Topswara.com -- Perintah shalat mempunyai hikmah, yang disebutkan dalam nas:
وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَاۤءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ
"Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar." [Q.s. Al-Ankabut: 45]
Ini hikmah shalat. Hikmah itu kadang terwujud, kadang tidak. Jika tidak terwujud, maka tidak terwujudnya hikmah tidak bisa menjadi alasan hilangnya perintah.
Misalnya, orang shalat, mestinya tidak korupsi, itu hikmah. Tetapi, kalau shalat masih korupsi, berarti belum dapat hikmah shalat.
Kalau belum dapat hikmah shalat, tidak boleh meninggalkan shalat, atau bahkan menolak kewajiban shalat. Itu cara berpikir yang salah.
Pertama, karena itu hikmah, bukan illat (alasan disyariatkan) hukum shalat. Kedua, mengerjakan shalat tetap wajib, apapun hasilnya. Ketiga, antara hukum shalat yang wajib, dengan hukum meninggalkan perbuatan keji dan munkar, termasuk korupsi, adalah dua hukum yang berdiri sendiri dengan dalil masing-masing.
Itulah, mengapa di dalam ibadah, menurut sebagian ulama Ushul, tidak disertai illat. Karena itu perintah beribadah tidak dihubungkan dengan illat-ma'lul.
Jadi, laksanakanlah shalat, karena itu kewajiban. Bukan karena sehat, hati tenang, karena bisa mencegah perbuatan keji dan munkar
Satu dengan yang lain tidak berhubungan sebagai illat-ma'lul (alasan dan dampak hukum)-nya.
K.H. Hafidz Abdurrahman MA
Khadim Ma'Had Syaraful Haramain
0 Komentar