Topswara.com -- Harga beras mengalami kenaikantajam bahkan naik ugal-ugalan. Dikutip dari situs Badan Pangan Nasional harga beras paling mahal mencapai Rp 14.070 per kilogram pada beras yang premium. Sedangkan untuk beras kualitas medium mencapai harga Rp 12.100 per kilogram (badanpangan.go.id, 31/08/2023).
Harga tersebut adalah harga di tingkat pedagang eceran, di mana harga ini telah mencapai di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Mengutip dari CNBC Indonesia, Pengamat Pertanian Khudori mengatakan setidaknya ada 4 faktor penyebab kenaikan harga beras yang luar biasa tinggi tersebut. Empat faktor tersebut adalah siklus panen, efek fenomena El-Nino, perkiraan produksi beras yang menurun, dan efek dinamika global yaitu kebijakan pembatasan negara-negara eksportir seperti larangan ekspor beras non basmati oleh India (cnbcindonesia.com, 22/08/2023).
Meskipun ada dari faktor-faktor tersebut tidak berdampak langsung ke Indonesia namun ternyata memicu sentimen yang memengaruhi pasar di dalam negeri. Badan Pangan PBB atau biasa disebut Food and Agriculture Organization (FAO) khawatir sebab kenaikan harga beras tertinggi dalam 12 tahun terakhir ini bisa menyebabkan lonjakan inflasi pangan di Asia (cnnindonesia.com, 23/08/2023).
Harga beras yang makin mahal mengakibatkan masyarakat makin sulit menjangkaunya. Kondisi ini sebenarnya menunjukkan ada yang salah dalam tata kelola pertanian di negeri ini.
Apalagi jika alasan harga beras melambung tinggi karena siklus panen dan fenomena El-Nino yang sebenarnya bisa diprediksi sejak awal oleh para ahli dengan teknologi yang memadai. Harga beras yang masih bergantung pada dinamika global juga menunjukkan belum ada kemandirian dan kedaulatan pangan di negeri ini.
Padahal jika melihat potensi negara ini dari sisi pertanian, Indonesia termasuk negara agraris. Artinya bahwa sektor pertaniannya dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian dalam negeri dan ini terbukti dengan sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani dengan memanfaatkan lahan pertanian.
Komoditas pertanian yang didominasi sawah dengan tanah yang subur inilah yang menyebabkan Indonesia mampu memproduksi beras dalam jumlah yang sangat besar. Sungguh ironi, jika negeri yang telah dianugerahi sawah yang terbentang luas dan subur ini justru tidak mampu membuat harga beras mudah dijangkau oleh masyarakat.
Hal ini terjadi akibat kebijakan pangan berdasarkan kapitalisme neoliberal. Dalam pandangan kapitalisme pengadaan pangan hanya dianggap sebagai komoditas ekonomi sehingga pengadaan pangan hanya diukur dari sisi untung dan rugi saja.
Apalagi jika dihadapkan pada kurangnya stok pangan negara sering mengambil jalan pintas yaitu dengan impor. Padahal kemandirian pangan adalah bagian dari kemandirian negara atau kedaulatan negara yang harus dijaga dan dipertahankan.
Ketiadaan visi ini berjalan dengan minimnya fungsi negara yaitu negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Negara tidak berperan dalam pengaturan dan penguasaan rantai pangan. Negara justru membiarkan korporasi-korporasi besar untuk menguasai tata kelola pangan.
Korporasi besar memiliki kekuasaan lebih dalam mengelola pertanian, mulai dari penguasaan lahan, penguasaan sarana dan prasarana produksi pertanian seperti pengadaan benih, pupuk, dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan para petani sulit untuk mengakses berbagai sarana produksi tersebut dengan mudah dan murah.
Dalam aspek distribusi pun negara tidak hadir untuk mengatur dan mengelola sehingga berakibat pada merajalelanya para mafia pangan mulai dari penimbunan, spekulan, dan para kartel pangan.
Berbagai ketimpangan inilah yang menyebabkan para petani semakin tergusur dan masyarakat sebagai konsumen juga semakin sulit mendapatkan pangan dengan harga terjangkau dan berkualitas.
Penyelesaian masalah pangan ini tidak bisa jika diselesaikan dengan cara pandang kapitalisme neoliberal. Dibutuhkan cara pandang lain yang meniscayakan negara untuk berperan aktif serta hadir secara tulus dalam melayani masyarakat dan bertanggung jawab penuh terhadap hajat rakyat.
Cara pandang ini haruslah cara pandang yang benar yang berasal dari Sang Pencipta. Sebab hanya Sang Penciptalah yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi makhluk ciptaan-Nya. Cara pandang ini adalah cara pandang Islam di mana dalam Islam ada sebuah tuntutan bagi pemimpin negeri untuk menjadi pemimpin yang bertanggungjawab .
Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda, “Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Dari hadis inilah yang mendorong para pemimpin dalam Islam atas dasar keimanannya kepada Allah, harus menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, menjadikan negaranya mandiri dan tidak bergantung pada siapa pun atau negara lain dalam berbagai urusannya termasuk pemenuhan pangan rakyatnya.
Atas dasar itulah maka negara akan serius untuk mengupayakan secara maksimal seluruh potensi yang dimiliki agar kebutuhan pangan bisa disediakan secara mandiri dan optimal. Langkah optimalisasi pengelolaan dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syariat.
Kebijakan di sektor hulu yaitu meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan cara penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik seperti bibit unggul, pupuk, dan obat-obatan yang diperlukan dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian. Negara akan memberikan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian.
Sedangkan ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Di sini negara berperan untuk membuat kebijakan yang mendukung untuk terciptanya perluasan lahan pertanian, di antaranya adalah negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan cara menghidupkan lahan yang mati.
Selain itu negara juga akan memberikan tanah pertanian yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya. Dengan begini, maka kemandirian pangan bukanlah hal utopis untuk diwujudkan dalam negara dengan cara pandang Islam.
Oleh: apt. Yuchyil Firdausi., S.Farm.
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar