Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Beragama Sebatas Kebutuhan, Ingat Lagi!


Topswara.com -- Sukirno tampak sumringah dengan wajah berseri ditemani seorang wanita yang kini telah menjadi istrinya juga berseri wajahnya, keduanya baru saja melaksanakan pernikahan. 

Mukidi adalah seorang pekerja proyek berstatus buruh harian. Kerja kasar cukup sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dan menjadi kegiatan sehari-sehari Sukirno.

Mukidi, seorang pemuda sebaya Sukirno di tempat berbeda juga baru saja melaksanakan pernikahan. Perbedaan Mukidi dengan Sukirno adalah Mukidi seorang lulusan perguruan tinggi. 

Mukidi membutuhkan keterampilan-keterampilan untuk dapat dijadikan penghasilan yang berbeda dengan buruh dengan sistem kerja kasar. Namun sebagai teman yang telah saling kenal dalam rentang waktu lama, keduanya memiliki rencana masa depan sama, yaitu keduanya ingin memiliki anak dua.

Kedua tokoh yang diceritakan di atas adalah potret kehidupan dua anak manusia yang menjalani kehidupan sehari-hari. Keduanya hidup dengan penghasilan masing-masing. 

Tidak banyak perumusan cara atau persoalan dalam menjalani hidup, bahkan tidak diketahui kapan keduanya beribadah. Perbedaan status tidak menjadikan keduanya berbeda dalam menjalankan perintah agama. Hanya saja, dalam pelaksanaan pernikahan mereka dengan cara agama.

Meskipun Sukirno dan Mukidi jarang terlihat melaksanakan ritual layaknya orang beragama lainnya namun pada sesi pernikahan diselenggarakan secara agama, terdapat wali, saksi, dan persyaratan akad nikah lainnya. 

Seolah hendak memohon ridha Ilahi, keduanya berusaha membentuk keluarga dalam hubungan pernikahan. Namun sejatinya tidak ada di antara keduanya yang beragama secara ketat.

Sukirno dan Mukidi beragama sebatas kebutuhan keduanya. Bagi mereka, agama adalah status dan sikap tidak mengganggu orang lain. Orang dapat beragama sesuai dengan kebutuhan semisal menikah merupakan untuk memperbanyak dan menyambung keturunan. 

Bukan sebagai suatu prinsip, namun sebatas pemahaman terkait agama, jika ingin menikah maka harus sesuai dengan agama. Sebab keduanya melihat hidup dengan apa yang mereka sebut dengan jalani apa adanya.

Sikap pragmatis dalam arti melakukan sesuatu berdasarkan kepentingan sesaat tidak tepat dalam beragama. Beragama dengan cara pragmatis adalah adopsi sikap kalangan jahiliyah. 

Beragama berupa melakukan penyembahan hanya berdasarkan kebutuhan saja. Jika tidak butuh maka ia tinggalkan sembahannya dan akan mencari sembahan baru lainnya. Hal ini tentu bukan sikap yang benar.

Beragama dengan segenap jiwa dan raga, senantiasa meniti jalan yang diridai Tuhan serta mempelajari seluk-beluk atau segala unsur bahkan yang paling detail. 

Dikatakan seluk-beluk lantaran beragama sejatinya adalah fitrah manusia. Sejatinya kondisi tenang atau tidak kacau, mengharapkan kebaikan dan senantiasa menuju kebenaran adalah yang melekat pada manusia. 

Manusia dalam fitrahnya menjadikan manusia senantiasa menjadikannya manusia, yaitu makhluk Allah sebagai khalifah di muka bumi.

Maka menjalani hidup dalam mengharap dan senantiasa berusaha dan konsisten menunu ridaNya adalah keniscayaan. Hidup beragama berdasar kebutuhan bisa menjadikannya diperbudak keinginannya sendiri. 

Kondisi manusia yang bahkan tidak tahu persis batas kebutuhan misalnya dapat menjadikannya luput dari apa yang sejatinya dibutuhkan. 

Maka akan lahir kebingungan-kebingungan yang akan melahirkan kekacauan. Beragama berdasar apa yang dikehendaki yang menciptanya menjadi pilihan terbaik yang tidak terelakkan.


Oleh: Nazwar, S.Fil., M.Phil.
Penulis Lepas Yogyakarta
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar