Topswara.com -- Jakarta, sejak Mei 2023 dinobatkan sebagai 10 besar kota dengan paparan polusi terburuk di dunia. Beberapa media luar pun memberitakannya. Salah satunya media Singapura Strait Times dalam artikel videonya dengan judul ‘Jakarta named world's most polluted city’ disebutkan sebenarnya warga sudah lama mengkritik beracunnya udara. Mulai dari lalu lintas yang terlampau padat, asap industri hingga pembangkit listrik tenaga uap berbahan batubara.
Bahkan, media Hong Kong, South China Morning Post (SCMP) menyoroti risiko penyakit yang ditanggung warga Jakarta karena polusi. ‘Residents fear health risks in Jakarta air’ di berita videonya merujuk risiko polusi yang sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Sementara itu media Arab Al-Arabiya merujuk pemberitaan AFP, menyebutkan bahwa konsentrasi partikel kecil atau PM2.5 melampaui banyak kota-kota berpolusi berat lainnya di dunia. Jakarta secara teratur mencatat tingkat PM2.5 nya 'tidak sehat', dapat menembus saluran udara hingga menyebabkan masalah pernapasan, berkali-kali lipat dari tingkat yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia WHO (cnbcindonesia.com).
Banyak pihak berspekulasi penyebab tingginya polusi udara di Jakarta. Salah satunya Prof. Dr. Fahmi Amhar. Ia menyebutkan faktor penyebab, di antaranya musim kemarau yang panjang, pembangunan proyek konstruksi, dibangunnya PLTU baru, pengguna kendaraan pribadi yang melonjak setelah masa pandemi serta sektor industri dan perumahan yang menggunakan bahan bakar non elpiji.
Sementara berapa prosentase masing-masing menyumbang polusi udara juga belum bisa dipastikan. Dari sisi penghasil emisi karbon monoksida (CO) terbesar, disebutkan disumbang dari sektor transportasi sebesar 96,36 persen atau 28.317 ton per tahun, disusul pembangkit listrik 1,78 persen 5.252 ton per tahun dan industri 1,25 persen mencapai 3.738 ton per tahun (www.cnbcindonesia.com).
Mengingat luar biasanya bahaya yang ditimbulkan dari polusi udara tersebut, tentu harus ada solusi yang tepat cermat tanpa menimbulkan masalah baru. Salah satu solusi dari pemerintah yakni dengan memindahkan ibukota negara, perpindahan dari transportasi pribadi ke transportasi publik serta memperluas area terbuka hijau.
Pasalnya, transportasi yang ditengarai sebagai penyumbang polutan paling besar, pemerintah mengeluarkan kebijakan peralihan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil kepada kendaraan listrik, semisal mobil ataupun motor listrik.
Bahkan pemerintah memberikan subsidi senilai 7 juta rupiah untuk pembelian motor listrik dan 70 juta rupiah untuk pembelian mobil listrik.
Alasan utama penggunaan mobil listrik lebih baik daripada kendaraan bermotor berbahan bakar fosil di antaranya: Pertama, listrik makin bersih.
Penggunaan listrik sebagai bahan utama tidak meninggalkan bekas kotor di mesin dan listrik dapat menjadi energi yang bersih dan berkelanjutan apabila memanfaatkan sumber energi terbarukan.
Kedua, kendaraan bermotor berbahan listrik lebih efisien daripada kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Lebih dari 100 tahun hingga saat ini, mesin yang digunakan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil, hanya sekitar 12-30 persen yang digunakan dan berhasil menggerakan roda dan fungsi lainnya.
Sementara itu, sekitar 70-82 persen sisanya terbakar dalam prosesnya yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Benarkah ini sebuah solusi mengatasi polusi dan pasti bebas emisi? Kendaraan listrik yang sedang dikembangkan sekarang seperti Gesits, Tesla, hingga Hyundai merupakan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) yang akan menggunakan listrik hasil pengisian di berbagai tempat.
Sudah siapkah infrastruktur yang akan menjadi penunjang penggunaan kendaraan listrik tersebut, yaitu Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU)? Target Pemerintah adalah membangun sekitar 1.030 SPKLU yang tersebar di Indonesia pada 2023 ini.
Alih-alih terpenuhi namun sudah dijanjikan subsidi. Inilah salah satu kekurangan, ketidaksiapan penggunaan kendaraan listrik. Ditambah masih ada dampak lain dari penggunaan KBLBB secara masif.
Saat kendaraan listrik mudah didapatkan, maka permintaan energi listrik akan meningkat. Bahkan untuk mengisi baterainya, produksi dari baterai yang digunakan oleh kendaraan listrik pun memerlukan energi yang besar.
Dibarengi dengan pertumbuhan penduduk, maka akan meningkatkan ketergantungan manusia terhadap energi listrik.
Sayangnya, Indonesia sendiri masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai sumber energi listrik yang tidak rendah emisi.
Meskipun pemerintah menargetkan pada 2025 penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) akan mencapai 25 persen. Kenyataannya masih sangat bergantung pada kontribusi batubara dan gas.
Ditambah pula potensi limbah dari bekas baterai. Baterai memiliki masa pakai sekitar sepuluh hingga 12 tahun saja. Setelah itu, perlu diganti dengan yang baru agar kendaraan bisa dipakai selanjutnya. Nah, keterbatasan life time baterai ini ternyata menimbun limbah yang besar di masa depan.
Tidak hanya itu, baterai kendaraan listrik merupakan baterai lithium yang tergolong limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Jenis limbah ini membutuhkan penanganan tersendiri sehingga tidak bisa dilakukan sembarangan.
Oleh karenanya, pemerintah harus merancang dengan matang program daur ulang serta pengelolaan agar senyawa kimia yang ada pada baterai tidak malah merusak lingkungan.
Bilapun Indonesia telah menggunakan EBT sebagai sumber energi dan penanganan limbah baterai sudah baik disertai infrastrukur SPKLU sudah memadai, ternyata masih ada sebuah permasalahan yang kerap kali tidak disadari masyarakat awam.
Kendaraan rendah emisi yang murah dan terjangkau tentunya akan membuat pengguna kendaraan pribadi semakin meningkat. Tentu saja kemacetan yang akan terjadi, sekaligus kebutuhan jalan baru. Pelebaran jalan raya, pembebasan lahan, bahkan penambahan jalan tentu memerlukan tak hanya dana namun waktu dan sumber daya yang banyak.
Sungguh solusi yang bermasalah. Kendaraan listrik secara umum menguntungkan jika dibandingkan dengan kendaraan bermotor konvensional. Mulai dari emisi yang jauh lebih sedikit hingga harga yang semakin lebih murah nantinya.
Namun, perlu ada penyesuaian mengenai sumber energi yang digunakan, penanganan limbah, regulasi, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial. Jangan sampai kendaraan yang dianggap ‘hijau’ ini malah menjadi bumerang bagi kita dan tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Bukan kapitalis namanya bila tidak ada kebijakan yang tidak menguntungkan. Asas manfaat yang selalu ada di saat dan tempat yang tepat. Polusi udara ternyata memberikan kesejukan bagi para pebisnis kendaraan listrik. Sejak pemerintah menggelontorkan subsidi motor listrik pada awal April 2023, hasilnya ternyata mengecewakan. Karena tidak sesuai target yang diharapkan.
Kalangan ekonom terus mengkritisi wacana pemberian insentif pembelian kendaraan listrik oleh pemerintah. Salah satu ekonom, Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia berpendapat, insentif pembelian mobil atau motor listrik mestinya tidak lebih besar dari insentif lainnya yang ditujukan untuk masyarakat umum, khususnya kalangan menengah ke bawah.
Apalagi, insentif ini tidak termasuk insentif yang urgen dikeluarkan pemerintah dalam aspek jangka pendek. Di balik subsidi yang dikeluarkan penguasa ada cuan yang akan didapat pengusaha, baik itu konglomerat asing maupun dalam negeri sendiri. Lalu rakyat dapat apa?
Dalam sistem kapitalisme kepentingan rakyat tidaklah penting dibanding keuntungan yang akan diraih mereka. Rakyat hanya mendapatkan sisa-sisa limbah beracun.
Belum selesai soal subsidi kendaraan listrik, pemerintah sudah berencana untuk menghapus bahan bakar jenis pertalite dan menggantinya dengan pertamax 92 green. Inilah ilusi solusi polusi.[]
Oleh: Tri Yuni Sadikin
Pengajar di Depok
0 Komentar