Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menghormati Guru Wajib Sebatas Akidah dan Syariah, Tidak Boleh Mengkultuskan (Serial Adab kepada Guru Bagian 8)


Topswara.com -- Ada sebagian murid yang berlebihan dalam menghormati guru hingga mengkultuskan. Misalnya dalam sikap yang berlebihan hingga mengklaim bahwa guru pasti benar ga mungkin salah. Surga neraka ditentukan oleh guru. 

Hingga sama sekali tidak berani beda pendapat dengan gurunya. Meskipun telah jelas jelas bahwa gurunya menyalahi dalil Al-Qur'an dan as Sunnah serta penjelasan para ulama dalam berbagai mahzab tentang hukum sesuatu.

Sering misalnya kita ajak murid untuk berjuang menegakkan khilafah maka meskipun sudah sangat jelas dalil-dalilnya. Sudah clear betul maqalah para ulama dari seluruh mahzab tentang kewajiban menegakkan khilafah. 

Bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai taajul furudh yakni mahkota kewajiban. Namun karena gurunya tidak setuju maka murid tersebut juga ikut sikap gurunya. Dan menolak ajakan kita.

Tentu saja sikap tersebut justru menyalahi akidah dan syariat Islam. Sebab jelas-jelas dalam Islam kebenaran itu tolok ukurnya dalil. Dan dalil itu adalah Al-Qur'an, as Sunnah, ijma shohabat dan qiyas. Pendapat pribadi guru bukan dalil. Dalam mengikuti pendapat Mujtahid pun tolok ukurnya adalah dalil.

Nah sikap ghuluw alias berlebihan inilah termasuk salah satu sebab rusaknya ilmu dan amal. Yang selanjutnya menyebabkan kerusakan masyarakat kaum muslimin. Taqlid buta pada guru juga membuat jumud dan mudah diperdaya oleh pihak lain. 

Misalnya jika guru menjadi pendukung rejim zalim maka dengan sikap kultusnya murid kemudian mendukung sikap gurunya secara membabi buta padahal sudah jelas sikap gurunya itu batil. Sehingga sikap ini malah melanggengkan kebatilan dan kezaliman sistem kufur. Hal ini banyak terjadi hari ini.

Mestinya mengormati guru dan mengikuti guru itu wajib pada batas batas akidah dan syariah. Guru jelas tidak maksum sehingga bisa saja salah dan keliru sebab mereka bukan nabi dan bukan rasul. 

Jika guru jatuh pada kesalahan justru kewajiban murid adalah mengingatkan dan menasehati agar guru kembali ke jalan yang benar. Bukan malah mengikuti tanpa syarat. Sikap membebek sebab kultus ini malah akan mencelakan guru dan murid sekaligus.

Imam Syafi'i rahimahullah sangat amat menghormati gurunya yakni Imam Malik. Hingga beliau tidak berani memandang wajah gurunya karena saking hormatnya. Namun hal itu tidak menghalangi Imam Syafi'i untuk berbeda pendapat dalam beberapa masalah fikih dengan gurunya yang sangat amat dihormati nya itu. 

Hingga beliau menulis kitab Khilafu Malik yang berisi pendapat pendapat beliau yang berbeda dengan gurunya. Meskipun karena begitu hormatnya kepada gurunya sebelum kitab itu dirilis beliau sholat istikhoroh selama satu bulan. 

Namun jelas di sini bahwa betapapun tinggi penghormatan kepada guru ga boleh kultus. Dan bukan penghalang untuk beda pendapat dengan guru apalagi sesama Mujtahid. 

Demikian juga para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin yang biasa berbeda pendapat dengan guru gurunya. Kecuali hanya satu orang yang perkataanya pasti benar dan sama sekali ga boleh kita berbeda dengan dengannya yakni Baginda Nabi Muhammad SAW.

Oleh sebab itu tidak boleh bersikap berlebihan yakni menganggap guru pasti benar. Sebab guru manusia biasa bisa salah bisa lupa. 

Apalagi sampai kultus bahwa guru pasti benar tidak mungkin salah. Sikap ini malah menyalahi Al-Qur'an dan as Sunnah.

Imam Malik berkata,

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِىءُ وَأُصِيْبُ فَانْظُرُوا فِي قَوْلِي فَكُلُّ مَا وَافَقَ الكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْا بِهِ وَمَا لَمْ يُوَافِقْ االكِتَابَ وَالسُّنَّةّ فَاتْرُكُوْهُ

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[I’lamul Muwaqi’in, 1/75]

Imam Asy Syafi’i berkata,

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي

“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”[ Majmu’ Al Fatawa, 20/211, Darul Wafa’]

Meskipun demikian jika guru tersalah maka kita sebagai murid harus tetap memperhatikan adab yang baik saat mengingatkan kepada guru sebagaimana sudah kita bahas pada bagian sebelumnya dari serial tulisan ini. 

Selamat berjuang Sobat, moga kita diberikan oleh Allah sehat dan Istiqamah. Aamiin

Wallahu a'lam.[]


Oleh: Ustaz Abu Zaid
Ulama Aswaja
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar