Topswara.com -- Aliran Sungai Citanduy, Kota Banjar, Jawa Barat kian surut memasuki musim kemarau penjang dan minimnya curah hujan. Akibatnya pasokan air untuk mengairi ribuan hektare lahan pertanian di wilayah sekitar berkurang.
Bahkan tidak sedikit masyarakat yang mengeluhkan sulitnya mendapat air bersih layak pakai, disebabkan sumur yang biasa menjadi sumber kehidupan mereka kini mulai kering dan jikapun ada air yang keluar kondisinya tidak layak guna karena berbau dan kotor.
Dikutip dari CNN Indonesia (02/09/2023), Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap terdapat tiga fenomena yang terjadi bersamaan yang membuat bulan ini menjadi salah satu puncak kekeringan 2023 yakni El Nino, kemarau, dan ekuinoks.
El Nino merupakan anomali suhu di Samudera Pasifik yang memicu penurunan curah hujan secara global, termasuk di Indonesia. Menurut keterangan BMKG, dampak El Nino tergantung pada intensitas El Nino, durasi El Nino, dan musim yang sedang berlangsung. Dampak El Nino sendiri di Indonesia umumnya terasa kuat pada musim kemarau yaitu pada bulan-bulan Juli - Agustus - September - Oktober.
Periode puncak El Nino 2023 itu banyak beririsan dengan puncak musim kemarau. BMKG sempat memprediksi puncak musim kemarau 2023 di sebagian besar wilayah terjadi pada Juli dan Agustus 2023 dengan 507 zona musim (ZOM) atau 72,53 persen RI mengalaminya.
Faktor 'pengering' lainnya adalah posisi Matahari yang akan berada di sekitar ekuator atau khatulistiwa jelang akhir tahun. Puncaknya berupa fenomena ekuinoks. Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ekuinoks merupakan fenomena ketika Matahari melintasi ekuator atau garis khatulistiwa.
Efeknya, durasi siang dan malam di belahan Bumi selatan dan utara seimbang. Dampaknya di antaranya adalah pergantian musim di negara-negara subtropis dan lintang tinggi.
Ancaman kekeringan merupakan satu keniscayaan di tengah adanya perubahan iklim dengan segala konsekuensinya. Namun, di sisi lain ada perilaku manusia dan juga kebijakan negara yang menimbulkan dampak buruk bagi keidupan, diantaranya adalah pertama, kelangkaan hutan yang memicu terjadinya krisis air baku, terutama pulau-pulau yang tutupan hutannya rendah, seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Bahkan, Indonesia diprediksi kehilangan tutupan hutan sebanyak 38 persen dari luas total tutupan hutan di Indonesia (saat ini 95,6 juta hektare) pada tahun 2045. Dua pulau besar yang paling banyak kehilangan tutupan hutan adalah Sumatra dan Kalimantan.
Semua itu terjadi akibat kebijakan kapitalistik yang mengalihfungsikan lahan hutan menjadi proyek pembangunan infrastruktur dan investasi besar-besaran, seperti lumbung pangan; ataupun bisnis pertambangan, semisal batu bara, minyak, dan emas.
Kedua, berkurangnya daerah resapan. Pengalihan fungsi lahan terbuka hijau menjadi bangunan tempat tinggal jelas memengaruhi kondisi cadangan air di tanah. Jika serapan air minim, cadangan air dalam tanah akan sedikit yang mana akan memicu kekeringan.
Ketiga, kebijakan liberalisasi SDA yang menjadikan swasta leluasa mengeksploitasi sumber daya air. Indikasinya ialah banyaknya perusahaan swasta yang menguasai bisnis air minum dalam kemasan.
Keempat, kerusakan hidrologis, seperti rusaknya fungsi wilayah hulu sungai akibat pencemaran air. Akibatnya, kapasitas dan daya tampung air akan berkurang.
Krisis air tentunya akan berdampak pada produktivitas pertanian. Jika hasil pertanian menurun karena petani gagal panen, akan menyebabkan terganggunya persediaan pangan, sanitasi buruk, kekurangan gizi, dan kelaparan akut.
Jika hal ini terus terjadi, ancaman krisis pangan bukan lagi prediksi, melainkan fakta mengerikan bagi negeri ini. Dengan kata lain, kemarau panjang akan memiliki efek domino yang tidak terelakkan.
Setelah kita analisa, tentu tidak ada harapan perubahan pada negeri ini selama sistem yang diterapkan masih sistem sekuler yang berdiri atas asas manfaat.
Maka dari itu, sejatinya Indonesia perlu visi politik SDA yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Mengingat negeri ini memiliki wilayah perairan yang lebih luas ketimbang daratannya, maka sungguh ironis jika negeri maritim ini malah mengalami krisis air berulang kali.
Seperti apa visi politik SDA yang harus dilakukan negara?
Pertama, mengembalikan kepemilikan SDA yang terkategori milik umum kepada rakyat. Hutan, air, sungai, danau, laut adalah milik rakyat secara keseluruhan. Sabda Nabi SAW., “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Liberalisasi air terjadi akibat penerapan ideologi kapitalisme. Sedangkan dalam pandangan Islam, status kepemilikan air yang notabene milik rakyat akan dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat.
Kedua, negara mengelola secara langsung dalam proses produksi dan distribusi air. Negara melakukan pengawasan atas berjalannya pemanfaatan air, seperti peningkatan kualitas air dan menyalurkan kepada masyarakat melalui industri air bersih perpipaan hingga kebutuhan masyarakat atas air terpenuhi dengan baik.
Terhadap sumber daya kepemilikan umum ini, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada individu/swasta. Negara harus memberdayakan para ahli terkait agar masyarakat bisa menikmati air bersih dengan mudah.
Ketiga, negara melakukan rehabilitasi dan memelihara konversi lahan hutan agar resapan air tidak hilang. Negara akan mengedukasi masyarakat agar bersama-sama menjaga lingkungan, melakukan pembiasaan hidup bersih dan sehat, serta memberi sanksi tegas terhadap pelaku kerusakan lingkungan.
Demikianlah prinsip Islam dalam melakukan tata kelola SDA dengan terperinci. Kesalahan dalam mengelola SDA berakibat malapetaka bagi umat manusia. Di tangan para kapitalis rakus, kerusakan lingkungan meluas hingga menyebabkan perubahan iklim ekstrem dan kekeringan.
Oleh karenanya, jika menginginkan negeri ini mendapat berkah, tidak ada jalan lain selain mengambil Islam sebagai solusi menyeluruh, termasuk dalam mengatasi krisis air bersih dan darurat kekeringan.
Wallahu’alam bishawab.
Oleh: Azzahra Albanjary
Aktivis Muslimah
0 Komentar