Topswara.com -- Dilansir dari Kompas.com. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengimbau masyarakat agar jangan memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan (4/9/2023).
Di tengah panasnya bursa pencalonan capres-cawapres, Menteri Agama Yaqut Cholil memperingatkan masyarakat agar jangan memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan.
Pernyataan Menteri Agama RI menyiratkan pandangan kalau agama Islam itu adalah sesuatu yang negatif, bahkan menjadi musuh bersama, jika menyatu dengan politik dan pemerintahan.
Bukan kali ini saja pejabat atau tokoh masyarakat, bahkan tokoh Islam, menolak muatan agama, khususnya Islam, dalam kancah politik. Seruan ‘tolak politisasi agama’ sering disampaikan kepada umat, terutama jelang Pilkada atau Pemilu.
Pernyataan Menteri Agama soal Islam rahmatan lil ‘alamin juga keliru. Seolah jika kaum muslim menegakkan akidah dan syariat Islam akan mengancam umat lain. Ucapan ini berbahaya dan menyudutkan ajaran Islam.
Komentar ini bertentangan dengan makna yang dikandung dalam ayat tersebut, juga bertentangan dengan hukum-hukum Islam serta realitas sejarah dan fakta kekinian. Pertama, banyak ulama tafsir muktabar yang memaknai rahmatan lil ‘alamin itu tidak semata untuk kaum muslim.
Islam menjadi rahmat untuk semesta alam karena memang risalah Islam, yakni akidah dan syariatnya, menjamin datangnya rahmat bagi semua makhluk. Kedua, ajaran Islam juga memberikan perlindungan dan perlakuan adil kepada semua manusia, baik muslim maupun kafir.
Ketiga, dalam sejarah kekuasaan Islam sejak zaman Nabi SAW., Khulafaurasyidin dan para khalifah berikutnya, orang-orang kafir selalu mendapatkan perlindungan dari kaum muslim. Spanyol pada masa kekuasaan Islam dikenal sebagai negara dengan tiga agama; Islam, Yahudi, dan Nasrani. Mereka hidup rukun damai dalam naungan Khilafah dan syariat Islam.
Mengapa Menag tidak membandingkan nasib minoritas muslim di India, Myanmar, Cina atau beberapa negara Eropa seperti Prancis yang justru ditindas dengan minoritas nonmuslim yang relatif aman dan terjaga di negeri-negeri muslim?
Penggambaran negatif syariat Islam, terutama dalam politik dan pemerintahan, sesungguhnya datang dari Barat, utamanya kaum orientalis. Tujuannya untuk menciptakan islamofobia. Ironisnya, hari ini justru tuduhan tersebut datang dari mulut umat muslim sendiri.
Seharusnya yang diperingatkan oleh Menag adalah ketika agama dipisahkan dari politik dan pemerintahan, alias menggunakan prinsip-prinsip sekularisme demokrasi. Terbukti hal itu menjadikan jabatan dan kekuasaan sebagai rebutan parpol dan elite politisi setiap pemilu.
Bahkan mereka sering menggunakan prinsip Machiavelli, menghalalkan segala cara. Modus pencitraan merakyat dan peduli rakyat, janji palsu dan politik uang jadi formula baku banyak politisi. Tidak ada rasa takut lagi akan dosa-dosa akibat perbuatan mereka.
Mestinya yang pantas dicap mempolitisasi agama adalah mereka yang berkamuflase menjelang pemilu seolah islami; bersorban, berkerudung, sowan kepada para ulama, difoto sedang salat, buka puasa, dan sebagainya. Faktanya, keseharian mereka belum tentu demikian. Semua dilakukan sebagai pencitraan agar dipilih oleh kaum muslim.
Lebih buruk lagi, sistem politik sekularisme demokrasi meniscayakan politik uang. Penelitian yang diterbitkan situs Rumah Pemilu terhadap Pemilu 2019, menyebutkan saking tingginya politik uang di Indonesia, menurut standar internasional, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia. Artinya, politik uang sudah dianggap wajar dalam Pemilu Indonesia.
Dari mekanisme Pemilu seperti itu, apa yang bisa diharapkan oleh rakyat? Terbukti eksekutif dan legislatif sering melahirkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, rencana pembangunan IKN, kereta cepat Jakarta-Bandung, atau misalnya rencana pencabutan Pertalite untuk diganti Pertamax Green yang justru lebih mahal.
Islam, politik, dan kekuasaan adalah bagian yang terintegrasi. Para ulama sudah membahas tentang pentingnya agama dan kekuasaan itu bersatu.
Dalam Islam, menjadi penguasa itu memiliki tujuan mulia, yakni sebagai amal saleh untuk mengurus umat dengan penerapan Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Sudah seharusnya umat meluruskan pandangan soal politik dan kepemimpinan, bahwa pemimpin yang amanah bukan sekadar pemimpin yang saleh secara personal, tetapi juga menciptakan kesalehan secara menyeluruh.
Pemimpin dalam Islam tidak akan membiarkan satu aspek kehidupan bernegara pun yang tidak diatur oleh hukum-hukum Allah. Sebabnya, ia yakin tidak ada aturan yang terbaik melainkan yang datang dari risalah Islam.
Oleh karena itu, memilih pemimpin bukan sekadar memilih yang beragama Islam, tetapi memilih pemimpin muslim yang akan menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan sehingga tercipta rahmat bagi semesta alam. Tanpa menerapkan syariat Islam, seshaleh apa pun seorang pemimpin, tidak akan bisa mengundang rahmat Allah SWT.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
0 Komentar