Topswara.com -- Keributan dalam dunia pendidikan kembali terjadi, kali ini berfokus pada regulasi kontroversial yang diinisiasi oleh Mendikbudristek. Sebagai warga negara yang peduli terhadap masa depan bangsa, kita perlu memahami dengan seksama ada apa dibalik lahirnya Permendikbudristek PPKSP yang telah memicu perdebatan di masyarakat.
Dilansir dari kemdikbud.go.id belum lama ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, secara resmi meluncurkan Merdeka Belajar ke 25 : Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) sebagai payung hukum bagi seluruh satuan pendidikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan.
Menurut Nadiem, Permendikbud Ristek PPKS diterbitkan dengan beberapa tujuan utama. Pertama, untuk menyediakan lingkungan pendidikan yang aman. Kedua, memberikan kejelasan hukum kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengambil tindakan tegas.
Ketiga, untuk memberikan edukasi mengenai isu-isu kekerasan seksual. Dan yang keempat, untuk menjadi wadah kolaborasi antara Kementerian, institusi pendidikan tinggi, dengan tujuan menciptakan budaya akademik yang sehat sesuai dengan nilai-nilai moral yang luhur (Suara.com, 12/11/2021).
Menurut Nadiem, ia telah menerima data yang telah diverifikasi oleh KPAI mengenai temuan tindak kekerasan di lingkungan pendidikan di Indonesia. "Di tahun 2022 saja pengaduan yang masuk ke KPAI pada perlindungan khusus anak itu sebanyak 2.133 kasus," kata Nadiem. Data tersebut hanya beberapa pengaduan yang tercatat dari kejadian yang sebenarnya terjadi. (Kompas.com, 8/8/23).
Nadiem juga mengungkapkan bahwa dari 36 persen yang berisiko mengalami perundungan, sekitar seperempatnya benar-benar mengalami kekerasan. Hasil survei yang dilakukan sebelumnya juga menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang enggan membahas topik PPKSP atau melaksanakan program sosialisasi memiliki risiko tinggi terhadap kejadian kekerasan di sekolah.
Namun, sekolah-sekolah yang aktif membahas PPKSP, memberikan edukasi, melakukan sosialisasi, dan menerapkan program pencegahan kekerasan memiliki tingkat kejadian yang lebih rendah.
Maka Permendikbud PPKSP ini dibentuk sebagai upaya menanggulangi dan mencegah insiden-insiden kekerasan seksual, intimidasi, diskriminasi, dan sikap tidak toleran.
Selain itu, peraturan ini dimaksudkan untuk mendukung institusi pendidikan dalam menangani situasi kekerasan, termasuk yang terjadi secara online dan berbasis psikologi, sambil mengutamakan pandangan dan kepentingan pihak yang menjadi korban.
Namun sejatinya Permendikbudristek PPKSP ini tak akan menyelesaikan persoalan jika berkaca pada Permendikbud nomor 30 tahun 2021, karena peraturan ini tidak menyentuh akar persoalan.
Permendikbud PPKSP didasarkan pada sudut pandang sekular liberal yang menitikberatkan pada gagasan yang mengesampingkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Dalam sudut pandang ini, kebebasan berekspresi menjadi hal yang sangat penting, yang berarti individu memiliki kebebasan bertindak tanpa campur tangan, bahkan oleh negara.
Konsep ini telah menghasilkan fenomena seperti pergaulan bebas, LGBT, dan aborsi, yang bertentangan dengan nilai-nilai timur dan norma agama. Namun, dalam konteks mencegah kejahatan seksual, pentingnya peran agama tidak dapat diabaikan.
Peraturan ini dikhawatirkan akan makin memperburuk moral dan akhlak generasi muda, yang seharusnya menjadi tujuan utama pendidikan kita. Harapannya adalah agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud Ristek) berperan sebagai penjaga agar perilaku generasi muda tetap sesuai dengan nilai-nilai moral yang tinggi.
Meskipun ada banyak aturan yang mungkin telah diterapkan dalam sistem pendidikan saat ini, tetapi terlihat ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai moral dan karakter dalam generasi muda semakin mengalami penurunan.
Hal ini juga merupakan dampak dari sistem sekularisme yang diterapkan hari ini. Sistem sekularisme sering kali fokus pada aspek pendidikan yang bersifat sekuler, yaitu sebatas pengetahuan materi, sementara nilai-nilai agama dan moral terabaikan.
Hal ini dapat mengakibatkan generasi yang kurang memiliki pemahaman tentang etika, moral, dan nilai-nilai keagamaan. Adanya fenomena seperti ini merupakan bukti bahwa pendidikan sekular gagal mencetak generasi faqih fiddin (ahli dalam agama) karena hanya berfokus pada pencapaian materi dan kemajuan teknologi dapat memaksa generasi muda untuk mengabaikan aspek-aspek spiritual dan nilai-nilai agama yang esensial.
Dengan fakta-fakta yang telah disebutkan, apakah kita masih ingin mempertahankan aturan sekular liberal yang tampaknya merusak nilai-nilai yang ada?
Berbeda halnya ketika pendidikan berbasis Islam diterapkan, pendekatan ini akan menciptakan generasi yang lebih mendalam dalam pemahaman agama dan memiliki akidah yang kuat.
Pendidikan dalam Islam biasanya mengajarkan tidak hanya materi saja tetapi juga etika, moral, dan nilai-nilai agama yang kuat. Ini dapat menciptakan generasi yang memiliki landasan kuat dalam agama dan berkomitmen untuk hidup sesuai dengan ajaran agama mereka.
Islam menyediakan solusi tuntas terhadap masalah kekerasan di lingkungan sekolah, termasuk kejahatan seksual. Islam mengatur dengan jelas interaksi antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, Islam menekankan perlunya individu memperkuat akidah mereka sehingga mereka selalu tunduk pada hukum syarak. Masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama akan senantiasa melakukan amar makruf nahi munkar.
Selain itu, negara juga memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan yang berdasarkan akidah Islam dan menerapkan aturan serta sanksi ketika terjadi pelanggaran.
Pentingnya diingat bahwa semua solusi ini hanya akan berfungsi jika Islam diterapkan secara kaffah, yaitu secara komprehensif, dalam sistem dan tatanan masyarakat, bukan dalam kerangka sistem sekularisme liberal yang ada saat ini.
Wallahu’alam bishawab.
Oleh: Anggi Fatikha
Aktivis Muslimah
0 Komentar