Topswara.com -- Pernikahan adalah pintu gerbang membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Karena itu, tidak ada satu pun pasangan suami istri yang menginginkan perceraian.
Namun faktanya, tidak sedikit pasangan yang akhirnya memilih mengakhiri rumah tangga mereka ketika perceraian dianggap sebagai solusi terbaik.
Menurut laporan Statistik Indonesia 2023, jumlah perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada 2022. (GoodStat, 22/09/2023)
Penyebab perceraian itu didominasi oleh perselisihan dan pertengkaran pasangan suami istri sebanyak 284.169 kasus (63,41 persen). Penyebab berikutnya karena faktor ekonomi sejumlah 110.939 kasus (24,75 persen), diikuti oleh faktor meninggalkan salah satu pihak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), zina, poligami,mabuk, judi dan murtad.(GoodStat, 22/09/2023)
Maraknya perceraian mengindikasikan lemahnya ikatan pernikahan. Padahal, pernikahan merupakan mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kuat) antara suami dan istri di hadapan Allah sebagaimana firmanNYA dalam QS An Nisa ayat 21 yang artinya, “Takutlah kalian kepada Allah dalam urusan para istri. Sebab sungguh kalian mengambil mereka dengan janji Allah dan kalian halalkan kelamin mereka dengan kalimat Allah.”
Pernikahan merupakan wadah bersatunya dua individu dengan latar belakang berbeda. Wajar apabila kadang terjadi perbedaan pandangan dan pendapat. Apalagi bila pasangan suami istri minim keimanan dan ilmu agama, menyebabkan kurangnya pemahaman tentang hakikat pernikahan yang sesuai ajaran Islam. Akibatnya sering timbul silang pendapat dan percekcokan yang tidak jarang diakhiri dengan perceraian.
Perekonomian yang sulit juga menjadi salah satu penyumbang terjadinya perceraian. Berbagai kebijakan negara yang tidak berpihak kepada sebagian besar rakyat Indonesia menyebabkan terpuruknya kondisi ekonomi rakyat.
Kenaikan harga berbagai komoditi barang dan jasa tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan, bahkan pada beberapa keluarga justru terjadi penurunan penghasilan. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini makin menambah berat beban ekonomi keluarga.
Belum lagi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda negeri ini menambah panjang daftar pengangguran, yang notabene kebanyakan dari mereka adalah kepala keluarga. Pada sebagian keluarga, ketika suami sebagai kepala keluarga menjadi pengangguran, biasanya berujung dengan ambruknya bangunan rumah tangga.
Sementara itu, tatanan kehidupan dalam era kapitalisme sekular cenderung membentuk gaya hidup materialistik dan hedon, yang tanpa disadari bisa menggerogoti keutuhan keluarga. Karena yang menjadi standar kebahagiaan dan kesuksesan keluarga adalah berlimpahnya materi.
Dalam Islam, hubungan sakral antara pria dan wanita yang terikat dalam pernikahan sejatinya untuk mendapatkan ketenteraman dan kasih sayang dalam rangka ibadah demi meraih ridhaNya. Sebagaimana firman Allah dalam QS Ar Rum 21 yang artinya, ”Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang”.
Karena itu, diperlukan keimanan yang kuat dan ilmu agama yang memadai sebagai landasannya. Ilmu agama yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan pemahaman tentang hak dan kewajiban suami istri, prinsip pengasuhan anak, ketrampilan berkomunikasi antara suami istri, manajemen konflik dan emosi, serta manajemen keuangan keluarga.
Masyarakat harus dijaga dan dijauhkan dari gaya hidup materialis. Perlu juga pengaturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan baik yang masih lajang maupun yang sudah menikah agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas yang mengundang terjadinya perselingkuhan dan zina.
Syariat Islam mewajibkan negara meriayah rakyatnya dalam rangka menjaga keutuhan keluarga, antara lain dengan membuka lapangan kerja bagi para kepala keluarga agar mampu memberi nafkah yang cukup untuk keluarganya. Negara juga harus menyediakan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan yang layak dan terjangkau.
Sesuai dengan kedudukan dan fungsi masing-masing, setiap anggota keluarga harus menjalankan peran dengan baik sesuai ajaran Islam, dengan pengawasan dari negara. Sehingga keluarga yang diliputi ketentraman dan rasa kasih sayang bisa terwujud di tengah kehidupan masyarakat.
Wallahu ‘alam
Oleh: Pujiati SR
Sahabat Topswara
0 Komentar