Topswara.com -- Dilansir dari CNBC Indonesia. Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menegaskan tidak ada subsidi tarif atau Public Service Obligation (PSO) untuk Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). (7/9/2023).
Sebelumnya, Direktur Utama Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi sudah menegaskan tidak ada subsidi tarif Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Tarif akan ditetapkan sekitar Rp 250.000-350.000 tergantung kelas yang dipilih calon penumpang.
Nilai cost overrun kereta cepat sendiri sudah disepakati sebesar US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 18 triliunan. Jumlah itu lebih besar daripada hitungan China sebelumnya, namun lebih kecil sedikit dari hitungan pihak Indonesia lewat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Terkait cost overrun, KCIC akan selalu mengikuti arahan dan keputusan pemerintah sesuai dengan Perpres Nomor 93 Tahun 2021 dimana cost overrun akan ditetapkan oleh Komite Kereta Cepat
Proyek kereta cepat Jakarta Bandung penuh dengan drama silih berganti. Awalnya China merinci dana sebesar US$ 5,13 miliar atau Rp 76 triliun pada proposal awal, tetapi perlahan berubah menjadi US$ 6,071 miliar.
Kini, setelah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) rampung, pemerintah berencana memberikan subsidi agar minat masyarakat untuk menaiki kereta cepat makin meningkat. Rencana subsidi tiket Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) diberikan dengan tujuan agar masyarakat mendukung upaya pemerintah dalam mengatasi kemacetan.
Dengan penggunaan kereta cepat sebagai transportasi massal, ia berharap penggunaan kendaraan pribadi berkurang dan mengurangi kemacetan.
Masalahnya, berapa persen rakyat golongan bawah yang dapat menikmati KCJB? KCJB bukanlah kendaraan transportasi yang biasa diakses masyarakat menengah bawah ini berarti penggunanya bukanlah mayoritas rakyat.
Apalagi jika mengingat proyek KCJB membebani APBN lantaran pengerjaannya molor dan biaya membengkak.
Tidak banyak maslahat yang dirasakan rakyat atas dibangunnya kereta cepat ini. Yang ada, negara malah menambal biaya besar dan rakyat harus menebusnya dengan harga tiket yang lumayan mahal.
Sekalipun disubsidi, tetap saja KCJB bukan kategori moda transportasi berbiaya murah.Pemberian subsidi merupakan salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyat. Jika subsidi dicabut, jelas rakyat terbebani. Namun, beban tersebut akan terus bertumpuk selama paradigma pelayanan kepada rakyat masih berpegang teguh pada kapitalisme.
Dalam kapitalisme, rakyat ibarat pembeli, sedangkan negara adalah penjualnya. Lihat saja ketika negara mencabut satu per satu subsidi yang berkaitan dengan hajat publik, seperti pencabutan subsidi BBM.
Pada saat yang sama, pemerintah malah sangat murah hati mensubsidi fasilitas transportasi yang dipakai kalangan menengah ke atas. Subsidi untuk kebutuhan rakyat kecil, seperti KA kelas ekonomi, malah dicabut.
Rakyat juga ikut terkena imbas dari proyek KCJB. Demi gengsi, utang pun diamini. Demi citra, APBN tersedot tidak menjadi masalah, padahal keberadaan KCJB tidaklah urgen dan mendesak.
Masih banyak moda transportasi tujuan Jakarta-Bandung yang bisa diakses dengan mudah, hanya saja perlu dibenahi dari sisi sarana dan pelayanannya.
Akan tetapi, beginilah watak kepemimpinan kapitalistik, hanya mengutamakan kepentingan kapitalis. Kebanyakan infrastruktur publik, seperti kereta cepat, bandara, pelabuhan, dan lainnya, kerap menjadi proyek bancakan para oligarki dan kapitalis untuk menguasai hajat publik.
Fasilitas umum yang semestinya berbayar murah atau gratis, malSelain itu, untuk menutup pembengkakan biaya pembangunan, negara juga menarik pajak yang besar dari rakyat.
Dalam paradigma Islam, negara bertindak sebagai pengurus rakyat, termasuk dalam pelayanan transportasi publik. Islam memandang transportasi publik sebagai fasilitas yang harus negara berikan kepada rakyat secara murah, bahkan gratis.
Sarana publik tidak boleh dibangun dengan utang luar negeri atau pinjaman asing. Negara harus membangun infrastruktur publik secara mandiri dalam memenuhi hajat masyarakat.
Dalam pandangan Islam, pembangunan infrastruktur harus bersandar pada prinsip-prinsip berikut. Pertama, untuk kepentingan rakyat. Kedua, pengelolaan dan pembiayaan harus dilakukan negara sebagai pengurus urusan rakyat.
Ketiga, untuk melayani kepentingan publik dan mempermudah mereka. Keempat, perencanaan dilakukan secara matang, termasuk analisis dampak kebijakan tersebut bagi lingkungan dan masyarakat.
Kelima, pembangunan infrastruktur adalah bagian dari pelaksanaan syariat agar terwujud nilai spiritual, insani, dan akhlak yang serasi dan harmonis, yang tidak akan menimbulkan kerusakan lingkungan.
Keenam, terhadap kebutuhan pembangunan infrastruktur yang mendesak, negara harus membangunnya tanpa melihat ada atau tidaknya dana baitulmal. Jika ada dana dari baitulmal, wajib dibiayai dari dana tersebut.
Jika dana baitulmal tidak mencukupi, negara bisa memungut dharibah (pajak) dari masyarakat muslim yang kaya saja.
Dengan prinsip ini, negara pun mampu memetakan pembangunan infrastruktur mana yang lebih diprioritaskan dan diutamakan.
Pembiayaan infrastruktur publik berasal dari pemasukan baitulmal sehingga rakyat dapat menikmatinya secara murah, bahkan gratis.
Baitulmal sendiri memiliki pos pemasukan yang beragam, yakni fai, ganimah, kharaj, usyur, serta pengelolaan harta milik umum (barang tambang, migas, dan sebagainya). Tidak perlu ada subsidi dan utang atau investasi asing karena penyediaan sarana publik adalah tugas dan kewajiban negara dalam mengurusi urusan dan kemaslahatan umat.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
0 Komentar