Topswara.com -- Presiden Jokowi meneken dan menerbitkan PP no 40 Tahun 2023 tentang keimigrasian, diantaranya mengatur golden visa. Visa spesial ini menargetkan orang asing berkualitas untuk menanam modal, baik mandiri maupun korporasi sehingga bermanfaat bagi perkembangan ekonomi.
Pemegang golden visa akan mendapat manfaat eksklusif seperti masa tinggal lebih lama, kemudahan keluar masuk Indonesia dan tidak perlu mengurus izin tempat tinggal terbatas di kantor imigrasi.
Investor perorangan mendapat masa tinggal 5 tahun jika berinvestasi US$ 2,5 juta (Rp 38 miliar), untuk 10 tahun sebesar US$ 5 juta (Rp 76 miliar). Untuk investor korporasi diwajibkan berinvestasi minimal US$ 25 juta (Rp 380 miliar) untuk masa tinggal 5 tahun.
Direktur dan komisaris bisa tinggal selama 10 tahun jika berinvestasi US$ 50 juta. Investor asing yang tidak mendirikan perusahaan bisa mendapat ijin tinggal 5 tahun jika berinvestasi US$ 350.000 (Rp 5,3 miliar), untuk 10 tahun sebesar US$ 700.000 (Rp 10,6 miliar). Dana ini berupa tabungan, membeli saham publik atau membeli obligasi Pemerintah RI (cnbcindonesia.com, 5/9/2023).
Kapitalisme Ancaman Nyata
Kebijakan golden visa bukti negara kita tergantung pada investasi disamping utang dan pajak. Padahal negara kita memiliki sumber daya alam yang melimpah untuk membangun kemandirian ekonomi.
Namun, kekayaan yang melimpah oleh negara diserahkan kepada swasta, asing dan aseng. Kebijakan golden visa mengikuti negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Emirat Arab, Irlandia, Jerman, Selandia Baru dan lain-lain.
Kebijakan penerapan golden visa bukan tanpa masalah. Negara-negara seperti Siprus, Bulgaria, Irlandia, dan Portugal justru berhenti memberi golden visa karena rentan menjadi jual beli kewarganegaraan dan memudahkan pelarian koruptor dari negara asalnya.
Memang, kebijakan ini tidak adil dan diskriminatif karena hanya orang yang memiliki banyak uang yang memperoleh hak istimewa untuk tinggal, bekerja dan berusaha di Indonesia.
Pemberian fasilitas khusus beresiko munculnya penyalahgunaan ijin tinggal dan berusaha, meningkatnya kasus korupsi pengemplangan pajak, dan pencucian uang.
Faktanya, derasnya investasi tidak berkorelasi dengan penciptaan lapangan kerja bagi rakyat. Data kementrian investasi BKPM menunjukkan bhw ada peningkatan investasi signifikan 2013-2021, tetapi rasio serapan tenaga kerja justru menyusut (lokadata.beritagar.id).
Mirisnya, kebijakan ini bisa menjadi alat penjajahan gaya baru. Investasi disektor strategis menyebabkan dominasi asing atas kebijakan negara.
Tidak hanya dana dan teknologi yang masuk bahkan tenaga kerja dari ahli hingga teknis dibawa dari negara asal. Tanpa disadari, investor membawa ide kebebasan yang mengancam akidah dan merusak akhlak .
Investasi dalam Islam
Islam agama lengkap dan menyeluruh, mengatur seluruh aspek kehidupan. Investasi merupakan bagian politik luar negeri. Islam tidak menafikan adanya investasi, hanya saja diatur sesuai syariat Islam.
Investor asing tidak boleh masuk dalam pengelolaan SDA milik umum, kebutuhan pokok rakyat, atau kebutuhan hidup orang banyak. Tidak ada unsur riba maupun praktek kontrak yang tidak sesuai syariat. Tidak boleh menjadi jalan terciptanya penjajahan dan monopoli ekonomi.
Disektor harta milik individu akan didasarkan pada status kewarganegaraan pelaku investasi. Jika berasal dari negara yang tengah berperang dengan khilafah atau kafir muhariban fi'lan, maka tidak boleh ada hubungan dagang (investasi) dengan khilafah.
Pemasukan negara dalam khilafah banyak sumbernya, tidak hanya investasi. Sumber pemasukan baitul mal, pertama, kepemilikan umum seperti air, padang rumput, api (tambang). Negara hanya sebagai pengelola, hasilnya dikembalikan pada rakyat. Kedua, kepemilikan negara berasal dari jizyah, usyr, kharaj, ghanimah.
Ketiga, zakat, baik zakat pertanian, perdagangan atau ternak. Hal ini terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah.
Ida Nurchayati
Sahabat Topswara
0 Komentar