Topswara.com -- Kebakaran hutan dan lahan masih melanda sejumlah provinsi di Indonesia. Di antaranya adalah Provinsi Kalimantan Selatan. BPBD Kalsel mendeteksi terdapat 16.220 titik api. Penanggulangan kebakaran hutan dilakukan sebanyak 38 kali dengan luasan 167 hektare dan kebakaran lahan sebanyak 980 kali dengan luasan 2.526 hektare (antaranews.com, 9/9/23).
Menangani Karhutla
Pemerintah merespon karhutla ini dengan pembahasan lahan, pasokan air bersih kepada masyarakat di kawasan terdampak, membersihkan semak belukar yang berpotensi menjadi titik api, menyediakan layanan kesehatan, dan pembagian masker. Penindakan hukum terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan juga telah dilakukan.
Apa yang dilakukan ini tentu saja bersifat pragmatis. Mengingat kebakaran hutan dan lahan ini merupakan kejadian berulang yang berdampak buruk bagi kesehatan, kegiatan masyarakat, dan lingkungan.
Dampak Karhutla
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, ada 189.111 kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang dialami warga Kalimantan Selatan selama Januari-September 2023 (databoks.katadata.co.id/13/9/23), sebagai akibat dari buruknya kualitas udara.
Karhutla juga berdampak pada lingkungan dan ekosistem. Matinya binatang dan pepohonan, rusaknya lahan gambut, mengganggu keseimbangan alam, berkurangnya cadangan air, dan dampak buruk lainnya.
Kebakaran hutan dan lahan ini tidak bisa hanya diselesaikan dengan upaya pragmatis karena problemnya bersifat paradigmatik dan sistemis.
Dampak Kapitalisasi
Diketahui bahwa hutan dan lahan yang terbakar berada di area konsesi. Pembukaan akses jalan guna kepentingan penambangan, perkebunan, dan perhutanan oleh pemegang konsesi menjadi salah satu faktor dilakukannya pembakaran. Undang-Undang dan penegakan hukum terhadap pelaku nampak tidak memberi efek untuk mengatasi karhutla berulang ini.
Selama periode 2014-2022, konsesi lahan yang paling banyak diberikan berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP) yakni 5,37 juta hektare, kebun kayu sebanyak 11,3 juta hektare, konsesi logging 2,65 juta hektare dan perkebunan sawit seluas 598, 15 ribu hektare.
Karhutla adalah dampak kapitalisasi hutan atas nama konsesi. Eksploitasi hutan ugal-ugalan dimulai sejak terbitnya UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Sejak UU ini berlaku, penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Sejak itu pula kapitalisasi dan ekploitasi hutan terjadi.
Pemberian hak konsesi lahan oleh pemerintah menjadi problem mendasar dari kasus karhutla berulang ini. Walaupun tindak pembakaran secara hukum merupakan pelanggaran, namun hak konsesi sendiri menjadikan pemegang memiliki kuasa atas lahan yang dikuasainya. Belum lagi penegakan hukum yang dinilai tidak mampu memberi efek jera pada pelaku.
Ubah Paradigma
Pada dasarnya, hutan adalah salah satu SDA milik umum. Namun, kapitalisme mengubah paradigma tersebut dengan menganggap hutan sebagai SDA yang boleh dikelola secara bebas oleh swasta atau individu. Alhasil, selama seseorang memiliki modal dan kekuasaan, ia berhak memiliki apa pun, termasuk harta milik umum, seperti tambang, hutan, dan sebagainya.
Berbanding terbalik dengan paradigma Islam terhadap tata kelola lahan ini. Nabi SAW bersabda, “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal, yakni air, padang gembalaan, dan api.” (HR Imam Ahmad).
Hadis ini memang tidak menyebutkan secara eksplisit tentang hutan, tetapi syariat tidak membatasi pada tiga aspek tersebut. Hutan adalah kepemilikan umum yang berarti tidak boleh dikuasai individu. Islam memerintahkan kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola negara dan hasilnya menjadi hak rakyat untuk memanfaatkannya.
Negara akan mengembangkan kemajuan iptek di bidang kehutanan agar pengelolaan hutan dan lahan dapat dioptimalkan sebaik mungkin tanpa harus mengganggu dan merusak ekosistem. Negara juga akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang berefek jera.
Saatnya mengubah arah kiblat pengelolaan lahan dari kapitalisme kepada Islam, agar tidak lagi ada kesewenang-wenangan terhadap alam, hutan, dan lahan karena korporasi merasa memilikinya tanpa mengindahkan dampak buruknya bagi manusia dan kehidupan.
Oleh: Munajah Ulya
(Pemerhati Hukum dan Sosial Kemasyarakatan)
0 Komentar