Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kebijakan soal Pelestarian Air dengan UU yang Dikeluarkan



TopSwara.com -- Debit air yang ada di Situ Cileunca, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung setiap harinya semakin menyusut.

Hal ini terjadi karena dampak dari musim kemarau yang terjadi ditambah dengan adanya fenomena iklim El Nino.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung Uka Suska membenarkan bahwa Situ Cileunca saat ini sedang mengalami penyusutan.

Dia mengatakan, air yang berada di Situ Cileunca, Pangalengan merupakan bahan baku air bersih yang diolah PDAM Tirta Raharja.

Dikhawatirkan dengan adanya penyusutan seperti ini, distribusi air bersih ke rumah warga di Kabupaten Bandung akan terganggu.

Di Indonesia, ketersediaan air bersih bagi masyarakat hanya sekitar 36% total air yang ada, meski terkenal sebagai negara kaya air atau negara perairan.

Tentu ini menjadi isu yang sangat penting. Presiden Jokowi sendiri menyatakan pengelolaan air menjadi prioritas untuk ketersediaan air bersih, sanitasi, ketahanan pangan dan energi, serta mitigasi bencana yang diakibatkan oleh air, seperti banjir dan tanah longsor.

Dalam sistem kapitalisme, isu-isu terkait lingkungan ini kemudian baru disadari sebagian orang setelah muncul dampak parah kerusakan lingkungan. Berkebalikan dengan yang disampaikan oleh Jokowi, realitasnya, kelestarian lingkungan tidaklah menjadi prioritas di dalam pengembangan pembangunan, usaha, dan bisnis.

Walaupun akhirnya muncul berbagai macam lembaga dan sertifikasi yang harus dipenuhi sebelum adanya pembangunan atau kegiatan usaha, tetapi itu belum menyelesaikan secara tuntas problem ketersediaan air. Walhasil, Indonesia terancam mengalami krisis air walaupun negara ini merupakan wilayah perairan. Ironis sekali.

Kalau kita lihat, berbagai kebijakan dan UU yang dikeluarkan oleh legislatif, justru kontradiktif dengan semangat dari pelestarian air itu sendiri. Mulai dari masalah UU SDA atau UU terkait air yang lebih pro pada privatisasi. Sumber-sumber air dikuasai oleh kalangan pemodal tertentu yang memiliki kepentingan bisnis di sana.

Dapat kita lihat pula pada UU terkait dengan penanaman modal atau pembangunan. Pembangunan berlangsung sporadis pada masa Jokowi. Berbagai macam proyek infrastruktur atau megaproyek mereka kebut tanpa lagi peduli faktor AMDAL.

Belum lagi di sektor pertambangan. Banyak hutan lindung yang kemudian dibabat habis hanya untuk kepentingan eksploitasi tambang batu bara atau perluasan lahan kelapa sawit. Bahkan, ada hutan lindung di Papua yang kemudian digunduli karena ada kepentingan tambang emas di sana.

Jadi, antara kebijakan yang dibuat dan motif untuk mewujudkan pelayanan air untuk warga negara, tidak nyambung atau kontradiktif. Di sisi lain, pemerintah melakukan pembangunan besar-besaran dan mengundang para investor asing untuk mengeksploitasi SDA tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan lingkungan.

Belum lagi terkait pembangunan bandara, jalan tol, dan infrastruktur lainnya yang akan mengurangi reservoir (daerah penyerapan air). Ini tentu berdampak pada ketersediaan air bersih, seperti daerah lahan hijau yang akhirnya dibangun beberapa hotel atau kawasan.

Ditambah kebijakan-kebijakan yang pro terhadap pemodal di mana dibolehkannya eksploitasi air secara besar-besaran untuk perusahaan air minum. Begitulah yang terjadi, antara kebijakan yang diambil dengan keinginan untuk melestarikan air ini tidak tampak bersesuaian.

Sebagaimana kita pahami, air adalah kebutuhan dasar setiap individu. Air merupakan hajat asasi yang digunakan untuk makan dan minum. Walhasil, ketersediaan air sangat berpengaruh pada kesehatan dan kualitas hidup. Tidak terpenuhinya hajat asasi akan membawa mudarat atau kerugian besar bagi keberlangsungan hidup manusia, seperti terjadinya kelaparan, penyakit menular, hingga kematian.

Setiap individu semestinya berhak mengakses—bahkan secara gratis—air untuk kebutuhan hidupnya. Mulai dari kebutuhan yang bersifat domestik, sampai kebutuhan untuk keperluan bisnis dan usahanya. Dalam Islam, air memiliki arti yang sangat penting karena terkait berbagai macam pelaksanaan hukum-hukum Islam, taharah misalnya.

Islam memandang air sebagai kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Penguasaan tersebut akan mengakibatkan terhambatnya masyarakat pada umumnya untuk mengakses air. Tersebab air menjadi hak dasar manusia, pengelolaan air dalam sejarah  Islam menjadi sangat teratur.

Ini mulai dari tahapan menjaga stabilitas dan kontinuitas suplai air itu sendiri, seperti menjaga konservasi alam, kemudian sanitasinya, hingga seluruh program pengelolaan air lainnya. Bahkan, Islam membuat grand design dan peta jalan agar ketersediaan air ini bisa terus berlangsung.

Negara akan mendirikan industri air bersih sehingga kebutuhan air bersih setiap individu masyarakat akan terpenuhi kapan pun dan di mana pun. Status kepemilikannya adalah harta milik umum dan atau milik negara, dikelola pemerintah untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim. Negara juga akan memanfaatkan berbagai kemajuan sains dan teknologi, memberdayakan para pakar yang terkait berbagai upaya tersebut, seperti pakar ekologi, hidrologi, teknik kimia dan industri, serta ahli kesehatan lingkungan.

Walhasil, solusi tepat untuk menyelesaikan problematik krisis atau ketersediaan air untuk pelayanan terhadap rakyat adalah dengan menerapkan syariat Islam dalam pengelolaan air. Mulai dari pengelolaan sumber daya air, distribusi, teknologi, pelayanan yang berkelanjutan, SDM yang kompeten, serta produk hukum terkait pengelolaan air. Semua itu harus diterapkan secara menyeluruh.
Wallahu alam bishawab.

Oleh : Eva lingga jalal (Aktivis Muslimah)

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar