Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pencegahan Kekerasan Seksual Cukupkah Hanya dengan Peran Keluarga?


Topswara.com -- Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indra Gunawan mengungkapkan keluarga dan masyarakat dapat berkontribusi mencegah tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). 

Indra menyoroti fenomena anak yang menjadi korban TPKS, namun enggan menceritakannya. Indra menyebut anak tak mau melaporkan kasus TPKS karena takut menjadi aib dan mencoreng nama keluarga. 

Padahal orang tua perlu menciptakan ruang yang aman dalam keluarga. Indra menyebut peran keluarga dalam pencegahan dapat dimulai dari memberikan edukasi kepada seluruh anggota keluarga. 

Kemudian, dibangun komunikasi yang berkualitas bagi anggota keluarga. "Pencegahan kekerasan seksual khususnya dalam lingkup keluarga perlu terus digaungkan bersama secara terus menerus," ujar Indra (republika.co.id, 27/08/2023).

Tindak kekerasan seksual terhadap anak di sejumlah kota di Indonesia sering terjadi baik di lingkungan sekolah, pesantren, di rumah bahkan di transportasi publik makin mengkhawatirkan. 

Pelaku dari kasus kekerasan seksual pada anak juga beragam mulai dari keluarga, teman, hingga yang lebih tragis adalah tenaga pendidik juga tidak luput dari kasus ini. 

Jika dicermati penyebab kasus kekerasan pada anak diantaranya, faktor keluarga, beberapa hal dalam kondisi keluarga yang menjadi sebab kekerasan diantaranya, lemahnya iman dalam anggota keluarga sehingga mudah sekali melakukan kekerasan pada anak. 

Sebagai contoh kakek memperkosa cucunya, beginilah gambaran keluarga yang lemah keimanannya.

Faktor masyarakat, kurangnya kontrol dari masyarakat terhadap kondisi yang terjadi menciptakan masyarakat individual dan menganggap masalah kekerasan pada anak sebagai masalah individu. Penyelesaiannya pun pada masing-masing keluarga.

Faktor negara, walau di negeri ini sudah memiliki UU Perlindungan Anak, Indonesia masih saja menghadapi darurat kekerasan seksual terhadap anak. 

Revisi UU tersebut dengan pemberatan denda dan memperlama hukuman penjara, serta hukuman kebiri seolah dianggap angin lalu. Keberadaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang berdiri sejak 2002 pun juga belum mampu memberantas kekerasan terhadap anak. 

Negara juga belum maksimal menutup konten-konten yang merusak anak seperti konten pornografi, konten yang isinya bullying dsb nya sehingga anak menjadi korban. 

Kondisi ekonomi di negeri ini yang serba sulit dan naik juga menjadi faktor maraknya perdagangan anak dibawah umur. Dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada sejumlah pelaku perdagangan anak memanfaatkan anak-anak dibawah umur untuk dijual menjadi pekerja seks komersial. 

Selain itu, sistem kapitalisme di negeri ini yang berasaskan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) telah melahirkan kebebasan berperilaku sehingga banyak orang berpikir untuk bebas melakukan apapun tanpa takut dosa.Salah satunya adalah bebas melakukan tindak kekerasan. 

Ini menjadi bukti bahwa sebuah negera yang menerapkan sistem sekuler yaitu sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ternyata tidak mampu mengatasi permasalahan pada anak. Walhasil negara mempunyai tanggung jawab besar terhadap maraknya kekerasan seksual pada anak.

Masalah kekerasan seksual sesungguhnya menggejala di sistem sekuler. Meski pemerintah telah menggagas sejumlah regulasi, nyatanya kekerasan seksual tetap saja terjadi. Kekerasan seksual di perguruan tinggi sesungguhnya hanya satu fenomena. 

Hal serupa juga terjadi di level lingkungan kerja, sekolah, maupun kehidupan sosial. Problem sosial ini nampaknya masih belum terselesaikan, khususnya dalam interaksi laki-laki dan perempuan. 

Batasan interaksi tidak lagi dimengerti oleh kaum muda. Atas nama kebebasan, gaya hidup liberal menjadi standar kehidupan. Kasus kekerasan seksual, depresi, aborsi hingga bunuh diri pada akhirnya menjadi penyakit yang menjangkiti generasi muda saat ini.

Tidak hanya berakhir di situ, berbagai tayangan tak bermutu terus saja laku di televisi. Tayangan-tayangan yang tak layak siar malah memadati prime time. Ini baru soal televisi, kita belum berbicara konten internet yang jauh dari filtrasi. 

Konten-Konten “sampah” yang tidak layak dikonsusmi masyarakat, terutama generasi, justru banyak diincar banyak kalangan. Inilah kegagalan media siar dalam tata kelola negara sekuler kapitalisme. 

Mereka kehilangan visi sebagai media edukasi yang mengajarkan nilai-nilai luhur. Media hanya mengejar rating yang dengannya akan terhimpun profit yang berlimpah. Tak peduli pesannya membawa bencana dan petaka.

Jika generasi tumbuh jauh dari nilai-nilai agama, amat rentan terseret arus kehidupan yang salah. Kondisi ini pun diperparah dengan terkikisnya pemahaman agama akibat sistem hidup yang memisahkan agama dari kehidupan. 

Negara sebagai institusi yang diharapkan hadir untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan, justru tak mampu memberikan solusi tepat dan menyelesaikan masalah hingga tuntas. 

Yakin saja, jika sistem kehidupan minus aturan agama, maka bobrok lah jadinya. Lantas, bagaimana Islam melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan seksual, cukupkah hanya dengan peran keluarga?

Perlindungan sejati bagi perempuan sesungguhnya telah diatur dalam Islam. Allah SWT Zat Yang Maha Mengetahui ini telah menurunkan aturan dan seperangkat hukum syariat untuk mengatur kehidupan manusia. Aturan itu secara garis besar sebagai berikut :

Pertama, Islam mencegah dan meminimalisir terjadinya kekerasan seksual dengan mengatur sistem pergaulan melalui mekanisme yang khas.  

Di kehidupan publik, interaksi laki-laki dan perempuan hanya diperbolehkan dalam urusan-urusan yang tidak melanggar syariat Islam. Misalnya saja pendidikan, kesehatan, atau mitra kerja.

Kedua, Islam juga memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menutupi auratnya secara sempurna dan menjaga kemaluan. Bahkan, Islam juga mengatur privasi masing-masing anggota keluarga. 

Di kehidupan khusus seperti keluarga, Islam memerintahkan untuk memisahkan tempat tidur anak-anak saat mereka tujuh tahun termasuk melarang laki-laki dan perempuan tidur dalam selimut yang sama.

Ketiga, Islam melarang segala interaksi atau pergaulan bebas yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Semisal nonton bersama, makan bersama atau hang out bersama kawan-kawan tanpa disertai mahram. 

Inilah mengapa Islam sangat mengharamkan budaya pacaran yang menjamur di era sekarang. Karena dalam Islam sangat jelas digambarkan haramnya mendekati zina. 

Keempat, di ranah publik Allah melarang perempuan untuk berdandan berlebihan (tabarruj) yang merangsang naluri seksual laki-laki. 

Terjadinya pemerkosaan dalam kehidupan tak lepas dari pengaruh wanita yang kurang menjaga diri. Aurat yang diumbar secara bebas, interaksi tanpa batasan serta aktivitas yang merusak akhlak telah berkontribusi dalam memengaruhi pikiran seorang laki-laki untuk memerkosa perempuan. 

Kemudian, untuk menangani masalah seksualitas dalam kehidupan masyarakat, negara pun wajib hadir untuk menjalankan hukum yang jelas dan tegas. Menghukum pelaku pelecehan seksual, pemerkosaan, dan sejenisnya dengan hukuman setimpal sesuai syariat Islam. 

Negara juga wajib mengawasi pemilik media untuk tidak menyebarkan konten yang berisi hal-hal yang membangkitkan naluri seksual dan akan menindak tegas jika melanggar syariat.

Islam memandang bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga. Selain itu, anak adalah calon pemimpin masa depan, aset bangsa yang sangat berharga. 

Oleh karena itu, anak harus dapat tumbuh dan berkembang optimal agar menjadi generasi penerus yang mumpuni. Dalam hal ini, Islam memiliki serangkaian aturan dan sistem yang mampu menyelesaikan persoalan anak dan memenuhi kebutuhan akan rasa amannya.

Islam mewajibkan keluarga untuk melindungi anaknya, masyarakat untuk memberikan lingkungan kondusif untuk mengantarkan anak-anak menjadi generasi beriman dan bertakwa, serta negara untuk melindungi anak dan mengurusnya dengan baik sesuai aturan Allah.

Regulasi untuk mengurus anak senantiasa berasaskan akidah Islam dan merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah.
Allah SWT. juga mewajibkan negara untuk melindungi keselamatan setiap individu rakyat, termasuk anak-anak. 

Kekerasan terhadap anak adalah kejahatan, maka Islam akan membina setiap individu rakyatnya dengan keimanan yang kuat kepada Allah dan hari akhir. 

Keimanan ini akan mencegah individu melakukan kemaksiatan dan kejahatan. Islam juga mewajibkan negara untuk menghilangkan berbagai faktor yang dapat mengancam keselamatan anak. 

Islam memiliki sistem yang komprehensif untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Sistem ekonomi Islam akan mewujudkan kesejahteraan sehingga meminimalisir permasalahan ekonomi pada keluarga-keluarga.

Sistem informasi Islam akan mencegah berbagai tayangan dan pemikiran rusak yang dapat mengantarkan kepada kejahatan kepada anak. Konten-konten pornografi dan konten yang tidak mendidik akan di blokir dengan tegas.

Islam juga memiliki sistem sanksi yang membuat jera bagi pelaku dan mencegah yang lain melakukan kejahatan serupa. Perinciannya adalah sebagai berikut: Jika perbuatan pelaku adalah berzina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina yaitu rajam jika sudah muhshan (menikah) atau cambuk seratus kali jika bukan muhshan.

Jika perbuatan pelaku adalah liwath (homoseksual), hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain. Jika perbuatan pelaku adalah pelecehan seksual (at-taharusy al-jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya takzir. (Abdurrahman al-Maliki. Nizhamul ‘Uqubat) 

Penerapan berbagai sistem kehidupan yang berdasarkan Islam tersebut akan mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak. Penerapan sistem Islam secara kaffah tersebut hanya dapat terwujud dengan tegaknya Khilafah Islamiah. 

Wallahu a’lam bishshawwab.


Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar