TopSwara.com -- Golden Visa adalah visa yang diberikan sebagai dasar pemberian izin tinggal dalam jangka waktu 5 sampai 10 tahun dalam rangka mendukung perekonomian nasional. Demikian pernyataan dari Direktur Jenderal Imigrasi, Silmy Karim pada Selasa (5-9-2023). Untuk investor perorangan yang akan mendirikan perusahaan, pemerintah mengharuskan orang tersebut untuk berinvestasi minimal US$ 2,5 juta atau setara Rp 38 miliar untuk mendapatkan Golden Visa untuk masa tinggal 5 tahun. Sedangkan untuk masa tinggal 10 tahun, nilai investasi yang disyaratkan adalah sebesar US$ 5 juta (Rp 76 miliar). Adapun untuk investor korporasi, pemerintah mewajibkan minimal investasi sebesar US$ 25 juta atau setara Rp 380 miliar untuk mendapatkan Golden Visa masa tinggal 5 tahun dan US$ 50 juta (Rp 766 miliar) untuk mendapatkan Golden Visa masa tinggal 10 tahun yang akan diberikan pada jajaran direksi dan komisaris perusahaan. Untuk investor asing perorangan yang tidak mendirikan perusahaan di Indonesia juga bisa mendapatkan Golden Visa. Untuk Golden Visa 5 tahun, pemohon diwajibkan menempatkan dana sebesar US$ 350.000 (Rp 5,3 miliar) yang dapat digunakan untuk membeli obligasi pemerintah RI, saham perusahaan publik, atau penempatan tabungan. Sedangkan untuk Golden Visa 10 tahun, dana yang harus ditempatkan adalah US$ 700.000 (Rp 10,6 miliar). (cnbcindonesia.com/Selasa/5/09/2023/11:40WIB)
Kebijakan terkait investasi asing ini menunjukkan bahwa negeri ini masih bergantung pada investor sebagai sumber pendapatan negara. Undang-undang dibuat semakin memudahkan untuk menarik para investor agar mau menginvestasikan hartanya ke negeri ini. Disusul dengan kebijakan yang memudahkan asing membuat perusahaan dan mengelola sumber daya alam negeri ini. Lalu sumber daya alam pun dikeruk dan dieksploitasi besar-besaran hingga tak ada harta yang bersisa untuk rakyat sendiri.
Dalam sistem sekuler kapitalisme adalah hal yang niscaya jika menjadikan pajak, hutang, dan investor sebagai pemasukan negara. Sebab peran negara itu sendiri dalam konsep sekuler kapitalisme hanya sebagai perantara dan penyedia produk ataupun jasa, bukan pelayan umat. Apalagi hukum yang diterapkan adalah buatan manusia yang begitu sarat akan kepentingan pihak tertentu. Memberikan untung untuk pemilik modal dan buntung untuk rakyatnya. Bahkan menjadi rakyat jelita harus menanggung setiap kegagalan dari kebijakan yang diterapkan dengan semakin tingginya pajak yang dibebankan kepada rakyat sebab hutang negara pun semakin menggunung mendaki langit. Belum lagi bunga yang diberlakukan semakin berkembang biak. Walhasil semakin terjebaklah negeri ini dengan jeratan ketergantungan pada asing dan hilanglah kedaulatan negara untuk mandiri.
Sungguh sangat berbeda dengan pengaturan pemerintahan di dalam Islam. Pemasukan kas negara di dalam Islam berasal dari berbagai sumber diantaranya dari zakat, fai', kharaj, ghanimah, jizyah. Sumber daya alamnya dikelola langsung oleh negara secara optimal dan dikembalikan kepada umat agar umat mendapatkan manfaat darinya dengan mudah, murah bahkan gratis. Distribusi terhadap kebutuhan hidup umat juga merata antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Pengaturan terkait investor asing pun ada aturannya yang tentunya tidak boleh sampai merugikan negara ataupun membahayakan umat dan dilakukan dengan negara yang tidak memerangi Islam. Bagaimana dengan pajak? Pajak akan dilakukan jika kas negara benar-benar dalam kondisi kosong. Para aghniya (orang kaya) sajalah yang dibebankan pajak itu. Tidak selamanya, hanya diantara sampai perekonomian negara normal kembali. Demikianlah sekelumit tentang aturan kehidupan di dalam Islam. Sudah saatnya untuk kembali kepada aturan Allah. Aturan yang mendatangkan keberkahan hidup di dunia dan akhirat.
Wallahua'lambishshowab.
Oleh: Iliyyun Novifana, S.Si. (Aktivis Dakwah)
0 Komentar