Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Freeport Sumbang Totem, Yakin Bentuk Perhatian?


Topswara.com -- PT Freeport Indonesia (PTFI) menyerahkan dua totem Kamoro dari tanah Papua kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), selaku pelaksana proyek Penataan Kawasan Waterfront City Pangururan, di Taman Totem Dunia, Samosir, Sumatra Utara (kompas.com, 30/9/2023).

Direktur dan Executive Vice President (EVP) Sustainable Development PTFI Claus Wamafma, menyampaikan bahwa penyediaan totem dari Suku Kamoro merupakan bentuk komitmen pihaknya untuk ikut melestarikan karya seni dan budaya salah satu masyarakat adat Papua yang tinggal di sekitar perusahaan dan lambang persahabatan antara suku Batak dan suku Kamoro Papua, menurut Sekretaris Daerah (SEKDA) Kabupaten pulau Samosir (kompas.com, 30/9/2023).

Program ini sebagai upaya pengembangan pariwisata terintegrasi dan berkelanjutan yang didukung oleh pemerintah dan Bank Dunia. Di kawasan ini akan dibangun beberapa atraksi dan wahana yang bersumber pada kearifan budaya lokal, dengan pesan kelestarian alam, penerusan nilai budaya, serta persahabatan dunia (seputarpapua.com, 1/10/2023).

Terlepas dari target ekonomi, PT Freeport Indonesia (PTFI) sendiri adalah perusahaan tambang mineral afiliasi dari Freeport-McMoRan (FCX) dan Mining Industry Indonesia (MIND ID) yang berlokasi di Grasberg, Papua yang memasarkan konsentrat ke seluruh penjuru dunia, terutama ke smelter tembaga dalam negeri, PT Smelting dan mengoperasikan tambang bawah tanah terbesar di dunia (seputarpapua.com, 1/10/2023). 

Sebenarnya patut dipertanyakan, apakah benar Freeport memberikan perhatian bagi masyarakat sekitar perusahaan di Papua? Sementara pada saat yang sama kita menemukan bahwa Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia, ditambah ketimpangan masyarakat Papua yang masih sangat tinggi.

Potret Kapitalisme

Pertama, PT Freeport yang berlokasi di Papua kini telah beralih dikuasai oleh PT Inalum sebesar 51,23 persen. Dari sistem kapitalisme hari ini, bahwa PT tambang terbesar di Indonesia itu dapat dikuasai oleh individu asalkan dia memiliki uang untuk membayarnya. 

Karena sistem kapitalisme membolehkan kepemilikan umum berupa tambang dimiliki oleh satu individu saja. Padahal harusnya hasilnya itu dapat dinikmati oleh semua orang, bukan segelintir orang. 

Kedua, jelas bahwa pemugaran totem ini nampak untuk mencari keuntungan kembali oleh para penguasa pemilik modal melalui jalan pariwisata yang akan dikembangkan dan nantinya akan mengundang wisatawan untuk berkunjung. Terlihat jelas bahwa pemugaran totem ini mendapat dukungan dari pemerintah dan Bank Dunia.

Ketiga, totem ini diibaratkan sebagai "obat pereda rasa sakit" yang diderita masyarakat Papua, namun tidak menyembuhkan sakit itu. Sebab, di satu sisi telah merampas SDA aset kepemilikan umum (rakyat), dan di sisi lain mencoba menambalnya dengan sejumlah aktivitas pengabdian sosial. 

Keserakahan kapitalisme mustahil berhenti, kecuali ada ideologi yang benar dan siap menggeser ideologi kapitalisme dari panggung dunia, untuk mengembalikan kepemilikan umum berupa SDA kepada rakyat.

Dengan demikian, sumbangan totemnya itu seharusnya tidak membuat kita lupa bahwa sejatinya Freeport telah mengambil jauh lebih banyak. Bahkan berlipat-lipat dari sekadar totem maupun aktivitas corporate social responsibility (CSR) atau pengabdian masyarakat berupa pelayanan kesehatan dan pendidikan. 

Besaran dana revenue (total uang yang dihasilkan dari penjualan produk atau jasa) yang dialokasikan Freeport untuk program CSR diklaim tergolong tinggi (yakni berkisar 1 persen dari nilai revenue). 

Akan tetapi jika kita menilik pendapatan Freeport sepanjang 2022, menurut data laporan keuangan Freeport (2022), 37 persen dari total pendapatan tersebut berasal dari operasi di Indonesia yang nilainya mencapai Rp US$8,43 miliar atau senilai Rp126,39 triliun. 

Jadi jelas, sumbangan totem dan CSR justru hanya secuil dari profit ekonomi sektor pertambangan dan SDA mineral yang coba Freeport kembalikan kepada negeri kita. Hal itu sesungguhnya makin menegaskan tambal sulamnya aturan kapitalisme hari ini. 

Keserakahan kapitalisme mustahil berhenti, kecuali ada ideologi sahih yang siap menggesernya dari panggung dunia, untuk mengembalikan kepemilikan SDA kepada rakyat, yang tidak lain adalah ideologi Islam.

Sumber Daya Alam Milik Umum

Dalam hal ini, Islam telah mengatur SDA tambang (minerba, migas) sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Ibnu Majah). 

Oleh sebab itu, tambang tidak boleh dimiliki/dikelola atas nama individu, apalagi oleh perusahaan swasta lokal/asing. Negara Islam (khilafah) hanya diperkenankan mengelola tambang dan dikembalikan dalam kemanfaatannya sesuai kebutuhan yang besar bagi rakyat dan tidak sampai merusak lingkungan. Bukan dijadikan sebagai ladang mencari keuntungan. 

Dalam Islam, seorang individu tidak diperbolehkan memiliki pabrik yang digunakan untuk memproduksi barang yang pada dasarnya merupakan bagian dari barang kepemilikan umum. 

Itulah sebabnya, setiap pabrik yang menghasilkan atau mengeskploitasi sesuatu yang secara prinsip merupakan milik umum, maka pabrik tersebut pun otomatis statusnya menjadi milik umum. Tidak diperbolehkan mengubah statusnya menjadi milik individu. 

Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah pabrik-pabrik yang mengeksploitasi minyak bumi, emas, besi, dan lain-lain yang termasuk milik umum. Adapun jika membutuhkan tenaga asing dalam aktivitas tersebut, maka tenaga kerja asing tersebut diikat oleh perjanjian kerja dalam Islam dan tidak menguasai SDA tersebut. 

Seperti yang pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, bahwa Abyadh bin Hammal Al-Mazini meminta kepada Rasulullah SAW hak untuk mengelola tambang garam. Lalu Rasulullah SAW memberikannya. 

Setelah Abyadh pergi, ada seorang yang berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” 

Rasulullah SAW kemudian bersabda: “Tariklah kembali barang tambang tersebut darinya.” (HR. Abu Dawud dan al-Timidzi). Rasulullah SAW melarang penguasaan tambang garam oleh seseorang karena sesungguhnya garam itu seperti air mengalir, tidak terbatas, dan dibutuhkan oleh semua orang. 

Peran negara pun dalam hal ini semata-mata karena menjalankan mandat sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Berdasarkan ketiga hadis ini, Islam menutup ruang bagi adanya privatisasi tambang, maupun SDA lain yang semuanya berstatus kepemilikan umum. 

Para pejabat di negara Islam juga tulus mengurusi urusan umat, bukan untuk kemanfaatan diri sendiri. Mereka sadar sepenuhnya bahwa menjabat adalah memegang amanah besar sekaligus bagian dari tanggung jawab keimanan.

Oleh karena itu, dibutuhkan sistem aturan hidup yang berasal dari Islam untuk mengelola SDA agar kesejahteraan dapat terwujud bagi semua warganegara.


Oleh: Dwi Setiawati, S.Pd. 
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar