Topswara.com -- Dilansir dari Kemendikbudristek. Mempertimbangkan pengesahan payung hukum bagi seluruh satuan pendidikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, secara resmi meluncurkan Merdeka Belajar ke 25 pada Selasa, (08/08/2023): Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Peraturan ini dibuat dengan tujuan yang jelas untuk mengatasi dan mencegah kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi. Selain itu, peraturan ini bertujuan untuk membantu lembaga pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan, termasuk bentuk daring dan psikologis, sambil memberikan prioritas pada perspektif korban.
Mendikbudristek menekankan bahwa Permendikbudristek PPKSP bertujuan melindungi siswa, pendidik, dan staf pendidikan dari kekerasan selama kegiatan pendidikan, baik di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
Namun demikian, publik masih sanksi atas keefektifan beleid tersebut. Selain sanksinya yang dianggap tidak menjerakan, juga masih banyak kebijakan yang kontraproduktif terhadap upaya penyelesaian masalah ini.
Sebagai contoh, hukum kebiri kimia bagi predator seksual. Hukuman ini dinilai tidak menjerakan sebab suntik kebiri hanya menghentikan hormon/libido sehingga tidak akan efektif jika motif sang predator adalah psikologi.
Begitu pun hukuman penjara, terbukti tidak efektif sebab sedari dulu hukuman ini ada, tetapi kejahatan seksual malah makin meningkat. Apalagi sanksi administrasi, tentu tidak akan membuat pelaku jera.
Hukuman mati yang jelas menjerakan, justru sulit dieksekusi karena dianggap bertentangan dengan HAM. Lihatlah hingga kini, masih banyak pihak yang tidak setuju dengan hukuman mati.
Jika pun hukuman mati benar-benar diterapkan, semua itu tidak akan mampu menyelesaikan persoalan dengan tuntas sebab penerapannya tidak disertai dengan penyelesaian akar masalah.
Selain hukumannya yang dianggap tidak menjerakan, juga banyak kebijakan yang kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan kekerasan seksual. Misalnya, kurikulum pendidikan yang kian sekular (memisahkan agama dengan kehidupan) menjadikan para pelajar dan pengajarnya jauh dari agama.
Jika sudah tidak menjadikan agama sebagai landasan, mereka akan bertindak sesuai dengan hawa nafsu. Mereka hanya menginginkan kepuasan jasmani, yang penting senang, tidak peduli yang ia lakukan mudarat atau tidak.
Inilah liberalisme, paham kebebasan bertingkah laku yang terus diinjeksikan ke negeri-negeri muslim. Walhasil, sekalipun sekolah berbasis Islam, akan sulit terhindar dari budaya kufur ini sebab upaya liberalisasi begitu masif dari segala arah, baik pendidikan, keluarga, media, dan lainnya.
Permasalahan ini dikarenakan anak didik tidak bersentuhan dengan kiainya saja, mereka pun pasti terkena imbas dari budaya ini. Apalagi gawai sudah bukan barang baru bagi anak sekolah.
Inilah potret buram pendidikan hari ini, yang berbasis agama pun tidak bisa lepas dari jerat sistem sekuler liberal. Lihatlah, seragam muslimah dipersoalkan, tetapi moderasi beragama malah diaruskan.
Kegiatan keislaman di sekolah dan kampus dibatasi, bahkan banyak juga pengajian milenial yang dipersekusi. Namun, pada saat yang sama, kegiatan mubazir semisal konser musik, fesyen, dan lainnya, malah diapresiasi. Lingkup pendidikan bahkan ikut-ikutan mengidap islamofobia.
Lihatlah, buku ajar yang memuat ajaran khilafah malah dirombak. Padahal, khilafah adalah ajaran Islam yang mampu menyelesaikan seluruh persoalan bangsa.
Walhasil, para pemuda pun makin jauh dari Islam. Mereka merasa bebas berekspresi termasuk ekspresi seksualnya. Mereka merasa bebas memilih menyukai sesama jenis, bebas melampiaskan libido kepada siapa pun dan apa pun. Tidak peduli mudarat yang didapat bagi orang sekitar. Mereka tidak takut dosa dan api neraka.
Media di bawah asuhan kapitalis membuat kebebasan para peserta didik makin liar. Industri pornografi menjadikan anak-anak sekolah kecanduan. Game yang penuh visual vulgar juga akhirnya menemani anak-anak remaja. Selain pendidikan dan media, keluarga pun menjadi faktor yang mendukung perilaku bejat terhadap anak-anak.
Dengan demikian, terdapat banyak faktor yang berperan atas maraknya kekerasan di satuan pendidikan. Permendikbud PPKS tidak akan mampu memberantas tuntas sebab pemberantasannya membutuhkan langkah komprehensif yang menyasar akar masalah.
Jika ingin persoalan ini selesai, benahi dahulu sistem pendidikannya agar tidak sekular. Media juga tidak boleh di bawah kendali korporasi. Pemerintah harus bisa mengendalikan media agar yang tersodorkan pada seluruh warga adalah kebaikan. Begitu pun keluarga, rumah harus menjadi tempat teraman dan ternyaman.
Hanya saja, semua itu tidak mungkin bisa terlaksana dalam sistem hari ini. Dalam sistem demokrasi, justru negaralah yang berada di garda terdepan dalam menjamin kebebasan bertingkah laku. Oleh sebab itu, solusi agar persoalan kekerasan dilingkungan pendidikan selesai tuntas adalah dengan penerapan Islam.
Pertama, seluruh perbuatan hamba terikat dengan syariat sehingga seseorang yang beriman akan senantiasa menjaga perbuatannya dari kemaksiatan.
Kedua, suasana iman yang tinggi di tengah umat bukan terjadi dengan sendirinya. Negaralah yang bertanggung jawab memelihara ketakwaan warganya. Negara juga akan mengontrol penuh media sehingga segala yang sampai pada umat hanyalah kebaikan.
Ketiga, sistem pendidikan berbasis akidah. Anak-anak sedari kecil akan memahami agamanya sebagai solusi seluruh permasalahannya. Tidak ada dikotomi antara pendidikan berbasis agama dengan yang tidak. Dalam Islam, seluruh jenjang pendidikan adalah berdasarkan akidah Islam.
Keempat, keluarga dalam Islam adalah benteng pertama dalam penjagaan ketakwaan individu.
Hanya dengan penerapan aturan Islam saja yang mampu menghilangkan liberalisme. Islam pun menghadirkan kehidupan umat manusia yang bermartabat, yaitu kehidupan yang senantiasa terikat dengan aturan Allah SWT. secara menyeluruh.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
0 Komentar