Topswara.com -- Diperkirakan 155,2 juta orang di negara berkembang di kawasan Asia Pasifik hidup dalam kemiskinan ekstrem akibat lonjakan inflasi menurut analisa Bank Pembangunan Asia (ADB).
Angka tersebut setara dengan 3,9 persen populasi yang ada (CNN). Kepala ekonom ADB menggarisbawahi solusi dari permasalahan Negara berkembang di Asia adalah menggenjot investasi dan inovasi guna menciptakan lapangan kerja dan pertumban ekonomi.
Pemerintah juga dihimbau untuk memperkuat jaring pengaman sosial dengan menyalurkan bantuan sosial. Angka kemiskinan ini dihitung dengan standar angka pendapatan perbulan kurang lebih satu juta per bulan atau USD 2,15 per hari (32 Ribu).
Di sisi lain, dalam masa pandemi fenomena crazy rich di Asia Pasifik tidak kalah mengejutkan. The Wealth Report melaporkan bahwa populasi ultra-high net worth (UHNW) atau individu berpenghasilan sangat tinggi di kawasan Asia Pasifik justru mengalami pertumbuhan selama periode 2017—2022.
Akar Masalah
Perlu disadari bahwa kemiskinan yang terus terjadi di kawasan Asia tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme global oleh negara berkembang di Asia Pasifik. Pemenuhan kebutuhan hajat hidup orang banyak sering kali negara serahkan kepengurusannya dengan menggaet pihak kapitalis. Alhasil tidak akan bisa lepas dari orienstasi pemerolehan profit.
Definisi kemiskinan pun belum komprehensif karena hanya sebatas perhitungan angka minimum pendapatan. Sementara kemampuan masyarakat untuk mengakses kebutuhan pokok lain seperti kesehatan dan pendidikan belum menjadi acuan.
Sekalipun pemerintah menggenjot investasi, jika paradigma kapitalisme yang dipakai maka tidak akan berdampak banyak kepada masyarakat miskin karena hakikatnya pertumbuhan dan perputaran ekonomi terjadi pada segelintir pihak.
Belakangan jenis kerjasama investasi yang disepakati Indonesia Tiongkok justru memberikan dampak negatif secara langsung kepada masyarakat kecil lewat isu kerusakan lingkungan, mata pencaharian warga lokal, hingga tenaga kerja asing. Hal serupa juga terjadi di Negara Myanmar dan Filipina.
Penerapan ekonomi kapitalisme juga ditandai dengan adanya pasar bebas. Subsidi oleh negara dianggap sebagai beban negara dan penghambat terjadinya persaingan pasar efektif. Dalam perjanjian WTO, subsidi merupakan isu sensitif karena dapat mengakibatkan distorsi ekonomi.
Belum lagi ditambah isu pemerintah korup yang membuat kemiskinan kian meradang. Penelitian sosial banyak membahas tentang hubungan kuat antara korupsi, demokarasi, dan kapitalisme.
Faktanya partai politik yang menjadi corong lahirnya para penjabat publik dibolehkan untuk menerima dana kampanye maupun operasional dari kapitalis.
Oleh karenanya, kemiskinanan di Asia Pasifik bukanlah permasalahan internal negara melainkan dampak sistemik penerapan ekonomi kapitalis global.
Solusis Sistematis Islam
Islam memiliki mekanisme penyelesaian kemiskinan dari hulu ke hilir. Ada dua pandangan yang secara signifikan berbeda antara Islam dan kapitalisme.
Pertama, tolok ukur kemiskinan dalam Islam diukur dari kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan pokoknya berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Orang fakir yaitu orang yang punya harta (uang) tetapi masih kesulitan memenuhi kebutuhan. Sementara orang miskin memang tidak punya harta, sekaligus tidak punya penghasilan (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani).
Kedua, paradigma peran negara dalam Islam adalah negara memiliki kewajiban untuk mengurusi kebutuhan rakyatnya. Sebagaimana hadits Rasul SAW untuk seorang pemimpin “Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya” (HR al-Bukhari). Adapun mekanisme islam dalam menuntaskan kemiskinan sebagai berikut.
Pembangunan ekonomi Islam bertumpu pada sektor riil, bukan nonrill apalagi berbasis ribawi karena hakikatnya dalam Islam uang adalah alat tukar bukan komoditi. Krisis ekonomi merupakan hal yang melekat dalam sistem ekonomi kapitalisme karena ditopang oleh ekonomi non riil seperti seperti jual beli saham, sekuritas, obligasi, dan sebagainya.
Negara wajib mendorong laki-laki untuk bekerja dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Hal ini sejalan dengan perintah Allah swt dalam QS Al-Baqarah ayat 233. Jika kepala keluarga kesulitan mencari nafkah karena udzur syar’i (sakit, keterbatasan fisik, usia lanjut atau meninggal) maka kewajiban nafkah dibebankan kepada kerabat.
Namun jika kerabat pun dalam kondisi yang tidak mampu atau hanya cukup untuk dirinya, maka nafkah akan bersumber dari baitulmal (kas negara). Selain itu, umat muslim yang kaya akan didorong untuk mengeluarkan sedekah, infaq, dan zakat mereka.
Mekanisme kepemilikan dalam Islam dikelompokkan dalam tiga jenis kepemilikan: individu, umum, dan Negara. Pembagian ini penting agar tidak ada monopoli ekonomi. Islam tetap mengakui adanya kepemilikan individu dimana setiap warga (muslin dan non-muslim) berhak untuk mencari harta dengan cara yang halal.
Sementara kepemilikan umum, dikelola oleh negara seperti barang tambang, minyak, sungai, hutan, jalan umum, listrik, dan lainnya. Hasil pengelolaannya digunakan untuk kepentingan rakyat berupa subsidi kebutuhan dasar dan publik sehingga bisa diakses masyarakat dengan murah bahkan bisa gratis. Negara wajib mengelola harta jenis ini secara mandiri dengan mengembangkan industri berat milik negara.
Distribusi kekayaan adalah hal vital dalam pengelolaan ekonomi Islam. Negara memiliki andil untuk melakukan distribusi kekayaan secara langsung. Sebagai contoh, di dalam Islam manusia dianjurkan untuk memakmurkan tanah maka tidak akan dibiarkan ada tanah yang terlantar begitu saja.
Jika pemilik tanah menelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut. Negara berhak untuk mengambilnya dan memberikan kepada rakyat yang membutuhkan dan mampu mengelolanya.
Dengan penerapan sistem Islam yang sempurna, kemiskinan sangat minim terjadi. Jika pun ada sifatnya individual dan negara akan segera turun tangan untuk menyelesaikannya.
Oleh: Fanissa Narita, M.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Komentar