Topswara.com -- Pendaftaran sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) menjadi bahan pembicaraan. Pasalnya, kebijakan lama terkait kebolehan pendaftaran bagi mantan narapidana kembali mencuat dan tidak sedikit dari mantan napi yang lolos terdaftar sebagai bacaleg.
Sebagaimana dilansir dari databoks.katadata.co.id, (28/08/2023), menyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis sebanyak 52 mantan narapidana (napi) yang telah terdaftar menjadi bakal calon legislatif (bacaleg) DPR RI pada Pemilu 2024 mendatang.
Jumlah mantan napi yang terdaftar sebagai bacaleg tersebut pernah dipenjara karena terjerat berbagai jenis kasus pidana, termasuk perkara korupsi. Kebijakan tersebut berdasarkan pada putusan MK Nomor 87/PU-XX/2022 yang secara teknis diturunkan dalam PKPU Nomor 10 tahun 2023, khususnya pasal 11 dan 12.
Ringkasnya, dari putusan MK tersebut memberikan ruang pada mantan napi yang melakukan tindak pidana menjadi caleg DPR/DPRD dan DPD. Sehingga, dilihat dari perspektif hukum, mereka diperbolehkan maju mencalonkan diri sebagai bacaleg bagi mantan terpidana yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman kurang dari lima tahun penjara.
Sedangkan, bagi mantan terpidana yang melakukan tindak pidana dengan ancaman penjara lima tahun atau lebih diperbolehkan untuk menjadi bacaleg setelah melewati masa tunggu lima tahun sejak dinyatakan bebas.
Wajar dalam Demokrasi
Kebolehan mantan napi korupsi mendaftar sebagai bacaleg, di satu sisi menunjukkan seakan tidak ada lagi orang yang bisa amanah dalam mengemban tugas dan di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut. Di mana menjadi caleg dapat dipastikan membutuhkan modal dana yang sangat besar.
Kriteria pemimpin dalam sistem kapitalisme demokrasi hanya bertumpu pada popularitas dan kekayaan. Karakter amanah dan berkepribadian Islam tidak diperhatikan, bahkan cenderung diabaikan. Alhasil, orang yang baik dan amanah tanpa didukung dengan modal yang besar akan sulit untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin atau wakil rakyat.
Inilah potret sistem politik demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Namun, kondisi ini menjadi hal yang wajar terjadi di dalam negara yang memberlakukan sistem sekuler-demokrasi. Pasalnya, sistem sekuler sejatinya memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan ranah politik jauh dari nilai-nilai agama.
Sehingga, pandangan sekular tersebut menjadikan manusia memprioritaskan materi dan keuntungan semata melalui jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Manusia tidak lagi menjadikan sifat amanah dan keimanan kepada Allah subhanahu wata'ala sebagai tumpuan ketika menjabat sebagai anggota legislatif.
Selain itu, kebolehan mantan napi menjadi caleg ini memunculkan kekhawatiran akan terulangnya tindakan korup yang pernah dilakukan oleh mereka. Sebab, sistem hukum yang diterapkan di negeri ini tidak memberikan efek jera kepada pelaku korupsi.
Hukuman yang didapatkan hanya berupa penjara yang masih sangat memungkinkan untuk mendapatkan remisi ketika hari raya, tahun baru dan hari kemerdekaan. Tidak heran, muncul istilah "hukum bisa dibeli". Inilah gambaran sistem sanksi dalam sistem kapitalisme demokrasi.
Hal ini juga semakin menegaskan bahwa sistem kapitalisme demokrasi sangat ramah terhadap pelaku korupsi dan semakin memberikan banyak kesempatan pada pelaku korupsi agar tetap memiliki kedudukan yang tinggi di mata publik.
Islam Melahirkan Pemimpin Amanah
Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan aturan-aturan Allah subhanahu wata'ala sebagai satu-satunya sumber hukum dan kebijakan bagi negara Islam. Syariat Islam kaffah mencegah munculnya individu yang gemar maksiat.
Islam akan banyak mencetak individu-individu berkualitas melalui penerapan sistem pendidikan yang bertujuan membentuk generasi berkepribadian Islam. Sebab, merekalah yang akan melanjutkan kepemimpinan Islam dan membangun peradaban unggul dan gemilang. Islam telah menunjukkan sejumlah cara untuk mencegah hingga mengatasi masalah korupsi.
Mekanisme inilah yang akan diterapkan oleh negara Islam, mulai dari sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah, perhitungan kekayaan, pengawasan masyarakat, dan sanksi yang tegas.
Sebagaimana diketahui bahwa sistem sanksi dalam Islam sangat tegas dan menjerakan. Sehingga, membuat para pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat. Apalagi, sistem sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa).
Terkait kriteria pemimpin, banyak kitab siyasah atau politik termasuk di dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah karya Imam Al Mawardi yang amat terkenal telah menjelaskan kriteria yang wajib ada pada diri seorang pemimpin.
Kriteria umum pemimpin atau kepala negara dalam Islam antara lain: muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka (bukan budak/berada dalam kekuasaan pihak lain), adil (bukan orang yang fasik/ahli maksiat), dan yang terakhir adalah memiliki kemampuan (memiliki kapasitas untuk memimpin).
Salah satu syarat kepala negara yang ditetapkan Islam adalah muslim. Maknanya, mereka adalah orang yang beriman dan bertakwa, sehingga mereka akan berlaku amanah dalam menjalankan peran sebagai penyambung lidah masyarakat.
Ketujuh kriteria di atas disebut dengan syarat-syarat in'iqad (pengangkatan). Ketujuh syarat ini tentu didasarkan pada dalil yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunah. Oleh karena itu, untuk kriteria calon pemimpin (kepala negara) haruslah orang yang adil. Artinya, ia bukanlah orang yang fasik atau ahli maksiat atau orang yang zalim.
Kepala negara yang terpilih melalui mekanisme yang ditetapkan oleh negara nantinya akan diberi wewenang untuk menunjuk kepala daerah, baik wali maupun amil. Kepala negara yang terpilih dengan syarat ketat tadi tentunya hanya akan memilih figur yang beriman, bertakwa, amanah, dan kapabel.
Adapun wakil rakyat dalam negara Islam direpresentasikan oleh Majelis Umat. Namun demikian, Majelis Umat bukanlah lembaga legislatif sebagaimana dalam sistem politik demokrasi. Maka, mereka merupakan wakil rakyat dalam konteks syura (memberi masukan) kepada pemerintahan atau melakukan muhasabah dan syakwa (pengaduan).
Karena itu, anggota majelis umat terdiri dari pria dan wanita, baik muslim ataupun non-muslim. Artinya, siapa saja yang mengemban kewarganegaraan negara Islam berhak dipilih menjadi anggota majelis umat.
Dasar pertama pemilihan anggota majelis umat adalah harus mewakili masyarakat secara representatif dan yang kedua adalah mewakili kelompok secara representatif. Sungguh, pemimpin ideal dan dambaan umat hanya akan lahir dalam sistem yang baik yaitu sebuah sistem dalam institusi negara yang menerapkan syariat Islam secara komprehensif.
Wallahu a'lam bisshawab.
Oleh: Endang Widayati, SE.
Aktivis Muslimah
0 Komentar