Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jihad Santri, Melawan Apa Kini?


Topswara.com -- “Negara ini didirikan dengan jihad. Maka, masa depannya juga harus diperjungkan dengan jihad. Jihad yang dilandasi semangat kepahlawanan sebagaimana diteladankan para pahlawan demi tegaknya Indonesia.”

Kutipan pidato di atas disampaikan oleh Ketua Umum PB NU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) Ketika memberikan sambutan dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional (HSN) di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (21-10-2023). 

Gus Yahya juga mengatakan bahwa perjalanan hidup bangsa ini tidak bisa dilepaskan dari peran kaum santri. Spirit jihad fii sabilillah yang digelorakan oleh Hadrotusyeikh Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945, mampu mempertahankan keutuhan NKRI, menjaga Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Tema HSN tahun ini cukup ‘sangar’ dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yakni “Jihad Santri Jayakan Negeri”. 

Padahal kita tahu, diksi jihad sendiri, akhir-akhir ini sering dimaknai peyoratif dan negatif, bahkan dinisbatkan kepada teroris seiring masifnya proyek deradikasisasi melalui moderasi beragama yang diusung pemerintahan Jokowi. 

Bukannya suuzan, penempatan istilah jihad oleh pemerintah pada tema HSN kali ini lebih cenderung bermakna ‘soft’, yakni menarik frasa jihad ke istilah modern, yakni jihad intelektual. 

Terlebih, sejak ditariknya materi ajar jihad dan khilafah dari kurikulum madrasah melalui SK Dirjen Pendidikan Islam nomor 3751, nomor 5126, dan nomor 5161 tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada jenjang MA, MTs, dan MI. Pemerintah juga menggeser ajaran jihad dan khilafah dari mata ajar fikih ke sejarah dengan dalih keduanya tidak lagi relevan pada masa sekarang. 

Lantas, kini jihad melawan apa? Jawabannya dapat dikembalikan kepada relevansi HSN dan political will pemerintah. 

Saat ini, musuh utama bangsa bukanlah radikalisme, melainkan paham sekularisme yang menjadi atmosfer kehidupan bangsa. Cara pandang sekulerlah yang menyebabkan tata nilai kehidupan kita bergeser, dari budaya ke-Timuran menjadi ke-Barat-baratan. 

Dahulu, kehidupan para santri penuh dengan semangat perjuangan melawan entitas kolonial, baik Belanda, Portugis, maupun Jepang. Semangat itu dipompa dari asas yang mendalam yakni akidah islam. 

Bahwa jihad adalah kewajiban mulia dalam mempertahankan agama dan wujud bela negara. Di tangan para santri, wawasan kebangsaan termasuk konsep pertahanan dan keamanan begitu klop dengan ajaran islam, tidak bisa dibentur-benturkan. Islamlah yang mengajarkan perjuangan melawan penjajahan. 

Motivasi ‘berani mati’ daripada hidup terjajah terinspirasi dari pahala syahid karena mati di medan perang karena Allah akan diganjar surga.

Kini, meski penjajahan fisik itu telah pergi dan kita telah memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka, spirit resolusi jihad santri itu harus tetap bergelora. Sebab, musuh kita hari ini bukan lagi meriam dan bedil. Bukan pula roket-roket yang ditembakkan seperti di Palestina. 

Negeri ini menghadapi serangan budaya dan pemikiran penjajah Barat yakni sekularisme beserta turunannnya. Mereka (bangsa Barat) menginvasi kita dengan budaya hedonisme. Generasi muda kita, banyak yang terjangkit olehnya. 

Berita bulliying berujung maut di mana-mana termasuk di pesantren, kenakalan remaja menghiasi berita, perzinahan remaja berujung nikah dini dan cerai dini menjadi menu harian berita di media. 

Belum lagi persoalan adab dan moralnya juga ambyar. Ada murid membacok guru, guru mencabuli murid, tawuran antarpelajar, dan lain-lain menjadi santapan rutin akhir-akhir ini.

Alih-alih menuntaskan persoalan, aneka kebijakan yang dikeluarkan pemerintah malah menambah panjang masalah. Terbukti, kasus-kasus di atas bukannya menurun justru naik fantastis dengan beragam modus dan makin sadis. 

Kalau sudah begini, seharusnya kita mengintrispeksi diri. Bukan sekadar menyalahkan faktor individunya semata, melainkan juga meninjau ulang sistem dan aturan yang ada. 

Sekularisme telah melahirkan cara pandang liberal dalam berbagai hal. Dalam tata pergaulan, relasi antara laki-laki dan perempuan, sebatas pada hubungan seksualitas yang dipenuhi syahwat. 

Sehingga kerap kita jumpai kasus-kasus bulliying dan kekerasan seksual menimpa pesantren. Demikian pula sekularisme juga telah mereduksi cara pandang beragama menjadi moderat. 

Kitab-kitab fikih ulama muktabar yang berisi ajaran-ajaran islam terutama jihad dan khilafah pun dikaji ulang dan dimaknai sebatas jihad individual melawan hawa nafsu. Pertanyaannnya, hawa nafsu yang mana? Nyatanya, kasus kekerasan seksual justru dilakukan oleh mereka yang disebut kyai atau ustaz. 

Belum lagi program santripreneur yang suarakan dalam rangka pemberdayaan ekonomi pesantren. Ini kan jelas beraroma kapitalistik. Sama saja mengalihkan tanggungjawab negara dalam menjamin kebutuhan dasar Pendidikan warganya, termasuk Pendidikan pesantren. Iya apa iya?

Oleh karenanya, para santri yang memahami hukum syariat Islam karena mereka mempelajari kitab-kitab ulama, harus menjadi pionir dalam perjuangan mengembalikan islam dalam mengatur persoalan kehidupan bangsa menggantikan sekularisme. 

Pesantren sebagai kawah candradimuka dalam hal agama bertanggungjawab mengedukasi umat agar tidak terperangkap ke dalam kubangan sekularisme. Sungguh, gelapnya kehidupan hari ini bukan karena Islam, tetapi karena menjauhkan Islam sebagai cahaya kehidupan. 

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah, Allah menunjuki orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang-benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (TQS. Al-Maidah: 15-16). 

“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahkan karunia-Nya dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus untuk sampai kepada-Nya.” (TQS. An-Nisaa’: 175). Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.

Hari ini, PR kita sebagai umat islam adalah tetap berpegang teguh kepada tali agama Allah, memupuk ukhuwah Islamiyah, dan berjuang secara pemikiran untuk mengangkat dan menegakkan kalimat Allah. 

Hanya dengan bekal keimanan yang kokoh, kita berjihad untuk kemuliaan hidup di bawah naungan islam atau syahid demi kemulian agama Islam. Jangan sampai ada option ketiga di antara kita!


Oleh: Pipit Agustin 
Pegiat Dakwah dan Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar