Topswara.com -- Allah SWT berfirman (yang artinya): Andai Al-Qur'an ini Kami turunkan di atas gunung, kamu (Muhammad) pasti menyaksikan gunung itu tunduk dan pecah berkeping-keping karena takut kepada Allah. Perumpamaan itu kami buat untuk manusia agar mereka mau berpikir (TQS al-Hasyr [59]: 21).
Saat menafsirkan ayat ini, Imam ath-Thabari menyatakan: Allah Yang Mahaagung berfirman, “Andai Kami menurunkan al-Quran kepada sebuah gunung, sementara gunung itu berupa sekumpulan bebatuan, pasti engkau akan melihat, wahai Muhammad, gunung itu sangat takut.” Gunung itu tunduk dan terpecah-belah karena begitu takutnya kepada Allah meskipun gunung itu (bebatuan) amat keras. Tidak lain karena gunung tersebut sangat khawatir tidak sanggup menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan atas dirinya, yakni mengagungkan al-Quran (Ath-Thabari, Jaami’ al-Bayaan fii Ta’wiil al-Qur’aan, 23/300).
Adapun Imam al-Baidhawi menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: “Andai Kami (Allah SWT) menciptakan akal dan perasaan pada gunung, sebagaimana yang telah Kami ciptakan pada diri manusia, kemudian Kami menurunkan Al-Qur'an di atasnya, dengan konsekuensi pahala dan siksa, sungguh gunung itu akan tunduk, patuh dan hancur berkeping-keping karena takut kepada Allah SWT.” Ayat ini merupakan gambaran betapa besarnya kehebatan dan pengaruh al-Quran (Al-Baidhawi, Anwaar at-Tanziil wa Asraar at-Ta’wiil, 3/479).
Karena itulah, menurut Abu Hayan al-Andalusi, ayat ini merupakan celaan kepada manusia yang keras hati dan perasaannya tidak terpengaruh sedikit pun oleh Al-Qur'an. Padahal jika gunung yang tegak dan kokoh saja pasti tunduk dan patuh pada Al-Qur'an, sejatinya manusia lebih layak untuk tunduk dan patuh pada al-Quran (Abu Hayan al-Andalusi, Bahr al-Muhiîth, 8/251).
Sayang, apa yang dinyatakan oleh Abu Hayan al-Andalusi ini justru banyak terjadi saat ini. Banyak manusia tidak tunduk dan patuh pada Al-Qur'an. Banyak manusia yang bahkan tidak bergetar saat Al-Qur'an dibacakan. Boleh jadi hal itu karena banyak hati manusia yang sudah mengeras. Bahkan lebih keras dari batu.
Tidak sedikit pun terpengaruh oleh bacaan Al-Qur'an. Apalagi tergerak untuk mengamalkan isinya dan menerapkan hukum-hukumnya, yakni syariah Islam.
Bahkan saat ini ada yang mengaitkan upaya penegakan syariah Islam dengan radikalisme atau menuding syariah Islam tidak lagi cocok dengan zaman modern. Padahal setiap tahun nuzulul Qur'an diperingati. Bahkan setiap hari mungkin Al-Qur'an sering dibaca atau diperdengarkan.
Jika demikian keadaannya, Allah SWT sungguh telah mengingatkan kita (yang artinya): Tidakkah mereka memperhatikan al-Quran? Ataukah hati mereka telah terkunci? (QS Muhammad [47]: 24).
Maknanya, sebagaimana kata Imam as-Samarqandi: “Apakah mereka tidak mendengarkan Al-Qur'an; tidak mengambil pelajaran dari Al-Qur'an; dan tidak memikirkan apa yang telah Allah SWT turunkan dalam Al-Qur'an berupa janji dan ancamannya serta banyaknya keajaiban di dalamnya sehingga dengan itu mereka paham bahwa Al-Qur'an benar-benar dari sisi Allah? Ataukah kalbu-kalbu mereka telah tertutup?” (As-Samarqandi, Bahr al-’Uluum, 4/156).
Berkaitan dengan itu, Anas bin Malik ra. tegas berkata, “Boleh jadi pembaca Al-Qur'an justru dilaknat oleh Al-Qur'an.” (Al-Ghazali, Ihyaa’ ‘Uluum ad-Diin, 1/274).
Ini adalah peringatan keras kepada seorang Muslim yang suka membaca Al-Qur'an, tetapi tidak mengamalkan isinya. Ia membaca ayat Al-Qur'an yang melarang riba, misalnya, tetapi ia malah biasa melakukan muamalah (transaksi) ribawi. Ia membaca ayat Al-Qur'an yang melarang segala bentuk kezaliman, tetapi ia malah sering berbuat zalim.
Sebaliknya, ia membaca ayat Al-Qur'an yang memerintahkan untuk mengamalkan dan menerapkan semua syariah-Nya secara kaffah, tetapi ia malah mengambil “syariah” lain yang notabene buatan manusia sebagaimana terjadi dalam sistem sekularisme hari ini.
Pada saat demikian, di akhirat nanti Al-Qur'an tidak akan membela pembacanya, tetapi malah akan mendakwa pembacanya. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah SAW., “Al-Qur'an bisa menjadi pembela bagimu atau pendakwa atas dirimu.” (HR Muslim).
Menurut Imam an-Nawawi dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Muslim, hadis di atas bermakna: Al-Qur'an hanya akan bermanfaat saat dibaca dan diamalkan isinya. Jika tidak, Al-Qur'an hanya akan mendakwa bukan membela pembacanya.
Karena itu penting bagi kita untuk selalu berusaha agar Al-Qur'an kelak memberikan syafaat (pertolongan) kepada kita. Bukan malah mencelakai diri kita. Masalahnya, syafaat Al-Qur'an tidak diberikan kepada semua orang. Syafaat Al-Qur'an hanya diberikan kepada para sahabat Al-Qur'an.
Rasulullah SAW. bersabda, “Bacalah oleh kamu Al-Qur'an karena sungguh (Al-Qur'an) itu datang pada Hari Kiamat nanti menjadi syafaat bagi para sahabatnya.” (HR Muslim).
Siapa Sahabat Al-Qur'an? Tentu bukan orang yang sekadar membaca Al-Qur'an sekali-kali. Bukan pula orang yang sering membaca Al-Qur'an, tetapi tidak mengamalkan isinya. Bukan pula orang yang sering membaca Al-Qur'an dan mengamalkan isinya, tetapi tidak konsisten (istiqamah) di dalamnya.
Singkatnya, sahabat Al-Qur'an adalah orang yang sangat dekat dan selalu akrab dengan Al-Qur'an. Yang selalu menyatu dengan Al-Qur'an. Dengan itu antara dirinya dan Al-Qur'an tidak bisa dipisahkan. Bahkan kesehariannya, jatidirinya mencerminkan jatidiri Al-Qur'an.
Salah satu teladan terbaik dari sahabat Al-Qur'an adalah Imam Ahmad bin al-Hanbal rahimahulLaah. Putra beliau, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, memberikan kesaksian atas luar biasanya interaksi sang ayah dengan Al-Qur'an.
Kata Abdullah, “Ayahku membaca Al-Qur'an setiap harinya sepertujuh hingga ia mengkhatamkan Al-Qur'an setiap tujuh malam. Demikian juga pada siang harinya (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliyaa’ , 9/181). Artinya, beliau mengkhatamkan Al-Qur'an sepekan dua kali (Ibnu Abi Ya’la, Tabaqaat al-Hanaabilah, 1/9).
Imam Ahmad pun terkenal ketakwaannya, kezuhudannya, kewaraannya dan ibadahnya. Termasuk kedekatannya dengan Al-Qur'an, kepribadiannya yang selalu dihiasai dengan Al-Qur'an, juga keberaniannya dalam membela Al-Qur'an. Karena itu beliau layak disebut sebagai sahabat Al-Qur'an.
Semoga kita pun bisa menjadi sahabat Al-Qur'an. Dengan itu kelak di akhirat kita layak mendapatkan syafaat Al-Qur'an. Aamiin.
Wa maa tawfiiqi illaa bilLaah.
Oleh: Ustaz Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor
Sumber: Al Waie
0 Komentar