Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Fenomena Pindah Kubu Partai Politik


Topswara.com -- Dilansir dari tirto.id - Kerusuhan terjadi di Muntilan, Magelang, pada Minggu, 15 Oktober 2023, sore hari. Meskipun tidak sampai menelan korban jiwa, 6 unit sepeda motor dibakar massa. Benarkah kejadian bentrok ini melibatkan simpatisan partai politik (parpol)?

Lokasi kejadian kerusuhan berada di 2 tempat yang berbeda. Pertama di Pabelan, Kecamatan Mungkid, Magelang. Gesekan kemudian berlanjut lewat aksi penghadangan di Muntilan.

Bentrok diduga melibatkan Laskar PDIP Jogja (BSM dan Bregodo Wirodigdo) yang baru saja menghadiri acara di Mungkid dengan GPK (Gerakan Pemuda Kabah) Militan.

Keberpihakan rakyat kepada Partai hari ini umumnya karena faktor emosional, symbol dan figure, tanpa pemahaman yang benar akan arah dan tujuan partai.  Keterikatan demikian memudahkan terjadinya gesekan antar individu/kelompok lantaran kuatnya sentiment/ego kelompok dengan pemicu yang sangat sepele.

Mirisnya perselisihan lazim terjadi di akar rumput, padahal para elit partai justru bekerja sama  demi tercapainya tujuan.  Fakta ini selaras dengan ungkapan ‘tidak ada teman sejati, yang ada adalah kepentingan abadi’.

Dalam demokrasi, pemilu dianggap sebagai arena hidup dan mati. Siapa yang memenangi pertarungan, ialah pemenangnya. Setelah mendukung sampai titik darah penghabisan, pendukungnya dilupakan. Ini yang terjadi pasca-Pilpres 2019 bahwa rekonsiliasi Jokowi-Prabowo mengecewakan banyak pihak, termasuk para pendukungnya. Setelah pesta pemilu usai, Prabowo malah merapat ke kubu Jokowi demi mendapat jatah kursi.

Apa yang terjadi setelah itu? Rakyat yang mendukung Prabowo kala itu pun merasa dibohongi dengan sosoknya yang terlihat garang seperti macan saat pilpres, tetapi langsung berubah seperti kucing ketika diberi umpan jabatan di pemerintahan.

Akhirnya, Pilpres 2019 seperti drama yang dipertontonkan kepada rakyat. Mereka merasa terkhianati oleh figur yang mereka dukung selama ini. “Jika ujungnya merapat ke penguasa, lalu untuk apa bertarung habis-habisan saat pilpres kemarin?” demikianlah salah satu ungkapan hati kekecewaan rakyat kepada parpol dan figur yang mereka dukung.

Kemarin lawan, sekarang kawan. Dahulu musuh bebuyutan, sekarang satu perkumpulan. Begitulah realitas parpol sekarang. Lain simpatisan, lain sikap para elite parpol. 

Para elite parpol justru lebih mementingkan tujuan dan kepentingan yang hendak diraih ketimbang mengurusi fanatisme masyarakat yang mendukung mereka. Sekalipun masyarakat memilih menjadi oposisi, misalnya, itu tidak berlaku bagi parpol. Pilpres 2019 adalah contoh nyata demokrasi tidak mengenal kawan ataupun lawan. Yang abadi hanyalah kepentingan.

Umat harus paham tujuan  yang hendak diraih dan waspada akan pihak-pihak yang memanfaatkan suara rakyat untuk  kepentingan individu / kelompok.

Umat harus paham bahwa realitas parpol dalam demokrasi kebanyakan bersifat dan bersikap pragmatis ketimbang idealis. Bukan idealisme yang menjadi pertimbangan setiap kebijakan parpol, melainkan lebih pada manfaat yang bisa diambil parpol dari setiap keputusan politik yang mereka buat.

Fenomena pindah kubu adalah hal biasa dalam politik demokrasi. Pandangan parpol tentang politik memang lebih cenderung pada meraih kekuasaan setinggi-tingginya, baik saat pilkada, pileg, ataupun pilpres. Jika masyarakat mencermati  betul, koalisi yang dibangun dalam setiap kontestasi pemilu pasti berwajah dinamis.

Ada kalanya di satu wilayah bersaing, ternyata di wilayah lain bersatu. Artinya, dukung mendukung paslon hanya dinilai dari seberapa besar peluang mereka menang dan keuntungan yang akan mereka dapatkan. Prinsip “tidak ada kawan dan lawan abadi” seolah harga mati bagi parpol demokrasi.

Jadi, sangat merugi jika kita sebagai masyarakat terlalu mengedepankan fanatisme terhadap golongan/partai. Apalagi hingga terjadi bentrokan yang tidak mengindahkan semangat persaudaraan dan persatuan. 

Dalam hal ini, kita harus memahami akan banyak pihak-pihak yang memanfaatkan suara rakyat demi meraih dukungan sebanyak-banyaknya dengan beraneka cara.

Oleh karenanya, umat harus tahu realitas politik demokrasi agar tidak terjebak polarisasi yang memunculkan perselisihan.

Dalam sistem Islam, parpol berdiri bukan hanya untuk memuaskan nafsu berkuasa dan memenangkan suara semata. Lebih dari itu, parpol berperan strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat, yaitu membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar. Politik yang bermakna mengurus urusan rakyat.

Tujuan berdirinya parpol dalam Islam adalah untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang lurus sesuai pandangan Islam, bukan sekadar sebagai wadah menampung aspirasi dan suara rakyat. 

Mereka juga harus melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa, tidak membela kezaliman, dan tidak bersikap manis hanya untuk menyenangkan penguasa. Sudah semestinya parpol berdiri untuk membela kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Itulah cara kerja parpol yang diajarkan dalam Islam.

Islam membolehkan berdirinya banyak parpol dalam rangka merealisasikan muhasabah kepada penguasa. Dalam Islam, berpolitik mewujud dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar. Artinya, tugas parpol sebagai penyambung aspirasi rakyat dalam rangka membangun kesadaran penguasa ketika menjalankan tugas dan amanahnya.

Dengan kata lain, napas perjuangan parpol haruslah terikat dengan aturan Islam, bukan kepentingan individu atau golongan. Dengan begitu, parpol tidak akan mudah berbelok arah karena bersandar pada ikatan yang benar, yakni akidah Islam.

Wallahu alam bishawab. 


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar