Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Korupsi Hanya Ada dalam Sistem Demokrasi


Topswara.com -- Dilansir dari Liputan6.com, Presiden Joko Widodo atau Jokowi direncanakan bertemu dengan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo di Istana Merdeka Jakarta, Minggu (8/10/2023) malam.

Seperti diketahui, Syahrul Yasin Limpo mundur dari jabatan mentan karena ingin fokus dengan kasus hukum yang menimpa dirinya. Seperti diketahui, Syahrul dikabarkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan).

Jika menengok ke belakang, menteri di Era Presiden Joko Widodo yang masuk dalam pusaran korupsi tidak hanya Syahrul Yasin Limpo. Belum lama ini mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate juga telah didakwa merugikan keuangan negara lebih dari Rp 8 triliun terkait kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur BTS 4G.

Di negeri ini, korupsi seperti tidak ada matinya. Muncul lagi, muncul lagi dan seperti itu. Nyaris terjadi di semua lini, padahal katanya, Pemerintah serius memberantas korupsi. Berdasarkan data ICW, ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63 persen dibandingkan dengan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 533 kasus (Dataindonesia[dot]id, 21-3-2023).

Dalam salah satu artikel yang dimuat di situs KPK disebutkan bahwa korupsi memiliki berbagai bentuk dan jenis. Pelakunya mulai dari level terendah hingga para penyelenggara negara dan anggota legislatif.

Berdasarkan skala dampak dan paparannya, korupsi dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, Petty corruption adalah korupsi skala kecil oleh pejabat publik yang berinteraksi dengan masyarakat. 

Jenis korupsinya seperti pungutan liar, gratifikasi, penyuapan, uang pelicin, atau pemerasan untuk memuluskan pelayanan publik atau birokrasi. Pada faktanya, pelayanan tersebut seharusnya murah atau bahkan gratis untuk masyarakat.

Kedua, Grand corruption (korupsi kelas kakap) adalah korupsi dengan nilai kerugian negara yang fantastis, miliaran hingga triliunan rupiah. Korupsi kakap menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan masyarakat secara luas.

KPK dalam Renstra 2011—2015 menjelaskan ada empat kriteria grand corruption, yaitu: (1) melibatkan pengambil keputusan terhadap kebijakan atau regulasi; (2) melibatkan aparat penegak hukum; (3) berdampak luas terhadap kepentingan nasional; dan (4) kejahatannya berlangsung sistemik dan terorganisir.

Grand corruption kadang muncul akibat kongkalikong antara pengusaha dan para pengambil keputusan atau pembuat kebijakan.

Ketiga, Political Corruption. Political corruption (korupsi politik) terjadi ketika pengambil keputusan politik menyalahgunakan wewenangnya dengan memanipulasi kebijakan, prosedur, atau aturan demi keuntungan diri atau kelompoknya. 

Keuntungan ini bisa berupa kekayaan, status, atau perpanjangan masa jabatan. Jenis-jenis political corruption adalah penyuapan, perdagangan pengaruh, jual beli suara, nepotisme, atau pembiayaan kampanye.

Semua kasus korupsi di atas, baik petty corruption, grand corruption maupun political corruption, terjadi dalam sistem demokrasi saat ini.

Tentu tidak mudah memberantas ketiga jenis korupsi di atas dalam sistem demokrasi. Pasalnya, demokrasi, yang secara teoretis mengklaim kedaulatan rakyat, dalam tataran faktual tidaklah demikian. 

Dalam praktiknya, kedaulatan rakyat sebagai ‘ruh’ demokrasi selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal atau oleh elit penguasa yang didukung oleh para pemodal. Inilah yang terjadi di banyak negara yang menerapkan demokrasi, termasuk di negeri ini.

Alhasil, negara yang menerapkan demokrasi, dalam praktiknya tidak lebih merupakan negara kleptokrasi; negara yang dikuasai para “maling”. Pasalnya, di negara-negara demokrasi, yang selalu memiliki kuasa adalah segelintir orang yang ‘bermental maling’. 

Merekalah yang telah “mencuri” atau “merampas” kedaulatan rakyat dan mengubahnya menjadi kedaulatan elite wakil rakyat, elite politik dan elite para pemilik modal.

Dengan realitas sistem demokrasi semacam ini, jelas korupsi tidak akan pernah berhenti. Bahkan, bisa makin menjadi-jadi, sebagaimana saat ini.

Oleh karena itu, solusi mendasarnya adalah dengan mencampakkan sistem demokrasi saat ini, lalu diganti dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. 

Tanggung jawabnya tidak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah SWT. di akhirat kelak.
Dengan demikian, sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki “niat” korupsi di awal. Pada titik inilah Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.

Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain, pertama, penerapan ideologi Islam, yang meniscayakan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, dalam sistem Islam menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah Swt.

Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariat Islam, bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.

Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan penguasa dan para pejabat tentu penting. Namun, sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng itu jauh lebih penting.

Alhasil, penerapan syariat Islam akan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Wallahu alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar