Topswara.com -- Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia dikabarkan agak lengang karena kondisi udara yang memburuk. Saat beberapa daerah dilanda kekeringan dan hawa panas karena El Nino, Jakarta punya masalah berbeda.
Dalam siaran resminya, Kemenperin menjelaskan kualitas udara di Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang dan Depok (Jabodetabek) pada Sabtu (2/9) menunjukkan indeks 168 (tidak sehat) dan konsentrasi Particulate Matter (PM) 2,5 mencapai 19,3 kali nilai panduan kualitas udara tahunan dari Wolrd Health Organization (WHO) meski kondisi agak lenggang (CNNIndonesia, 4/9/2023).
Pencemaran udara terbesar di Indonesia berasal dari kendaraan sebesar 44 persen menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sumber besar lainnya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 34 persen serta rumah tangga dan lain-lain.
Penampakan udara Jakarta sebenarnya sudah masuk 10 negara terburuk sejak tanggal 6 Juni 2023. Berarti sudah hampir 4 bulan kondisi ini hingga hari ini belum teratasi. Berbagai solusi sudah ditempuh misal mem WFH kan sebagian ASN non pelayanan publik. Namun, ternyata kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi volume lalu lintas, tidak menghasilkan penurunan tingkat PM2.5 secara nyata.
Strategi mematikan PLTU telah dicoba. PLTU Suralaya 1, 2, 3, dan 4 dimatikan pada 29-31 Agustus 2023. Pada saat itu, PM2.5 di area Jakarta malah menanjak dari 76, ke 90,4 menjadi 110,8. Sebelumnya PLTU Suralaya 1 juga telah dimatikan selama 19-28 Agustus. Pada periode tersebut tingkat PM2.5 area Jakarta juga masih ada di kategori tidak sehat atau "kuning" dengan PM2.5 tertinggi terjadi pad 27 Agustus 2023 (cnbcindonesia, 31/8/2023).
Seorang pakar BRIN juga mengusulkan solusi transportasi massal yang berkelanjutan alih-alih peralihan mobil listrik (CNNIndonesia, 1/8/2023). Tetapi hingga kini juga tidak membuahkan hasil. Analisis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) Katherine Hasan mengatakan, akar permasalahan polusi udara di Jakarta tidak bisa direduksi hanya pada satu sumber saja.
Beginilah gambaran sistem kapitalisme liberal yang mengedepankan materi dan penampakan daerah semata. Penguasa yang btunduk dan membela pada korporat sehingga rela mencari bukti agar mereka lepas dari kondisi Jakarta.
Sungguh miris ketika yang disalahkan angin, rumah tangga dan rakyat. Semua sibuk mencari pembenaran akan pendapatnya. Khas kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang.
Islam sebagai ideologi kehidupan memandang dunia adalah titipan dari Alloh SWT. Dan peringatanNya jelas dalam Al-Qur'an sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Surat Ar-Rum ayat 41).
Dan ayat ini benar adanya. Sistem kapitalisme liberal telah merusak alam ini sangat brutal. Bergaya mencari solusi pun juga dilekati dengan kepentingan politik dan ekonomi seperti mobil listrik. Akhirnya solusi parsial tambal sulamlah yang mampu dipikirkan secara pragmatisme.
Dalam Islam semua makhluk hidup ada haqnya. Alam semesta pun harus dirawat, dijaga dan dilestarikan dengan baik. Melakukan segala sesuatu tidak dengan berlebihan sebagaimana keberadaan transportasi yang maju akhirnya membuat tidak ada lahan hijau untuk paru-paru daerah. Ketahanan pangan yang digulirkan juga berujung kerusakan dan kebakaran hutan gambut ketika tidak memahami alam yang diolah.
Inilah bencana yang seharusnya membuat semua merenung. Mungkin manusia jauh dari agamanya. Sehingga tidak tergerak untuk muhasabah dan perbaikan secara berkesinambungan sebagaimana para sahabat Rasul ketika menghadapi bencana. Yaitu muhasabah kenapa Alloh SWT menegur hambaNya dengan bencana ini.
Inilah kegagalan kapitalisme yang harus diakui. Penjagaan udara saja tidak mampu dijamin dengan benar. Kerusakan alam yang sangat parah karena adanya kebebasan yang diagungkan. Terutama kebebasan kepemilikan yang melindungi para pemilik modal yang nyata-nyata merusak negeri ini. Sudah saatnya kita kembali pada pengaturan sistem Islam dalam institusi daulah khilafah Islam.
Oleh: Retno Asri Titisari
(Pemerhati Sosial Ekonomi dan Keumatan)
0 Komentar