Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Eks Napi Korupsi Jadi Caleg, Pantaskah?


Topswara.com -- Sistem demokrasi begitu pelik di deskripsikan sebagai sistem terbaik sebagaimana melegislasi pasal per pasal secara persisten berubah atau temporary. Sejauh penerapan sistem demokrasi ia acap kali beradaptasi dengan konteks yang ada bila mana pribadi menginginkan sebuah kiprah disitulah regulasi berubah.

Sulit dipercaya, faktanya pemilu ditahun 2019 terjadi polemik kala mantan napi korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, sementara dalam peraturan KPU melarang pencalonan dari mantan napi yang telah di atur dalam peraturan KPU nomor 20 tahun 2018. 

Tindakan ini terjadi pro kontra sebagian pihak menyetujui namun tidak sedikit pula mengkritik kebijakan ini khususnya pihak eks napi koruptor. 

MA pun sebagai wadah finalnya keputusan hukum membeberkan bahwa KPU menyalahi UUD yang tertulis pada pasal 28D ayat 3tahun 1945 bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, kemudian undang-undang pasal 43 ayat 1 tahun 1999 tentang HAM berbunyi “pada setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan hal melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, adil, jujur dan rahasia sesuai dengan peraturan per undangan-undangan serta tercantum dalam UU HAM pasal 73, (kompas.com, 12/09/2022)

Hasil penelaahan UU di atas maka PKPU membatalkan pelarangan tentang larangan eks napi korupsi dan mengikuti keputusan final MA. 

Terjadi kembali pada tahun yang akan datang 2024 beberapa eks napi korupsi menjadi calon pemilu legislatif dengan syarat melampirkan pernyataan sebagai eks napi korupsi secara terbuka, dari data yang ada 12 caleg eks napi korupsi berebut kursi senayan 7 orang bakal caleg DPR dan 5 orang bakal caleg DPD, (kompas.com, 25/08/2023).

Demokrasi sekularisme tampak lemah, bila berkaitan dengan politik. Dimana konsiderasi hukum di negeri ini serampangan menerima individu-individu sebagai anggota politikus sekalipun tampak tidak layak dimata hukum sebenarnya. 

Banyak anggota legislatif tidak merasa diri terhadap pelanggarannya orang-orang seperti inilah yang membuat rugi besar bagi negara secara terbukti pernah korupsi tetapi masih juga diberi kesempatan menjadi anggota legislatif oleh negara sekalipun rakyat penentu kemenangan.

Indikator politik sekularisme para elitelah paling depan kebenarannya, kesalahan tertutup oleh lembaran kertas sekalipun ia salah dimata rakyat maupun hukum tetapi benar dimata pemerintahan dan mereka adalah bagian terbesar pengekang suara rakyat.

Rakyat pun tidak berkutik setiap dihadapkan dengan namanya money serta iming-imingi dijadikan prioritas dimata mereka, apalagi masyarakat awam mudah termakan oleh janji-janji para calon, bahkan berkali-kali tertelan mentah-mentah harapan yang telah digadang-gadang.

Hasil konservasi hukum buatan manusia berdampak buruk bagi tubuh negara karena telah memelihara penyakit mematikan. Sekarang saja terbukti rusaknya kehidupan sosial diakibatkan tangan-tangan yang berebut kekuasaan padahal mengemban amanah ratusan juta kepala tidak mudah.

Amanah untuk diri sendiri terkadang lalai dan akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat apalagi mengurus rakyat yang tidak sedikit, ibaratnya bunga sehari saja tidak disirami air akan layu begitu pula rakyat jika satu kebutuhan tidak terpenuhi maka kondisi rakyat memburuk.

Syarat Calon Pemimpin dalam Islam

Bercermin pada kisah sang sahabat Rasulullah SAW. Khalifah Umar bin Khatab berat hati menerima amanah mengurusi rakyat, sekelas beliau yang dijuluki sebagai pembeda haq dan bathil masih meragukan dirinya mengemban amanah. 

Apa kabar eks napi korupsi dimasa jabatan sebelumnya sudah melakukan korupsi miliaran bahkan triliunan tapi masih percaya diri mengemban amanah besar dan berat ? Ah, negeri wakanda memang banyak lawakannya.

Andai kaum muslimin keseluruhan mencari jejak ke Khilafahan dan meniru jalan politiknya maka mereka akan menjadi umat yang sejahtera. Politik Islam mengedepankan kepentingan umat, semua hal-hal mengenai urusan rakyat ditanggung oleh negara tanpa pamrih sedikit pun.

Sistem pemerintahan Islam tidak berubah-ubah seperti sistem demokrasi sekularisme, apa pun kejadian yang menimpa negara ataupun umat semua dikembalikan kepada Allah yang mengetahui segalanya, regulasi di ambil dari kalam Allah dan sunah Rasul. 

Seperti pengangkatan pemimpin (khalifah) wajib memenuhi syarat yang sudah ditentukan misal dia harus laki-laki, muslim, balig, berakal, adil, memiliki kemampuan, terikat penuh terhadap hukum syarak dan merdeka dari jajahan non fisik asing. 

Pemerintahan Islam juga tidak melarang oknum meminta jabatan imarah atau memimpin selama ia memenuhi syarat yang ditujukan karena Rasulullah pernah mengangkat Amru bin Al Ash ketika meminta jabatan menjadi amir karena dia pantas. 

Pemberhentian khalifah bisa dilaksanakan selama tiga hal ini terjadi : pertama, khalifah murtad dari Islam karena Islam merupakan salah satu syarat pengangkatan khalifah. 

Kedua, khalifah gila permanen yang tidak bisa disembuhkan. Ketiga, khalifah ditawan musuh yang kuat, yang dia tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tawanan tersebut. 

Sebagaimana tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada orang Asing.

Wallahu A’lam bisshawab. 


Oleh: Sasmin
Pegiat Literasi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar