Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kekuatan Prasangka dalam Mendidik Anak


Topswara.com -- Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis qudsi dari jalan Abu Hurairah ra.,

« أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى إِنْ ظَنَّ بِى خَيْراً فَلَهُ وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ »

“Bahwasanya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku bergantung prasangka hamba-Ku. Apabila ia berprasangka baik kepada-Ku, maka kebaikan baginya, dan apabila berprasangka buruk, maka keburukan baginya.”

Dalam hadis yang agung ini dijelaskan, janganlah dipahami Allah itu lemah atau kekuatan-Nya bergantung kepada prasangka hamba-hamba-Nya. Namun, firman Allah ini justru mengajarkan agar kita berhati-hati berprasangka. Ini karena prasangka itu adalah sikap hati seorang manusia terhadap keadaan yang akan menimpanya.

Jika ia berprasangka buruk kepada Allah, berarti ia telah menuduh Allah akan menimpakan yang buruk-buruk saja kepadanya. Sikap hati seperti ini adalah tercela dan berdosa. Oleh karena itu, pantas apabila Allah akan menimpakan keburukan kepada orang tersebut.

Namun jika sebaliknya, kita menyangka Allah tidak akan pernah menzalimi makhluk-Nya, selalu menyayangi, dan tidaklah musibah menimpa kita melainkan sebatas ujian yang akan berujung kebaikan, maka kebaikanlah yang akan datang kepada kita.

Orang-orang shalih terdahulu seperti para sahabat, mereka tidak pernah berpikir tentang Allah melainkan tentang kebaikan-Nya semata. Pun ketika mereka dihadang ujian besar. Pada saat Perang Ahzab, para sahabat tergetar hatinya dan tercekat tenggorokannya menyaksikan jumlah bala tentara kaum kafir yang digalang kaum musyrik Quraisy untuk mengepung Madinah. Di dalam surah Al-Ahzab digambarkan oleh Allah rasa takut yang mencengkram para sahabat laksana “hatimu menyesak sampai tenggorokan.”

Bagaimanapun juga, Allah SWT. mengetahui kaum mukmin tetap berprasangka baik kepada-Nya. Allah berfirman, “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.’ Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS Al-Ahzab: 22).

Akhirnya, Allah pun memberikan pertolongan dan kemenangan kepada kaum mukmin, memorakporandakan bala tentara kaum kafir, menyudutkan orang-orang munafik, dan selanjutnya menghancurkan pengkhianatan kaum Yahudi.

Sayangnya, kita acap terlupa dengan perintah “prasangka baik kepada Allah”. Tipisnya iman kita membuat pemahaman berprasangka baik kepada Allah itu sebatas urusan rezeki, yakni uang, uang, dan uang. Sesungguhnya, perintah husnuzan kepada Allah itu berlaku dalam setiap hal, termasuk dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anak kita.

Pernahkah kita merasa begitu putus harapan mendidik anak-anak kita dalam kebaikan? Diberi tahu malah melawan, diajarkan justru membangkang, dan dinasihati malah mengabaikan. 

Akhirnya, anak-anaklah yang kita persalahkan. Tertanam dalam hati para orang tua, bahwa anaknya culas, pembohong, nakal, suka mencuri, malas belajar, dan berbagai karakter negatif yang melekat dalam diri anak.

Ayah bunda, anak-anak adalah anak-anak. Di antara sifat mereka adalah kerap berulang-ulang melakukan kesalahan. Pribadi mereka belum ajeg. Tindakan mereka lebih banyak berdasarkan insting ketimbang akal sehat. 

Coba kita berpikir dengan jernih, orang dewasa mana yang masih mau rebutan mainan atau makanan dengan adiknya? Tidak ada bukan? Akan tetapi itu bisa terjadi pada anak-anak.

Setelah membaca hadis qudsi di atas, terbersitkah dalam pikiran bahwa bisa jadi perilaku negatif anak-anak justru ‘diciptakan’ oleh kita, orang tuanya sendiri? Ketika berprasangka buruk kepada Allah bahwa anak-anak kita karakternya negatif atau nakal, maka pada saat itu pula Allah “mengabulkan” semua prasangka kita.

Ketika kita curiga terus menerus bahwa anak kita suka mencuri, mengganggu adiknya, pemalas, dan lainnya, seketika Allah akan “mewujudkan” itu pada anak-anak kita. Simaklah baik-baik firman Allah tadi, “Apabila ia berprasangka baik kepada-Ku, maka kebaikan baginya, dan bila berprasangka buruk, maka keburukan baginya.”

Saya teringat cerita seorang kerabat saat anak-anaknya masih kecil. Kepada ayahnya–kakek dari anak-anaknya–ia mengatakan, “InsyaAllah yang satu ini bakal jadi dokter.”

MasyaAllah, perkataan itu terwujud kemudian. Anak yang ia maksudkan benar-benar menjadi dokter, bahkan bersuamikan seorang dokter. Inilah kebesaran Allah Taala.

Ayah bunda, ketika merasa anak-anak kita bermasalah, kita harus melakukan introspeksi diri. Pasti ada sesuatu yang salah dalam diri kita. Salah satunya bisa dikarenakan kita menyimpan berbagai prasangka buruk kepada Allah tentang anak kita.

Sikap orang tua pada saat anaknya bermasalah sebaiknya tetap berkeyakinan Allah tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya, apalagi anak yang belum menanggung dosa berada dalam kezaliman dan kesesatan. 

Yakinlah bahwa kelak anak kita akan paham berbagai nasihat, arahan, dan kesedihan orang tuanya. Oleh karena itu, jangan lelah dan berputus asa membimbing anak-anak kita agar selalu berada dalam kebaikan dengan cara dan bahasa yang baik pula.

Kemudian, panjatkan doa kepada Allah. Mohonlah agar Allah senantiasa melipatgandakan kesabaran kita dalam mendidik anak-anak, juga memberikan hidayah kepada kita dan anak keturunan kita.

Hati-hatilah dalam berprasangka kepada Allah tentang anak-anak kita. Jangan biarkan setan merusak prasangka dan keyakinan baik kita kepada Allah. Mohonlah perlindungan Allah saat kita menghadapi ujian yang berasal dari anak-anak kita.

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Janganlah salah seorang di antara kamu mati melainkan ia tetap berprasangka baik kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR Muslim). 


Oleh: Ustaz Iwan Januar
Direktur Siyasah Institute


Sumber: iwanjanuar.com
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar