Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bicara Kotor Sudah Biasa, Ada Apa?


Topswara.com -- Banyak orang mengatakan, ”Lisanmu adalah kualitas dirimu.” Namun fakta di masyarakat saat ini, bicara kotor sudah biasa. Pelakunya mulai anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Bahkan bukan hanya rakyat jelata, para selebriti, juga pejabat negara pun melakukannya. Baik secara offline maupun online. 

Misalnya yang sempat viral, rekaman percakapan seorang dirutn BUMN dengan istrinya (serang.suara.com, 20/9/20230). Juga beberapa bulan sebelumnya, ASN Bea Cukai menjawab pertanyaan di laman keluhan masyarakat di media sosial (tribunnews.com, 24/3/2023). Atau beberapa tahun lalu, pernah ada pejabat dengan julukan si mulut jamban, saking seringnya kata-kata kotor diucapkan dari lisannya setiap berbicara.

Sementara, maraknya bicara kotor di media sosial, terbukti dengan data survei yang dilakukan oleh Digital Civility Indeks, pada tahun 2020. Hasilnya sungguh mengejutkan. Negeri kita menduduki peringkat terbanyak pengguna medsos yang berkomentar dengan kata-kata kotor/ tidak sopan. Sementara usia pelaku terbesarnya adalah orang dewasa. 

Dalam kehidupan sehari-hari, bicara kotor seolah menjadi syarat diakuinya seseorang dalam sebuah komunitas. Jika seseorang tidak mau bicara kotor, akan dianggap tidak gaul, tidak asyik, dan seringkali dikucilkan. 

Padahal merujuk Wikipedia, kata-kata kotor adalah umpatan, kata-kata kasar, ucapan jorok, sumpah serapah, caci maki, atau ungkapan tidak senonoh. Biasanya, kata-kata ini bersifat ofensif, menghina, menistakan atau merendahkan orang lain. 

Hal ini tentu cukup mengherankan. Apalagi jika dilihat dari aspek budaya. Bangsa kita, menganggap ngomong kotor adalah perbuatan yang tidak sopan. Lalu, mengapa hal ini makin merebak?

Membiarkan Keburukan

Suatu keburukan jika dibiarkan, maka lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan. Demikian pula bicara kotor. Yang tadinya dianggap perilaku tidak sopan, jika dibiarkan, maka akan menjadi kebiasaan, bahkan berubah menjadi kebaikan. 

Misalnya, Dj**cu* umpatan khas Surabaya, yang tadinya bermakna buruk berubah dianggap sebuah bentuk keakraban. Akhirnya digunakan untuk memanggil nama teman, ketika merasa takjub, bahkan bercanda. 

Seseorang bicara kotor, bisa jadi awalnya disebabkan pelaku memang tidak tahu bahwa bicara kotor adalah sebuah perilaku buruk. Ditambah kondisi keluarga pun tidak memahaminya. Karena rendahnya tingkat pendidikan atau kurangnya pemahaman agama.

Bisa juga, adanya pengaruh faktor luar yakni pertama, teman atau kondisi masyarakat. Kedua hal ini mampu mempengaruhi dan mendorong seseorang berperilaku baik atau buruk dalam kehidupannya. 

Kedua, pengaruh media sosial. Indonesia diketahui merupakan negara pengguna HP terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India. Kondisi ini memungkinkan bicara kotor menyebar luas dengan cepat melalui berbagai konten aplikasi. Termasuk acara televisi baik sinetron, atau komedi dan lainnya yang ditonton melalui HP. 

Melalui HP juga, masuk pemahaman sekuler di tengah masyarakat. Yakni memisahkan aturan agama dalam keseharian termasuk berbicara. Hal ini melahirkan perilaku bebas bicara apa saja termasuk yang kotor.

Di sisi lain, kurikulum sekolah ternyata tidak berhasil membentuk seseorang yang kokoh keimanannya.Tidak pula mendorong siswanya maupun lulusannya memiliki kesadaran berperilaku sesuai syariat Islam. Sehingga wajar banyak yang tidak merasa berdosa ketika berbicara kotor.

Adapun telah digulirkan kebijakan baik UU ITE maupun UU lainnya oleh pemerintah, ternyata tidak mampu menimbulkan efek jera bagi para pelaku.

Faktor-faktor di atas inilah yang mendukung dan seolah membiarkan perilaku ngomong kotor. Sehingga semakin marak dan menjadi perilaku yang biasa di tengah masyarakat.

Larangan Bicara Kotor

Islam melarang bicara kotor. Allah berfirman dalam surat Al Humazah ayat 1, “Kecelakaanlah bagi pengumpat dan pencela.” Dalam ayat tersebut sangat jelas Allah melarang mengumpat dan mencela. Ancaman-Nya tidak main-main, yakni "wail" lembah neraka. 

Menurut Ibnu Katsir, humazah adalah mencela melalui mata dan perbuatan. Sementara lumazah menggunakan lisan.
Dikuatkan juga oleh sabda Rasulullah, ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik dan jika tidak diamlah." (HR. Bukhari Muslim).

Juga sebuah hadis lain yang mengatakan, "Bukanlah seorang mukmin itu yang suka mencela tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR. Bukhari).

Dari hadis-hadis di atas, sangat jelas kaitan erat antara keimanan dan perilaku ngomong kotor. Jika sesorang beriman kepada Allah, pasti ia akan taat ketika Allah perintahkan tidak berbicara kotor. Apalagi sampai menyebabkan sakit hati orang lain, atau menfitnah dan menyebabkan dendam dan permusuhan.

Di sisi lain, Allah memerintahkan manusia untuk senantiasa berkata yang baik. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 70, “ Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ï·º : Jadikan antara kalian dan antara azab Allah penghalang dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, katakanlah oleh kalian perkataan yang benar dan adil dalam setiap urusan kalian dan muamalah kalian.”

Bahkan, jika hendak berbuat apa pun termasuk berbicara, Allah telah menyertakan pada manusia dua malaikat yakni Raqib dan Atid. Yakni dalam Firman-Nya, “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18)

Artinya, jika seseorang berkata baik ia akan mendapat pahala. Pun, sebaliknya jika ngomong kotor, ia akan mendapatkan dosa. Dan tentu saja larangan dan perintah tersebut berlaku baik dalam kondisi offline maupun online.

Jadi tidak ada alasan apa pun yang membolehkan seorang yang mengaku beriman untuk bicara kotor, sekalipun untuk pergaulan atau keakraban.

Hentikan!

Bicara kotor adalah bagian dari perilaku buruk. Maka cara menghentikannya sama dengan menghentikan kemaksiatan lainnya. Oleh karena itu, tidak cukup hanya dengan sebuah sanksi bagi pelaku. 

Namun membutuhkan sebuah kesadaran. Yakni dengan mengubah cara pandang kehidupan, baik pada individu, masyarakat juga negara. Dari sekularisme yang dianut umat saat ini, menjadi bersandar hanya pada akidah Islam. 

Sehingga yang tadinya aktivitas di tengah masyarakat, demi kepuasan ragawi, tanpa peduli halal haram, menjadi aktivitas ketaatan kepada Allah dan meraih ridha-Nya. 

Satu-satunya cara mewujudkan kesadaran ini adalah dengan melakukan dakwah. Menyeru manusia agar kembali kepada Islam. Dari sini muncullah kesadaran di tengah masyarakat untuk senantiasa berperilaku baik. 

Kemudian kesadaran ini akan mendorong negara mendukung dengan kebijakan- kebijakan baik berupa kurikulum pendidikan, konten media, maupun UU pemberian sanksi kepada pelaku bicara kotor sesuai standar Islam. 

Demikianlah, ketika semua proses di atas berjalan, maka terbentuklah ketakwaan individu, masyarakat, dan negara. Lalu ketiganya saling mendukung secara sadar untuk tidak melakukan dan menghentikan perilaku berkata kotor di tengah masyarakat.


Oleh: Dewi Masitho, M.Si.
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar