Topswara.com -- Wacana pengawasan tempat ibadah menyulut kontroversi. Bagaimana tidak? Masjid yang sejatinya sebagai tempat ibadah, berdakwah dan menimba ilmu, justru malah dicurigai sebagai sarang radikalisme. Keterlaluan.
Demokrasi dan Sekularisme Lahirkan Kekuasaan Tirani
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI), Komjen Pol. Prof. Dr. Rycko Amelza Dahniel, M.Si. menjelaskan perlu adanya pengawasan mekanisme kontrol rumah ibadah (republika.co.id, 4/9/2023). Rycko pun menjelaskan mekanismenya, yakni berupa pelibatan masyarakat setempat, bukan kontrol sepenuhnya dari pemerintah (bnpt.go.id, 6/9/2023).
Pendekatan yang diusulkan yaitu dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat untuk memantau dan memberikan peringatan kepada individu yang terlibat dalam penyebaran pesan kebencian dan kekerasan. Pemerintah sendiri tidak akan sanggup mengontrol semua tempat ibadah. Paparnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, menyayangkan usulan Kepala BNPT (nasional.tempo,5/9/2023). Anwar mengungkapkan usulan ini jelas tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2, yang menegaskan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Tidak hanya itu, Anwar pun memaparkan bahwa pengawasan dan pengontrolan tempat ibadah merupakan suatu kemunduran berpikir.
Cara berpikir dan bersikap demikian jelas-jelas tidak baik dan tidak benar. Karena semua pemikiran ini bermuara pada corak kepemimpinan tirani dan despotisme.
Corak kepemimpinan yang mengutamakan kekuatan politik absolut, baik secara individu maupun oligarki. Dan semua konsep ini hanya mengedepankan pendekatan security approach dengan mengabaikan pendekatan yang bersifat dialogis, objektif dan rasional. Buruknya lagi, konsep seperti ini adalah konsep kepemimpinan antikritik dan represif pada rakyat.
Bentuk pengawasan, bisa diistilahkan juga sebagai upaya memata-matai. Dan segala upaya ini jelas suatu usaha yang zalim dan dilarang. Tidak hanya Muslim yang berkeberatan dengan usulan tersebut, non muslim pun keberatan.
Ujaran-ujaran kebencian yang dimaksudkan pemerintah, sebetulnya sebagai bentuk kritik kaum muslimin atas keburukan sistem yang kini diterapkan. Berbagai bentuk keterpurukan yang kini terjadi, baik dalam aspek politik, ekonomi, sosial, dan aspek kehidupan lainnya, merupakan refleksi diterapkannya sistem yang destruktif, rusak dan merusak.
Kebijakan penguasa yang diterapkan hanya mengutamakan korporasi oligarki. Hingga akhirnya melalaikan kepengurusan kehidupan rakyat. Hakikat kepemimpinan dilupakan. Padahal sungguh, hakikat kepemimpinan adalah mengurus semua urusan rakyat.
Kritikan terhadap penguasa yang terus diopinikan di tengah masyarakat, akan membentuk kesadaran politik dalam tubuh umat. Dan kesadaran ini mampu menumbangkan kekuasaan tirani yang kini unjuk gigi. Inilah yang ditakuti penguasa saat ini.
Beragam usaha dilakukan demi menjaga konsistensi kekuasan ala demokrasi. Salah satunya dengan mengawasi aktivitas di masjid-masjid. Tentu saja, hal ini pun bisa dikategorikan sebagai bentuk kriminalisasi agama.
Masjid merupakan tempat ibadah yang selayaknya dijaga dan dihormati. Bukannya malah dimata-matai. Tentu saja, pendapat Kepala BNPT terkait hal ini adalah bentuk kebencian dan kecurigaan yang berlebihan kepada kaum muslimin.
Segala kecurigaan ini sebagai bentuk semakin akutnya paham sekulerisme yang kini dijadikan pijakan. Sekularisme, paham yang memisahkan aturan agama dalam kehidupan, semakin merangsek pemikiran.
Konsep agama yang seharusnya menjadi panduan justru dijauhkan hingga akhirnya menghilang dalam pengaturan hidup bermasyarakat. Agama pun ditakuti bak monster yang mengerikan. Alhasil, rakyat yang menjadi tumbal.
Padahal masjid adalah salah satu tempat strategis untuk amar ma'ruf sehingga mampu memperbaiki pola pikir dan pola sikap yang terbentuk dalam benak masyarakat. Namun sayang, konsep sekulerisme ternyata membutakan masyarakat dari edukasi yang hakiki.
Sistem Islam, Melahirkan Kepemimpinan Amanah
Islam melarang segala bentuk pengawasan, aktivitas memata-matai dan sejenisnya. Baik secara langsung maupun melalui sarana media, seperti alat sadap atau kamera pengintai.
Dan syariat Islam menghukumi aktivitas tersebut sebagai aktivitas yang haram dilakukan. Apalagi aktivitas ini dilakukan kepada masjid yang merupakan tempat ibadah dan thalabul ilmi bagi kaum muslimin.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang."
(QS. Al-Hujurat: 12)
Larangan memata-matai pun tegas dilarang Rasulullah SAW. Beliau bersabda,
"Jauhilah oleh kalian prasangka, karena sungguh prasangka adalah ujaran paling dusta. Jangan pula kalian tahassus, tajassus (memata-matai), saling hasad, saling membelakangi dan saling membenci" (HR. Al Bukhari).
Sistem Islam yang menerapkan syariat Islam dengan menyeluruh, menetapkan bahwa urusan rakyat adalah prioritas utama yang harus didahulukan. Segala kebijakan yang ada selalu ditujukan demi keselamatan dan penjagaan umat.
Apabila ada hal-hal yang melenceng dari ketetapan syariah, umat dapat mengadukan dan mengkritisi pemerintah melalui Mahkamah Umat. Semuanya diproses dan diterima dengan lapang dada dan dikembalikan dalam koridor pengaturan syariat Islam.
Karena sungguh, kritikan dari rakyat adalah usaha rakyat untuk mengingatkan penguasa demi terselenggaranya pelayanan umat yang optimal. Inilah konsep amar makruf yang harus senantiasa dilakukan kontinyu. Agar kepemimpinan selalu amanah dalam prioritasnya menjaga umat.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar