Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Konflik Tak Meredam, Potret Hipokrit HAM


Topswara.com -- Belakangan ini jagat media tengah dibanjiri pemberitaan terkait kasus Rempang Eco City. Warga Pulau Rempang tengah menghadapi konflik lahan dengan sejumlah aparat menyoal pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata yang rencananya akan merelokasi sebanyak 7.500.

Penduduk Pulau Rempang tersebut mendapat penolakan warga hingga terjadi bentrok, bahkan membuat sejumlah aktivitas belajar-mengajar terpaksa dihentikan (tribunnews.com 16/09/2023).

Bahkan terjadi aksi bentrok yang dilakukan aparat penegak hukum. Intimidasi ditengah masyarakat dengan tembakan gas air mata dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM. 

Tidak hanya itu, menurut laporan Solidaritas Nasional, pelanggaran HAM dapat dilihat dari sejumlah hal, seperti pengerahan kekuatan yang berlebihan yang mengakibatkan kekerasan, minimnya partisipasi dan aksesibilitas terhadap informasi terkait investasi yang masuk, penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Polresta Barelang pasca-usainya aksi.

Terlanggarnya hak perempuan dan anak dalam kaitannya dengan konflik sosial, hilangnya rasa aman, serta merebaknya ketakutan yang terbangun secara massif di tengah-tengah warga Rempang, dan dikang-kanginya aspek bisnis dan HAM (tvonenews.com 18/09/2023).

Ironisnya, intmidasi pada rakyat tersebut bukanlah kali pertama. Penggusuran paksa juga terjadi di Wadas, Jawa Tengah, dan Air Bangis, Sumatera Barat, serta banyak wilayah lainnya dengan pola yang sama atas nama proyek strategis nasional. 

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, S.H., LL.M menilai dalam kasus Pulau Rempang, pemerintah menggunakan diksi pengosongan lahan, bukan penggusuran. Dari diksi itu ada makna tersirat, warga memang harus pindah karena itu bukan tanahnya. 

Pilihan diksi ini menegaskan bahwa kekerasan yang terjadi seolah sudah sesuai hukum. Akibatnya, warga makin terdesak dan kekerasan mendapat legitimasi (kompas.id 14/09/2023). 

Tidak hanya menyoal lahan, di dunia jurnalistik pembelaan HAM juga dipertanyakan. Salah seorang wartawan media online di Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat dianiaya oleh keluarga pelaksana proyek. 

Kejadian bermula saat Nuryo Sutomo (korban) selaku wartawan menanyakan papan nama (plang) proyek pekerjaan rabat beton yang diduga tidak dipasang oleh pelaksana. Namun pihak keluarga pelaksana tidak terima sehingga terjadi intimidasi dan penganiayaan (suarakalbar.co.id 2/09/2023). 

Ketua Persatuan Wartawan Kalbar (PWK) Ali Muhammad menyebutakan rekannya hanya melaksanakan tugas peliputan di lapangan dan meminta APH segera mengusut tuntas dan menangkap pelaku penganiayaan sesuai prosedur hukum yang berlaku. 

Disinyalir adanya dugaan penyimpangan pelaksana proyek, sehingga takut kedoknya terbongkar kemudian melakukan intimidasi dan penganiyaan terhadap korban yang menjalankan tupoksi sesuai amanat UU No 40 tahun 1999 tentang Pers (jangkarpena.com).

Padahal dalam sistem demokrasi saat ini, Hak Asasi Manusia dianggap hal yang agung dan patut dilindungi. Bahkan, terkait legalitas kepemilikan lahan meski belum memiliki sertifikat tanah telah dijamin menurut daluwarsa dalam pasal 1963 KUH Perdata begitu juga tupoksi tugas wartawan telah tertuang dalam undang-undang. 

Namun pada kenyataannya, aturan tersebut tidak dapat mengakomodir keadilan secara umum bagi seluruh lapisan masyarakat. Kejadian yang ada menunjukkan bahwa HAM hanya lip service belaka.

Mereka yangg berusaha mendapatkan haknya tak jarang mendapat diskriminasi hingga penganiayaan. Terlebih jika ada pihak yang merasa terganggu kepentingannya dan ia adalah pemilik modal. Tidak jarang hukum bak karet yang dapat di atur sesuai pesanan pemilik modal.

Indonesia merupakan negara dengan sistem demokrasi dan sistem ekonomi berbasis kapitalisme. Sehingga konsekuensinya, seluruh aturan dan undang-undang yang dibuat berdasarkan kesepakatan DPR yang sangat dipengaruhi oleh para pemodal, baik domestik maupun asing.

Saat ini negara meletakkan kedaulatan yang sejati bukanlah di tangan rakyat sebagaimana yang biasa terucap oleh politisi. Pada praktiknya kedaulatan ada di tangan para oligarki. Negara hanya bertindak sebagai regulator (pengatur) kepentingan para korporasi. 

Jadilah negeri ini negeri korporatokrasi (pemerintahan perusahaan) bentuk pemerintahan dimana kewenangan telah didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. 

Penguasa abai dalam mengurus apalagi melindungi (jiwa) rakyat, termasuk soal kepemilikan lahan dan segala yang menyangkut hajat hidup serta kemaslahatan orang banyak.

Inilah buah pahit penerapan sistem demokrasi liberal bernafaskan sekuler kapitalisme. Alam kapitalisme mewujudkan politisi yang hanya selalu mengejar kekuasaan demi keuntungan pribadi dan kelompoknya, bukan untuk kemaslahatan rakyat. Akibatnya, memiliki pejabat yang adil dan berkualitas hanya menjadi angan belaka.

Kondisi ini jauh berbeda dengan Islam. Syariat mewajibkan negara memfungsikan diri sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Negara wajib memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pada tiap warga begitu juga pemberian kesejahteraan serta pemenuhan kebutuhan dasar seperti kesehatan, keamanan dan pendidikan. 

Kekuasaan yang amanah hanya bisa terwujud melalui kombinasi dua hal, yaitu sistem yang menerapkan Islam dan individu penguasa yang adil. Dalam sebuah tatanan yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar pemerintahannya. 

Semoga para penguasa yang menzalimi rakyatnya segera bertaubat dan menyerahkan kekuasaannya kepada Islam hingga kecintaan dan keridhaan Allah dan Rasul-NYA didapatkan. 

Wallahua’lam bissawab.


Oleh: Agustin Pratiwi
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar