Topswara.com -- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ z قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ n مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Rasûlullah bersabda, “Barangsiapa berbuat zhalim kepada saudaranya, yang berkaitan dengan kehormatan atau sesuatu apapun, hendaklah dia meminta halal darinya pada hari ini, sebelum (datang hari kiamat) yang tidak ada dinar dan dirham. Jika dia memiliki amal shalih diambil darinya seukuran kezhalimannya. Jika dia tidak memiliki keabaikan-kebaikan, diambil kesalahan-kesalahan orang yang dizhalimi lalu ditimpakan padanya.” [HR. Al-Bukhâri, no. 2449, 6534; Ahmad 2/435, 506; Ibnu Hibban no. 7361].
Hadis tersebut menunjukkan kondisi dinamis hasil perbuatan di dunia. Dinamika dunia nampaknya memang belum berakhir secara total seiring berakhirnya kehidupan berupa datang ajal atau kematian. Kondisi berupa terdapat banyak kemungkinan lain dapat saja terjadi di akhirat kelak masih ada.
Dinamika dosa dan pahala pada akhirnya menjelma dialektika amalan; amalan saleh dan perbuatan dosa. Dialektika menghasilkan insaan, apakah sosok yang mulia, atau bisa menjadi sebaliknya. Realita ini ternyata tetap terjadi hingga Hari Perhitungan (“Yaumul Hisab”).
Akhirnya, dinamika pertimbangan amal atau hisab di akhirat adalah fenomena yang tidak bisa dibantah. Artinya kondisi dinamis terhadap buah dari hasil amal di dunia bercermin pada hadits di awal adalah kenyataan yang tidak diragukan.
Namun, apakah dinamika tersebut pantas untuk digelisahkan? Jika iya dan jika tidak; seberapa jauh kemungkinan diperbolehkannya mengalami gelisah sehingga tidak berpengaruh buruk pada amalan lain.
Jika jawabannya tidak maka apakah setiap amal berpotensi mengalami penyusutan hingga habis sama sekali atau diistilahkan “muflish”, tidak adakah yang bersifat pasti?
Amal Adalah Bekal
Pada prinsipnya setiap manusia diseru untuk beramal solih sebagai bekal dia menjalani kehidupan. Amal shalih atau perbuatan baik akan bermanfaat untuk kehidupan dunia juga akhirat. Amal shalih juga berfungsi sebagai penggugur dosa.
Maka perbuatan baik sudah barang tentu menjadi keharusan untuk manusia agar terhindar dari berbagai keburukan/kejahatan yang akan menjerumuskannya ke dalam palung dosa.
Maka penting kiranya menjadi cerdas dalam beramal. Pertimbangan bentuk amal, dari sisi keikhlasan dan pemenuhan rambu-rambu syari’ah juga dari kualitas balasan seperti amal jariyah di mana pahala amalan dapat terus mengalir meskipun sudah meninggal. Maka beramal saleh adalah keniscayaan.
Terdapat ungkapan, “istirahat adalah perpindahan dari satu amalan ke amalan lain” berkesesuaian dengan kandungan hadits bahwa tempat istirahat kaum Muslim adalah akherat (kematian).
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia itu penjara seorang mukmin dan sorga orang kafir”. [HR. Muslim, no. 2956].
Maka teruslah bergerak dalam amalan-amalan saleh penuh keutaman dengan keikhlasan dan tuntunan hingga ajal menjelang. Terlebih mengingat banyaknya kebaikan yang dihukumi ulama dengan wajib bahkan memungkinkan untuk “multitasking”, artinya melakukan berbagai kegiatan (amalan) dalam satu kesempatan.
Apapun amalannya akan mendapat balasan, baik disegerakan di dunia ataupun kebaikan berupa kenikmatan-kenikmatan akhirat. Intinya jangan berputus asa pada rahmat Allah dan dari berbagai dosa yang pernah dilakukan untuk senantiasa memohon ampun serta bertaubat kepadaNya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “maa kaana linafsiin antamuuta illa bi’idznillahi, wa man yuriduddunya nu’thihi minha wa man yuridul aakhiroti nu’thihi minhaa wa sanajzii as-syaakiriin.”
Artinya: “sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan seizin Allah, dan barang siapa menginginkan dunia akan Kami berikan kepadanya bagian darinya (dunia), dan barang siapa menginginkan akhirat Kami berikan kepadanya bagian darinya (akhirat), dan Kami akan membalas orang-orang uang bersyukur” (Q. S. Aali Imraan: 145).
Qur’an Surat al-Israa’ ayat 18 -19 juga mengungkapkan: “wa man kaana yuriidul aajilata ‘ajjalnaa lahuu fii maa nasyaa’u liman nuriidu tsumma ja’alnaa lahuu Jahannama yashlaaha madhmuuman madhuuro.” “wa man kaa na yuriidul aakhirota wa sa’aa sa’yahaa wa huwa mu’minun fa’ulaa’ika kaana sa’yuhum masykuuro.”
Artinya, “dan barang siapa menginginkan dunia Kami akan menyegerakan baginya berdasar yang Kami Kehendaki kepada siapa yang Kami inginkan dan Kami jadikan baginya Jahannam sebagai tempat kembali yang buruk.” “dan barang siapa yang menginginkan akherat dan berusaha menuju ke sana sedang dia beriman maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dengan baik.”
Keistimewaan Pahala Puasa
Saat setiap amalan dikisahkan dihisab sampai tidak ada lagi kebaikan yang terlewat tanpa balasan dari Allah. Begitupun kezaliman, sebesar biji zarrahpun akan dibalas sesuai dengan kadar kezaliman, sebesar (puncak) atau sekecil apapun bentuk kezaliman tersebut.
Terjadi tukar-menukar antara satu dengan yang lain terkait hasil amalannya, bagi yang terzalimi akan menuntut pelaku zalim hingga pahalanya habis dan diganti dengan dosa yang terzalimi diberikan kepada yang menzalimi ketika pahalanya dinyatakan habis.
Dikatakan tukar-menukar buah amal ini dapat terhenti pada amalan puasa. Penarikan pahala oleh orang lain di Hari Hisab dan terhenti oleh keistimewaan puasa.
Dinamika fenomena di “yaumil hisab” atau Hari Perhitungan telah dikabarkan Rasulullah Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tercantum dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ n قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kamu siapakah orang bangkrut itu?” Para Sahabat Radhiyallahu anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) shalat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil lalu ditimpakan padanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” [HR. Muslim, no. 2581].
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Artinya: “Semua amal Bani Adam akan dilipat gandakan kebaikan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza Wa Jallah berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.”
Maka terdapat gambaran dari dua hadis ini atas pertanyaan, apakah betul semua amal berpotensi “muflish”, kecuali Pahala puasa? Jawaban tersebut akan berimplikasi tidak hanya pada puasa wajib berupa puasa Ramadhan.
Sebab hadis tersebut menyebutkan amalan tersebut secara redaksional adalah puasa tanpa pengkhususan puasa tertentu sebagai keistimewaan atau keutamaan amalan puasa.
Diketahui Rasulullah adalah figur yang gemar berpuasa, beliau seringkali puasa sepanjang tahun meski dikatakan tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.
Maka diakui terdapat syariat untuk selain puasa yang dihukumi wajib yaitu Puasa Ramadlan, juga terdapat puasa lain seperti Puasa Sunnah Senin Kamis, Ayyamul Bidl serta puasa yang memiliki keutamaan di bulan-bulan haram. Bahkan pernah suatu ketika rasul berpuasa ketika tidak didapati makanan. Subhanallah...
Oleh: Nazwar, S.Fil. I., M. Phil.
Penulis Lepas Yogyakarta
0 Komentar