Topswara.com -- Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) diwarnai keluhan dan kritik. Pasalnya sejumlah kecurangan ditemukan agar calon siswa diterima dalam sistem zonasi. Ternyata, masalah PPDB ini tidak hanya terjadi di satu wilayah Indonesia tapi terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Seperti yang terjadi di Bogor. Wali Kota Bogor, Bima Arya mengungkapkan bahwa ia melakukan sidak dan menemukan banyak Kartu Keluarga (KK) palsu yang digunakan untuk memenuhi syarat zonasi Ternyata setelah diselidiki di alamat tempat tinggal KK palsu tersebut warga sekitar tidak ada yang mengenal keluarga dan nama calon siswa tersebut. (tekno.tempo.co, 7 Juli 2023).
Begitu juga di Kota Bekasi, Pelaksana Tugas Wali Kota Bekasi Tri Adhianto menduga adanya banyak pelanggaran yang terjadi dalam proses PPDB di sekolah unggulan, dan pelanggaran tersebut ditemukan di jalur zonasi.
Sebagaimana yang dilansir metro.tempo.co, 11 Juli 2023, di SMA Negeri 1 Kota Bekasi ditemukan satu nama siswa yang mendaftar berkali-kali dengan alamat yang berbeda-beda. Di Bekasi, ada seorang Bapak yang protes, menurutnya ada seorang siswa yang alamat rumahnya lebih jauh dari rumah Bapak tersebut, tapi siswa tersebut diterima di sekolah Negeri di Bekasi tersebut sedangkan anak Bapak tersebut tidak diterima.
Kecurangan PPDB juga terjadi di Karawang Timur. Sebagaimana yang diberitakan tekno.tempo.co, 13 Juli 2023, ada praktik jual beli kursi sekolah. Dan masih banyak lagi masalah-masalah yang timbul dan terjadi berulang tiap tahunnya.
Realitas kecurangan dalam sistem PPDB khususnya sistem zonasi belum bisa mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan di negeri ini. Orang tua calon siswa malah saling berebut kursi di sekolah negeri (sekolah yang dibangun pemerintah) juga karena terkendala soal biaya, karena bila sekolah di swasta lebih mahal biayanya. Maka alasan sistem zonasi demi mendorong peningkatan akses layanan pendidikan nyatanya tidak terwujud.
Sengkarut sistem PPDB tidak lepas dari tata kelola pendidikan yang bermasalah juga. Karena sistem pendidikan di negeri ini menggunakan sistem pendidikan sekularisme kapitalisme. Inilah akar permasalahan sebenarnya.
Sistem pendidikan sekularisme kapitalisme menempatkan negara sebagai regulator, bukan sebagai pengurus urusan rakyat. Sistem ini meniscayakan liberalisasi (kebebasan) dalam segala aspek kehidupan termasuk pendidikan, sehingga pendidikan menjadi legal untuk dikomersialkan saat ini.
Bahkan, pihak swasta diberi kesempatan seluas-luasnya terlibat secara aktif dalam bidang pendidikan. Pemerintah pun berpandangan bahwa kurangnya daya tampung pendidikan yang disediakan mengharuskan negara bermitra dengan swasta.
Padahal dalam sistem kapitalisme, pihak swasta menjadikan pendidikan sebagai alat mengeruk keuntungan semata. Sementara pada saat yang sama negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya yaitu menyediakan fasilitas untuk warga negaranya.
Berbeda dengan aturan Islam. Dalam sistem pendidikan di bawah naungan khilafah Islam, khalifah (kepala negara) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan dan hadir sebagai pelaksana dalam pelayanan pendidikan untuk seluruh warganya.
Ini terjadi karena Islam telah menempatkan negara sebagai penanggungjawab atau pengurus seluruh urusan umat, sebagaimana yang disebutkan dalam HR al-Bukhari, "Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya."
Dengan peran utamanya ini negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana dan prasarana, baik gedung sekolah beserta kelengkapannya, baik guru kompeten, kurikulum sahih (yang benar menurut Islam) maupun konsep tata kelola sekolahnya.
Sebagai penanggung jawab, negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada pihak swasta, meski demikian sekolah swasta tetap diberikan kesempatan untuk hadir, memberikan kontribusi dalam bidang pendidikan, namun keberadaannya tidak mengambil alih tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya.
Adapun persoalan anggaran pendidikan, maka negara khilafah mengatur anggaran secara terpusat. Seluruh pembiayaan pendidikan berasal dari baitul maal yaitu berasal dari pos fa'i, kharaj dan pos kepemilikan umum.
Dengan mekanisme ini negara mampu memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan rakyatnya. Hasilnya pendidikan Islam menjamin pemerataan di seluruh wilayah negara, baik perkotaan maupun pedesaan.
Dalam kondisi sekolah yang dikelola secara baik oleh negara, baik secara kualitas maupun kuantitas maka keberlangsungan pendidikan berjalan khidmat tanpa kisruh, capaian pendidikan benar-benar optimal untuk membangun peradaban yang gemilang.
Dalam pemenuhan untuk kebutuhan pendidikan rakyat khilafah berpegang pada tiga prinsip yakni kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan dan profesionalitas orang yang mengurusi bidang pendidikan ini.
Dengan prinsip ini kerumitan mendaftar sekolah sangat bisa diminimalisasi. Sistem pendidikan seperti inilah yang mampu menyediakan pendidikan berkualitas dan dapat diakses oleh seluruh warga negara tanpa diskriminasi.[]
Oleh: Nurjanah Rachmawati
Aktivis Dakwah di Depok
0 Komentar