Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kasus Rempang Masih Panas, Masihkah Rakyat Berdaulat?


Topswara.com -- Rempang belum tenang. Penolakan relokasi warga masih bergulir, meski pemerintah memberikan sejumlah janji. Pasca bentrok dengan aparat akhir September lalu, suasana Rempang mulai kondusif, warga mulai beraktifitas kembali. Meski tenangnya baru 50 persen, kalau tanahnya batal diambil baru tenang 100 persen, kata salah satu warga (tempo.co, 8/10/2023). 

Ditempat lain, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyebut 70 persen warga Pasir Panjang, salah satu kampung tua di Sembulang bersedia direlokasi. Namun pernyataan Bahlil dibantah oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Riau Boy Ferry Evan Sembiring, data dilapangan baru 30 kk dari 139 kk atau sekitar 25 persen yang siap direlokasi (ekonomi.bisnis.com, 8/10/2023).

Demokrasi, Kedaulatan ditangan Oligarki

Kasus Rempang menggambarkan rempongnya demokrasi. Meski mengangkat slogan kedaulatan ditangan rakyat, faktanya tidak seindah teorinya. Suara rakyat hanya dibutuhkan ketika pesta demokrasi sebagai legalitas terpilihnya calon yang sudah ditentukan oleh partai politik dan oligarki. 

Ketika kekuasaan ada dalam genggaman, maka nasib rakyat terabaikan. Rakyat sekedar pendorong mobil mogok, ketika mobil sudah berjalan, rakyat ditinggalkan. Ini karena demokrasi merupakan politik berbiaya tinggi. 

Untuk mendapatkan kursi, calon-calon legislatif atau penguasa harus mengeluarkan biaya tinggi. Bila kantong tidak tebal, ada oligarki yang menambal biaya politik. Untuk menjadi bupati/walikota butuh rerata Rp 30 milyar, menjadi cawapres harus setor Rp 7 triliun (New.widyamataram.ac.id, 26/10/2022). Untuk maju menjadi anggota DPR berkisar 750 juta hingga 4 milyar (cnnindonesia, 2/4/2019).

Tidak ada makan siang gratis. Ketika terpilih, maka eksekutif dan legislatif siap melayani kepentingan oligarki. Janji membela dan berjuang untuk rakyat hanya masa kampanye tuk memikat hati rakyat, faktanya mengabdi konglomerat.

Kasus Rempang menunjukkan bahwa yang berdaulat dinegeri ini konglomerat. Demi melayani tuannya, penguasa berbuat dzalim pada rakyatnya. Meski rakyat sudah mendiami tanah tersebut ratusan tahun, bahkan ketika NKRI belum berdiri, rakyat terdzalimi. 

Meski rakyat lantang menolak, PSN tetap berjalan meski ditunda. Dengan fakta tersebut, masihkah kedaulatan ada ditangan rakyat? Atau berada dalam genggaman segelintir oligarki yang menguasai kekayaan negeri?

Islam Menjadikan Rakyat Penguasa

Islam merupakan din sekaligus mabda, darinya terpancar aturan sebagai solusi problematika manusia. Islam menegaskan bahwa kedaulatan ada ditangan syarak dan kekuasaan ada ditangan rakyat. 

Sementara penguasa adalah wakil rakyat untuk menjalankan roda kekuasaan. Seorang penguasa adalah pelayan dan pengurus rakyat. Baginda Nabi SAW bersabda,

"Seorang imam adalah ra'in (pengurus) rakyat. Dia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya (HR Bukhari).

Tinta sejarah peradaban mencatat, betapa rakyat termuliakan dalam sistem Islam. Negara hadir untuk melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat bukan konglomerat. 

Ada seorang Yahudi yang tanahnya mau dibeli oleh Wali Mesir Amr bin Ash untuk dibangun masjid. Si Yahudi menolak, Amr menaikkan tawarannya hingga berlipat, si empunya tetap menolak. Akhirnya Amr bin Ash mengambil tanah Yahudi dengan paksa, masjidpun mulai dibangun. Yahudi pemilik tanah mencari keadilan pada Sang Khalifah, Umar bin Khattab di Madinah. 

Setelah mengadukan masalahnya, Sang Khalifah hanya memberikan padanya sekerat tulang yang diberi garis lurus untuk diberikan pada Sang Wali di Mesir. Meski dengan segudang keheranan, Yahudi pulang ke Mesir melaksanakan titah khalifah. 

Sampai di Mesir, sekerat tulang disampaikan pada Sang Wali. Begitu menerima sekerat tulang tersebut, Wali memerintahkan membongkar masjid yang telah berdiri. Amr mengembalikan hak atas tanah Yahudi. Melihat keadilan Islam, Yahudi pun bersyahadat.

Begitulah keadilan Islam, rakyat, baik muslim dan non muslim dilindungi hak-haknya. Adakah keadilan kita dapatkan dalam demokrasi? Sungguh jauh panggang dari api, demokrasi menempatkan kedaulatan pada pemilik modal, rakyat menjadi tumbal. 

Masihkah layak demokrasi dipertahankan? Keadilan bagi semua hanya terwujud dalam khilafah yang menerapkan Islam kaffah. Tidakkah kita ingin mengenyam keadilan Islam?

Wallahu a'lam bishshawab.


Ida Nurchayati
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar