Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menilik Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung


Topswara.com -- Kilas balik ke belakang terhadap proyek kereta cepat Jakarta Bandung. Proyek ini sungguh sudah diwacanakan sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden). 

Setelah itu, pemerintah melakukan kelayakan ekonomi yang dikerjakan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA). Dengan menggelontorkan modal sebesar US$ 3,5 juta pada tahun 2014 untuk mendanai studi kelayakan. Dan akhirnya proyek ini mulai dieksekusi di masa pemerintahan Joko Widodo. Pada Maret 2015, Jokowi menyetujui proyek kereta cepat dalam sebuah rapat terbatas.

Setelah adanya persetujuan dari Jokowi, pemerintah membuka peluang kerja sama dengan negara lain. Hasilnya terdapat dua negara yang menawarkan diri yaitu Jepang dan China. Berdasarkan hitungan Jepang nilai investasi kereta cepat mencapai US$ 6,2 miliar atau setara dengan Rp91 triliun di mana 75 persen dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun. 

Begitu juga China juga melakukan studi kelayakan yang didukung oleh Menteri BUMN saat itu adalah Rini Soemarno. China lantas menawarkan nilai investasi yang lebih murah sebesar US$ 5,5 miliar atau setara Rp 81 triliun dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen konsorsium BUMN serta sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun. 

Pada dasarnya yang namanya investasi itu adalah nama lain dari pinjaman atau hutang. Membangun dengan modal hutang, apalagi bayarnya berbunga (riba) sama saja dengan jebakan bedman. 

Jika negara tidak bisa membayar maka aset negara akan diserahkan untuk melunasi hutang tersebut. Inilah sistem kerja kapitalis untuk bisa menguasai/menjajah negara lain.

Dan kita bisa melihat negara-negara yang menjadi korban dari jebakan atas nama investasi ini. Karena sudah berapa banyak negara yang gulung tikar dan di kendalikan oleh negara asing gegara hutang riba ini.

Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung Merugi

Proyek tersebut ternyata mengalami pembengkakan dari nilai awal US$ 6,071 miliar menjadi US$ 7,5 miliar menjadi bukti ketidaktepatan dalam merancang proyek. Hal itu membuat negara menanggung kerugian US$ 1.429 atau setara dengan Rp112 triliun yang mengacu pada kurs rupiah Rp15.000 per US$. Rp 112 triliun bukanlah jumlah yang sedikit. 

Dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk anggaran yang lain seperti kesehatan, pendidikan. Namun dibuang begitu saja gegara kesalahan dalam merancang proyek tersebut. 

Ujung-ujungnya yang menanggung kerugian adalah negara. Padahal dulu janjinya tidak menggunakan dana negara. Faktanya pada akhirnya menggunakan dana negara juga. 

Oleh karena itu di bulan Oktober 2021 Presiden meneken Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa pemerintah melakukan penyertaan modal negara maupun penjaminan terhadap proyek kereta cepat Jakarta Bandung. 

Begitu juga dengan lamanya proses pembangunan dari peletakan batu pertama proyek pada 21 Januari 2016 hingga sekarang 2023 menambah panjang masalah. Hampir selama kurun waktu 7 tahun tak kunjung selesai. 

Proyek pembangunan serasa seperti dibuat permainan. Sehingga memunculkan pertanyaan apakah Indonesia membutuhkan kereta cepat? Rakyat yang mana yang membutuhkannya? 

Publik pun menganggap bahwa proyek ini terkesan sangat dipaksakan. Dalam penerapan sistem (demokrasi kapitalis) yang telah diadopsi oleh negara sekarang ini, menghamburkan dana dipandang sangat wajar. 

Karena berbagai dana proyek yang digelontorkan negara sesungguhnya hanya untuk menguntungkan golongan/kelompok tertentu saja. Yang seharusnya pembangunan itu bisa membawa banyak manfaat untuk umat dan bisa mengokohkan posisi negara dalam kancah internasional. Malah sebaliknya menjadi beban negara. 

Proyek infrastruktur kereta cepat Jakarta Bandung seharusnya menjadi pembelajaran dikemudian hari agar tidak terulang kembali. Namun selama asasnya kapitalis akan sulit terlaksana. Sebab acuannya adalah proyek haruslah dapat memberikan keuntungan bagi para kapital. Hal itu sangat berbanding terbalik dengan sistem islam. 

Dimana asas sistem Islam adalah akidah Islam. Semuanya akan dimintai pertanggung jawaban baik didunia ataupun diakhirat. Sehingga dalam merancang proyek akan sangat hati-hati. Pembangunan proyek infrastruktur yang akan dibangun harus dipastikan terlebih dahulu. 

Infrastruktur apa yang dibutuhkan rakyat? Seberapa tingkat keurgensinya? Dan pertimbangan lainnya. Sehingga bisa dipastikan semua proyek pembangunan tepat sasaran sesuai kebutuhan umat.


Oleh: Agung Andayani 
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar