and Basic Education in East Asia and Pacific yang dipublikasikan Bank Dunia, menyebut, anak-anak di beberapa negara Asia Timur dan Pasifik tak memiliki kemampuan pendidikan dasar meski mereka menempuh sekolah dasar, disamping itu bila dibandingkan dengan daerah perkotaan dan daerah yang lebih kaya kualitas pendidikan di daerah pedesaan dan daerah miskin masih tergolong rendah.
Menurut laporan tersebut, tingkat ketidakmampuan belajar (learning poverty), terdapat 14 negara dari 22 negara di atas 50 persen, diantaranya Myanmar, Kamboja, Filipina, Republik Demokratik Rakyat Laos termasuk juga Indonesia.
Sedangkan Malaysia sebagai negara berpenghasilan menengah-atas, learning poverty mencapai di atas 40 persen. Sebaliknya, negara berpenghasilan-atas seperti Jepang, Singapura dan Republik Korea hanya berkisar di antara 3 hingga 4 persen. (Republika, 24/9/2023).
Menilik problem learning poverty ini, tidak lain dan tidak bukan penyebab utamanya adalah sekulerisme kapitalisme, sekularismelah yang mengatur kurikulum pendidikan saat ini dan menyingkirkan agama dari kurikulum pendidikan.
Sistem inilah yang menjadikan pendidikan terkesan hanya sebatas, seberapa besar pendidikan ini mampu mencetak manusia-manusia penghasil materi.
Sistem sekularisme kapitalisme menjadikan kualitas guru merosot sebab tidak sedikit dari para pendidik hanya sekedar melepas kewajiban sebagai profesi. Kurangnya program pelatihan dan pengembangan kualitas pendidik.
Belum lagi polemik gaji guru yang tak kunjung usai menyebabkan para guru tidak fokus mengajar karena harus mencari penghasilan tambahan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dan lagi-lagi bila kembali pada asas kapitalisme hal tersebut bisa menjadikan guru perhitungan tenaga dan pikiran untuk kualitas generasi, sebab menyesuaikan dengan benefit yang didapat. Sehingga guru sulit menjadi motivator dan teladan terbaik bagi siswanya.
Begitu pun pelajar, hanya belajar untuk tuntutan materi belaka. Gaya hidup barat yang di propagandakan, sukses meraup simpati pelajar saat ini sehingga mereka tersibukkan dengan dunia hingga lupa masa depan dirinya, apalagi masa depan bangsa.
Alhasil, kualitas pendidikan saat ini tak bermutu pendidikan tak mampu memberikan peningkatan daya pikir dan pengentalan syakhshiyah (kepribadian) Islam. Sehingga yang terjadi hanya proses transfer ilmu yang kering kerontang.
Pendidikan berbasis sistem Islam berbeda dengan sistem pendidikan sekuler, dimana Islam memosisikan generasi sebagai aset negara dan pendidikan sebagai pilar utama dalam membangun peradaban manusia. Sehingga negara berperan aktif dalam mengentaskan problem learning poverty.
Islam menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam seluruh urusan rakyatnya, termasuk memastikan agar seluruh warganya mendapatkan pendidikan berkualitas. Terlebih pendidikan termasuk ke dalam kebutuhan masyarakat yang utama.
Oleh sebab itu dengan ditopang kekuatan baitulmal negara wajib menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, mulai dari sarana dan prasarana, pembiayaan pendidikan, tenaga pengajar profesional, hingga sistem gaji guru yang menyejahterakan.
Negara juga akan menyiapkan guru-guru profesional yang siap di distribusikan ke pelosok atau pedesaan terpencil, dengan menjamin kesejahteraan mereka selama mengabdi sehingga tidak ada istilah guru menumpuk di kota-kota besar, tetapi minim di pedesaan.
Dan yang paling penting adalah kurikulum yang di terapkan adalah berbasis akidah Islam yang akan membentuk generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam, yang mana generasi yang lahir paham betul tentang hakikat hidupnya yaitu sebagai hamba Allah yang memiliki tugas semata beribadah kepada-Nya.
Dan bentuk ikhtiar untuk melahirkan individu berpola pikir dan pola sikap Islam, beramal sesuai tuntunan syariat tak ada lain adalah dengan proses belajar-mengajar.
Sehingga dari pemahaman tersebut, akan terlahir pelajar yang memiliki semangat tinggi sebab motivasinya adalah ruhiah, yang menjadikan mereka serius dan bersungguh-sungguh dalam belajar membaca dan menulis serta menimba ilmu lainnya. Sebab mereka memposisikan diri sebagai agen perubahan yang dapat bermanfaat untuk umat manusia.
Begitu pula para pendidik yang didasari motivasi ruhiah, mereka akan rela meluangkan waktu dan tenaga untuk mengabdikan dirinya dalam mendidik generasi, memberikan usaha terbaiknya untuk menjadi guru yang kompeten, berusaha semaksimal mungkin mencari metode terbaik dalam proses mengajar agar siswa mudah dan dapat memahami dengan baik.
Sebab dengan dasar ruhiah pendidik faham bahwa setiap usaha yang ia berikan untuk mengajarkan ilmu yang bermanfaat merupakan amalan jariah yang tidak akan pernah putus.
wallahualam.
Oleh: Nur Octafian NL S.Tr.Gz.
Aktivis Muslimah
0 Komentar