Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tega pada Anak Itu Penting


Topswara.com -- Saya akan ajak ayah bunda bicara soal salah satu tips mendidik anak. Saya percaya, ayah bunda pasti menginginkan putra-putrinya tumbuh shalih dan shalihah. Taat kepada Allah dan orang tua, serta sabar menjalankan perintah agama.

Namun, seringkali kita lupa bahwa jalan menuju ke sana membutuhkan banyak kesiapan mental. Bukan saja bagi buah hati kita, tetapi juga bagi kedua orang tuanya. Salah satunya adalah mempersiapkan mental agar menjadi “raja” dan “ratu” tega di hadapan anak-anak kita.

Ada pandangan yang harus diluruskan tentang pemberian kasih sayang kepada keluarga. Sering tergambar kasih sayang itu berarti tidak menghukum, tidak menyuruh melakukan pekerjaan yang berat, atau menyusahkan mereka.

Karena gambaran umum seperti itu, banyak orang tua yang tidak tega mendisiplinkan anak dalam ajaran agama. Misalnya, tidak sedikit orang tua yang sengaja membiarkan anaknya tidur meski waktu salat subuh sudah tiba. Alasannya karena kasihan melihat anak sedang tidur pulas. 

Ada juga yang tidak tega menyuruh anaknya puasa sehari penuh saat Ramadhan atau untuk mengqada puasa. Begitu pula tidak tegas menyuruh anak memakai jilbab dan kerudung meski sang anak sudah masuk usia gadis/balig.

Benar, Islam adalah agama rahmat, penuh kasih sayang. Allah pun Zat Pengasih lagi Penyayang. Namun jangan lupa, Allah pun menghendaki semua hamba-Nya taat pada-Nya dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Saat kita mematuhi syariat-Nya, maka Allah akan melimpahkan rahmat-Nya.

“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS Al Ahzab: 71).

Melalaikan perintah dan melanggar larangan Allah adalah tanda kita menolak rahmat Allah. Bukankah kedatangan risalah Islam dan Rasulullah SAW. adalah sebagai rahmatan lil ‘alamin? Termasuk saat melatih anak-anak kita taat pada syariat, sebenarnya kita sedang mengajarkan mereka untuk meraih kasih sayang Allah Taala.

Memang, banyak orang tua, terutama bunda yang tidak tega menyuruh anak-anak untuk mengerjakan berbagai perintah agama, semisal, shalat tepat waktu, berjamaah ke masjid, mengenakan jilbab, menjalankan puasa Ramadhan, dan sebagainya.

Orang tua juga kadang tidak tega menegur atau menghukum saat anak-anak melakukan kesalahan, semisal melalaikan salat, membatalkan puasa, berpacaran, tidak menutup aurat, dan lainnya.

Ayah dan bunda harus menyadari bahwa perasaan tidak tega di sini bukan kasih sayang, tetapi memanjakan anak dalam kesalahan. Ini bukan lagi persoalan kecil, tetapi amat serius. Saat ayah bunda membiarkan hal itu berulang-ulang, maka bisa menjadi bagian dari karakter anak yang sulit diubah saat ia dewasa.

Ibarat pohon, saat masih kecil mudah untuk membentuk batang dan rantingnya. Kita bisa memasang tali, kayu penyangga, dan kawat untuk membentuk batang pohon. Namun, jika pohon itu sudah besar, maka kita sudah tidak mampu lagi membentuknya karena sudah permanen.

Untuk membuat anak kita memiliki karakter positif (baca: islami), terkadang dibutuhkan ketegasan dan sedikit mengorbankan perasaan. Namun bila konsisten dengan pola pendidikan seperti ini, maka tidak akan sulit bagi anak untuk menjalankan berbagai hukum Allah yang lain.

Kami di rumah juga mengalami kondisi yang sama dalam mendidik anak. Lazimnya anak-anak, senangnya tidur saat azan subuh berkumandang, tetapi kami paksa mereka bangun. Selain itu, kami paksa juga mereka untuk selalu mengerjakan shalat berjamaah di masjid.

Sedangkan, putri kami yang sekarang berusia 9 tahun (2015, ed.), terus-menerus kami ingatkan untuk mengenakan kerudung dan jilbab saat bermain keluar rumah, sekalipun hanya di teras. Meski terkadang ia lupa, tetapi kami berusaha mengingatkan amal kebaikan ini.

Bila kami mengikuti perasaan, memang sih tidak tega membangunkan anak di pagi buta, menyuruh memakai jilbab dan kerudung di luar rumah, apalagi saat musim panas. Namun, kami berpegang pada prinsip, inilah masa membentuk karakter anak sebelum mereka tumbuh dewasa.

Rasulullah SAW. pun tidak selamanya bermain dan menyenangkan anak. Adakalanya beliau menghukum anak yang berbuat salah. Adz Dzahabi dalam Tarikhul Islam ketika menyebutkan biografi Al Hakam bin Al Walid al-Wuhadzi al-Himshi salah seorang Shighor at-Tabi’in, menyebutkan riwayat kisah ini.

عن أبي بُسْرٍ قَالَ: بَعَثَتْنِي أُمِّي بِقِطْفِ عِنَبٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلْتُهُ، فَكَانَ بعد إذا رآني قال: غدر، غدر

Dari Abu Busr berkata, “Aku diutus ibuku untuk memberikan setangkai anggur kepada Nabi SAW., tetapi aku memakannya. Maka, jika Nabi melihatku, beliau berkata, ‘Pelanggar amanah, pelanggar amanah.'”

Jadi, belajar tega pada anak itu penting! Bahkan harus! Jangan biarkan perasaan ayah dan bunda mengalahkan perintah menjalankan agama. Ingat, rasa tidak tega pada hal itu adalah bagian dari perangkap setan agar ayah dan bunda membiarkan anak berada terus dalam kesalahan.

Ingatlah ketika Nabi Ibrahim as. menjalankan perintah Allah, membawa putranya, Ismail as. untuk disembelih. Saat itu, iblis mendatangi Ibrahim, juga Hajar (ibunda Ismail) untuk merayu keduanya agar tidak usah menaati perintah Allah. Namun, keduanya bergeming. Tidak mempedulikan rayuan iblis, bahkan melemparinya dengan batu-batu.

Ayah dan bunda, teruslah menanamkan nilai kedisiplinan kepada anak. Kita juga belajar menjadi orang tua yang tega kepada anak, yakni tega menyuruh mereka taat kepada Allah. Insyaallah, semua akan berbuah pahala dan kebaikan.


Oleh: Ustaz Iwan Januar
Direktur Siyasah Institute
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar