Topswara.com -- Idonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 15 mantan terpidana kasus korupsi yang masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif di tingkat DPR, DPRD dan DPD. (VOA indonesia 26 Agustus 2023).
Peneliti ICW Kurnia Ramadhan mengatakan fakta diberikannya kesempatan mantan napi korupsi untuk menjadi bakal calon anggota legislatif menunjukkan partai politik sebagai pengusung bakal calon anggota legislatif masih memberikan karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. (kompas.com 25 Agustus 3023).
Dibolehkannya mantan napi korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 2024 berkat putusan Mahkamah Agung (MA)nomor 30 P/HUM/2018. Beberapa alasan diantaranya mengaitkan larangan itu dengan Hak Asasi Manusia(HAM). (CNN Indonesia 24 Agustus 2022)
Dasarnya adalah pasal 43 ayat (1) UU HAM yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. Juga pasal 73 UU HAM yang mengatur soal pembatasan dan larangan hak serta kebebasan setiap warga negara. (CNN Indonesia 24 Agustus 2023)
Fenomena dibolehkannya mantan napi korupsi menunjukkan suatu keanehan di negeri ini, satu sisi dinarasikan indah bahwa negara memberantas korupsi, namun disisi lain ternyata membolehkan mantan napi korupsi menjadi bakal caleg.
Apa tidak dikhawatirkan jika mantan napi korupsi menjadi wakil rakyat akan mengulangi tindak korupsinya. Hal ini mengesankan bahwa pemberantasan korupsi hanya basa basi semata, dibuktikan dengan mantan napi diberikan peluang berkuasa.
Demikianlah nyatanya dalam sistem demokrasi, karena inti demokrasi adalah hak membuat aturan ada pada manusia, bukan Allah SWT. Akibatnya para penguasa bisa membuat aturan sesuka hatinya untuk memuluskan syahwat politiknya.
Bahkan mereka bisa saling bekerja sama demi mengegolkan regulasi yang dikehendaki. Tidak dipungkiri juga bahwa biaya politik dalam sistem demokrasi sangat mahal, mulai dari biaya pendaftaran ada mahar politik, biaya kampanye, bikin baliho, bagi-bagi uang, sembako, kaos dan lain-lain.
Biasanya semua itu didapatkan oleh bakal calon dari para pendukungnya yang kebanyakan adalah para pemodal yang membiayainya. Selanjutnya setelah mereka menjadi anggota legislatif maka berlakulah politik balas jasa, disinilah para anggota legislatif akan bermain dengan para oligarki pemilik modal agar proyek proyek pembangunan diberikan kepada para pemodal.
Jika tidak demikian bisa juga para anggota harus mengembalikan biaya kampanye kepada para pemodal, peluang korupsi akan muncul untuk menutup biaya pencalonan. Inilah fakta yang terjadi dalam sistem demokrasi, sehingga pemberantasan korupsi hanyalah ilusi.
Politisi korup akan senantiasa banyak bermunculan dalam sistem demokrasi karena sistem ini berlandaskan sekularisme yang menghalalkan segala cara.
Oleh karenanya, jika negeri ini menginginkan pemerintahan yang bersih dari korupsi maka satu satunya jalan adalah merubah sistem demokrasi menjadi sistem Islam yaitu khilafah.
Khilafah memiliki mekanisme lengkap untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Korupsi merupakan sebuah keharaman berdasarkan haramnya ghulul. Pada aspek preventif hanya orang orang adil yang berhak menjadi penguasa, pejabat dan pegawai.
Orang fasik yang sudah terbukti suka bermaksiat mengambil harta rakyat, akan dilarang menjabat dalam pemerintahan. Jumlah harta pejabat senantiasa diawasi oleh khalifah. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, mereka harus membuktikan sumbernya.
Jika terbukti bersalah, pejabat tersebut akan diumumkan di publik, hartanya teemasuk harta ghulul akan disita, dan diberikan hukuman ta'zir, yang jenis hukumannya ditentukan oleh khalifah atau qadhi, berupa hukuman penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati.
Dengan mekanisme Islam yang demikian memastikan khilafah adalah sistem pemerintahan yang bersih dari korupsi, sistem inilah yang kita harapkan.
Wallahu a'lam bish shawab.
Oleh: Dewi Asiya
Pemerhati Masalah Sosial
0 Komentar