Topswara.com -- Bohong, kata Raghib al-Ashfahani, pangkalnya adalah dalam ucapan. Dinamakan bohong karena ucapan seseorang menyelisihi apa yang ada di dalam hatinya (Lihat juga: Al-Asqalani, Fath al-Bâri, 10/623).
Kata Imam an-Nawawi, bohong juga bisa bermakna mengabarkan sesuatu yang menyelisihi kenyataannya (An-Nawawi, Al-Adzkâr, hlm. 326.)
Bohong atau dusta termasuk perbuatan tercela. Umat telah sepakat bahwa bohong/dusta itu haram. Banyak dalil atas keharaman berbohong/berdusta ini (An-Nawawi, Al-Adzkâr, hlm. 324).
Di antara dalilnya:
Pertama, firman Allah SWT: Janganlah kamu mengikuti apa saja yang tidak kamu ketahui. Sungguh pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban (TQS al-Isra’ [17: 36).
Menurut Imam asy-Syinqithi, dalam ayat ini Allah telah melarang manusia agar mengikuti apa yang tidak dia ketahui. Di dalamnya termasuk perkataan orang, “Saya telah melihat.” Padahal dia tidak melihat. “Saya telah mendengar.” Padahal dia belum mendengar. “Aku tahu.” Padahal dia tidak tahu. Demikian pula orang yang berkata atau beramal tanpa ilmu, tercakup dalam ayat ini.” (As-Sinqithi, Adhwâ’ al-Bayân, 3/145).
Kedua, firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar/jujur (TQS at-Taubah [9]: 119).
Ayat ini memang memerintahkan agar kita berlaku benar/jujur. Namun demikian, ayat ini berarti melarang hal sebaliknya: berbohong/berdusta.
Ketiga, sabda Rasulullah SAW. “Sungguh jujur itu membawa kebaikan dan kebaikan mengantarkan ke dalam surga…Bohong itu membawa kejelekan dan kejelekan itu mengantarkan ke dalam neraka.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Keempat, sabda Rasulullah SAW., “Celakalah orang yang berbohong agar orang lain tertawa. Celakalah dia. Celakalah dia.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Darimi dan Ahmad).
Hadis ini diperkuat oleh pernyataan Abdullah bin Mas’ud ra., “Bohong tidaklah dibenarkan baik serius atau sekadar main-main.” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 2/363).
Kelima, sabda Rasulullah SAW.: “Pada suatu malam aku bermimpi didatangi dua orang laki-laki. Lalu keduanya membawaku ke sebuah tempat yang suci. Di tempat itu aku melihat dua orang yang sedang duduk dan ada dua orang yang sedang berdiri.
Di tangan mereka ada sebatang besi. Besi itu ditusukkan ke tulang rahangnya sampai tembus ke tengkuknya. Kemudian ditusukkan besi itu pada tulang rahangnya yang lain semisal itu juga hingga penuh dengan besi.” Akhirnya, Nabi SAW. bertanya, “Kalian telah mengajakku berkeliling. Sekarang kabarkan kepadaku peristiwa demi peristiwa yang telah aku lihat.” Keduanya berkata, “Orang yang engkau lihat menusuk rahangnya dengan besi adalah seorang pendusta, suka berkata bohong hingga dosanya itu memenuhi penjuru langit. Apa yang engkau lihat akan terus demikian hingga Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Itu adalah dusta/bohong secara umum kepada sesama manusia. Apalagi jika dusta/bohong itu dilakukan oleh seorang pemimpin kepada rakyatnya. Dosanya pasti lebih besar. Pasalnya, korban atas kebohongan pemimpin adalah semua rakyat yang jumlahnya puluhan juta bahkan bisa ratusan juta orang.
Yang lebih parah adalah membuat kedustaan/kebohongan terhadap agama ini. Artinya, mendustakan Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal ini pun tegas tercela dan haram.
Sangat banyak ayat Allah SWT yang mengancam orang yang mendustakan Allah SWT dan Rasul-Nya. Di antaranya firman Allah SWT: Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim (TQS al-An’am [6]: 144).
Menurut Imam ath-Thabari, tercakup ke dalam ayat ini tindakan mengharamkan apa yang tidak Allah haramkan dan menghalalkan apa yang tidak Allah halalkan (Tafsir ath-Thabari, 8/68).
Firman Allah yang lain:
Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling darinya? Kelak Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk disebabkan mereka selalu berpaling (TQS al-An’am [6[: 157).
Firman Allah SWT yang lainnya lagi:
Janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lisan kalian secara dusta, “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sungguh orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiada beruntung (TQS an-Nahl [16]: 116).
Karena itu tidak pantas seseorang berkata tentang halal dan haram tanpa ilmu (Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, 1/47).
Adapun hadis di antaranya sabda Rasulullah SAW., “Janganlah kalian berbuat dusta terhadapku. Sungguh orang yang berdusta terhadapku, ia masuk ke dalam neraka.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah SAW. yang lain, “Siapa saja yang berdusta atas namaku, hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata,
“Berdusta atas Rasulullah saw. adalah dosa besar…Karena itu tidaklah sama ancaman bagi yang berdusta atas Rasulullah saw. dan atas selain beliau.” (Al-Asqalani, Fath al-Bâri, 1/267).
Dengan seluruh paparan singkat di atas, orang-orang yang berakal tentu akan takut untuk berbohong/berdusta. Apalagi mendustakan Allah SWT dan Rasul-Nya. Azab di akhirat amat besar bagi pelakunya. Apalagi jika pelakunya seorang pemimpin.
Mereka yang suka berbohong terkategori munafik. Jika dia seorang pemimpin, berarti dia pemimpin munafik. Pelakunya boleh jadi Muslim, tetapi memiliki sifat-sifat/ciri-ciri orang munafik. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah SAW. “Ada tiga tanda orang munafik: jika berkata, berdusta; jika berjanji, ingkar; jika dipercaya, khianat” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu, dalam salah satu kitabnya, ‘Aid Abdullah al-Qarni menyebutkan beberapa sifat kaum munafik yang disebutkan dalam al-Quran, di antaranya: dusta; khianat; ingkar janji; riya (doyan pencitraan); mencela orang-orang taat dan shalih; memperolok-olok Al-Qur'an, as-Sunnah dan Rasulullah SAW.; bersumpah palsu; tidak peduli terhadap nasib kaum Muslim; suka menyebarkan kabar bohong (hoax); mencaci-maki kehormatan orang-orang shalih; membuat kerusakan di muka bumi dengan dalih mengadakan perbaikan; tidak ada kesesuaian antara lahiriah dan batiniah; menyuruh kemungkaran dan mencegah kemakrufan; sombong dalam berbicara; menantang Allah SWT dengan terus berbuat dosa; dan seterusnya.
Sayang, hampir semua ciri kemunafikan di atas, ada pada rezim penguasa saat ini, di negeri ini. Wal ‘iyâdzu bilLâh!
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []
Oleh: Ustaz Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor
0 Komentar