Topswara.com -- Fenomena bunuh diri menjadi marak di kalangan mahasiswa belakangan ini. Pada Oktober ini, sudah ada empat kasus mahasiswa yang diduga bunuh diri.
Kasus terakhir terjadi pada mahasiswi Universitas Dian Nuswantoro pada Rabu malam, 11 Oktober 2023. Korban EB yang berusia 24 tahun ditemukan tewas di kamar indekosnya di daerah Tembalang, Semarang.
Sehari sebelumnya, mahasiswi Universitas Negeri Semarang ditemukan tewas di area pintu keluar parkir Mall Paragon Semarang. Dugaan sementara kepolisian bahwa korban NJW bunuh diri dengan jatuh dari lantai empat area parkir. Polisi menemukan tas milik korban, tanda pengenal, kartu mahasiswa, serta secarik surat yang berisi permohonan maaf kepada keluarganya. (tempo.co.14/10/2023)
Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023.
Angka itu sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang tahun 2022 yang jumlahnya 900 kasus. (databoks. 18/10/2023)
Maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa harus ditelusuri akar masalahnya. Tentu ada banyak faktor internal dan eksternal, yang tentunya cukup kompleks.
Praktisi psikolog keluarga, Nuzulia Rahma Tristinarum mengatakan ada beberapa hal yang bisa memicu fenomena tersebut. Pertama, pola asuh yang membentuk anak-anak sekarang. Pola asuh yang membentuk anak anak sekarang seringkali adalah pola asuh fatherless dan motherless.
Ayah dan Ibu ada tetapi tidak pernah hadir penuh, tidak ada attachment yang kuat dan kurang penanaman prinsip hidup. Anak-anak juga kehilangan figur yang dapat menjadi tauladan.
Kedua, banyaknya informasi yang bisa diperoleh dari dunia maya membuat anak kesulitan memfilter isinya. Terlalu banyak terpapar media sosial dapat membuat anak mengikuti apa yang sering dilihat dan didengar oleh mereka. Apa yang buruk dapat dianggap menjadi wajar. Misalnya bullying, self harm, dan bunuh diri.
Kemudian, tuntutan yang terlalu tinggi dari berbagai sisi, baik internal maupun eksternal, akan berdampak pada karakter anak. (republika.com. 18/10/2023)
Semua kasus yang terjadi diawali kehidupan saat ini bergantung dengan sistem dan faham yang tidak sesuai dengan fitrah manusia, yaitu sistem kapitalis sekuler.
Paham sekuler yang dihembuskan sejak dini, mulai merasuk tumbuh mendarah daging menjadi gaya hidup pada generasi remaja saat ini. Hal ini telihat jelas, remaja tidak mengenal lagi nilai-nilai agama dan hanya mampu memperturutkan hawa nafsunya.
Pada saat ada masalah, akal sehat dan iman tidak hadir untuk memberikan solusi. Hanya amarah, putus asa dan hawa nafsu yang menjadi jalan keluarnya.
Begitu pun dengan sistem pendidikan yang ada, mau tidak mau mempunyai andil besar, karena yang sekarang dianut adalah sistem pendidikan kapitalisme, yang mana pendidikan saat ini hanya berorientasi pada nilai yang besar.
Belajar sekedar untuk menyiapkan agar bisa bekerja, tidak ada tujuan khusus membentuk kepribadian tangguh bagi peserta didiknya, jauh sekali dari kata bahwa belajar merupakan suatu kewajiban.
Satu hal lagi yang sangat mewarnai sebagaian besar kehidupan generasi remaja saat ini, yaitu sistem pergaulan yang dikedepankan hanya hura-hura dan senang-senang.
Tidak ayal, sebagian besar sudah tidak mau lagi diatur, baik oleh orang tua, norma kehidupan apalagi aturan agama. Pada akhirnya generasi remaja saat ini memilih gaya hidup hedonis.
Mempunyai sikap materialistis yang membuat generasi ini tidak punya rasa cukup dan syukur. Bahkan yang parahnya bisa melakukan hal-hal diluar nalar hanya untuk sekedar memenuhi atau mendapatkan sesuatu yang sangat mereka inginkan.
Kemudian mencoba hal-hal baru walaupun terlarang dengan dalih adanya kebebasan dalam berperilaku. Hal ini jika dibiarkan maka akan menjadikan generasi dengan ketahanan mental yang rapuh.
Oleh karena itu dalam Islam, langkah pertama yang menjadi bekal remaja agar bisa menjalani kehidupan mandiri yaitu penguatan aqidah. Segala sesuatu yang dilakukannya akan dilihat oleh Allah, dicatat oleh malaikat, apakah perbuatan itu baik atau buruk. Maka mereka akan senantiasa berhati-hati dalam bertindak.
Kemudian langkah selanjutnya adalah adanya komunikasi yang hangat antara seorang anak dengan orang tua. Karena Islam memandang bahwa anak adalah amanah yang berhak mendapatkan bahasa dan sikap kasih sayang dari orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan anak.
Sehingga anak dan orang tua mempunyai kesadaran penuh melakukan berbagai upaya agar menciptakan generasi muslim yang tangguh dan terbaik. Sehingga dari keluargalah pondasi awal ketahanan mental generasi terbangun dengan kokoh.
Peran masyarakat pun sangat mendukung, dengan adanya tegur sapa, saling bertanya kabar, saling mengajak dalam kebaikan dan mengingatkan jika ada yang berbuat maksiat. Maka dari hal kecil ini jika dilakukan oleh semua anggota masyarakat akan mengurangi tindak kejahatan dan maksiat yang dilakukan.
Peran negara adalah pilar yang paling urgent, yang mana berkewajiban untuk membuat kurikulum pendidikan yang mengedepankan ilmu untuk memperkuat kepribadian Islam tangguh dalam rangka menjadikan para peserta didiknya calon pemimpin yang akan menjaga dan melayani berbagai permasalahan umat.
Sehingga jika semua terlaksana sesuai aturan dalam Islam, maka generasi remaja ini akan berlomba-lomba mengisi kehidupannya dengan kebaikan dan bermental baja jika ada ujian datang karena ada Allah SWT yang menjadi acuan hidupnya.
Maka tindakan mengakhiri hidup dengan bunuh diri tidak akan pernah terfikirkan, karena bunuh diri merupakan hal yang dilaknat oleh Allah, tidak akan menjadi sebuah trend.
Wallahu 'alam bishawab
Oleh: Irma Legendasari
Aktivis Muslimah
0 Komentar