Topswara.com -- Pernikahan beda agama menjadi sorotan beberapa waktu terakhir ini setelah banyaknya pasangan suami istri beda agama terang-terangan menyatakan status mereka. Salah satu yang menarik perhatian masyarakat adalah pernikahan Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Ayu Kartika Dewi, dengan seorang lelaki Katolik bernama Gerald Sebastian pada Maret 2022 lalu.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada akhir Juni 2023 lalu mengizinkan pencatatan pernikahan beda agama antara seorang lelaki Kristen dengan wanita muslim.
Makin maraknya pernikahan beda agama mendorong terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang berisi larangan Pengadilan mengizinkan pernikahan beda agama. Surat edaran tersebut menghimbau para hakim untuk mengikuti ketentuan yang telah berlaku, yaitu perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama.
Walaupun himbauan Mahkmah Agung didukung oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), surat edaran tersebut tak luput dari penentangan dari beberapa pihak.
Purti dari Presiden ke-4 Gus Dur, Alissa Wahid berpendapat bahwa tidak boleh memaksakan semua agama memedomani aturan pernikahan beda agama dan akan membingungkan agama-agama yang membolehkan pernikahan beda agama jika pelarangan nikah beda agama dijadikan kebijakan negara (Kompas, 27 Juli 2023).
Direktur Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholis, menyatakan bahwa SEMA adalah kemunduran luar biasa bagi Mahkamah Agung dan mempengaruhi hakim-hakim progresif secara psikologis untuk menolak pencatatan pernikahan beda agama (BBC, 20 Juli 2023).
Usaha promosi dan legalisasi pernikahan beda agama yang dilakukan merupakan bentuk nyata dari kampanye moderasi beragama yang makin gencar dilakukan beberapa tahun terakhir ini.
Pengaburan syari’at Islam dianggap sebagai bentuk toleransi keberagaman agama dan keyakinan di Indonesia. Lama kelamaan, kaum Muslim akan meninggalkan syari’at akibat termakan rayuan toleransi beragama sebagai nilai yang harus dijunjung tinggi di masyarakat.
Ajaran agama pun akan benar-benar hilang dari kehidupan bermasyarakat. Penolakan larangan pernikahan agama sebagai kebijakan negara dengan klaim bahwa pernikahan merupakan urusan privat masing-masing individu sejalan dengan sekularisme yang membatasi agama dari kehidupan, yang berujung pemisahan agama dari negara.
Sekularisme melahirkan liberalisme, yang menuntut kebebasan individu dalam bertingkah laku, berpendapat, hak kepemilikan, dan beragama. Nilai kebebasan individu yang dijunjung tinggi liberalisme ini kemudian menjadi justifikasi berbagai alasan untuk menafikan syari'at.
Dalam kasus ini, rasa cinta yang tumbuh di hati calon pasangan hidup menjadi sebabnya. Padahal seorang Muslim sejatinya harus meletakkan rasa cinta dan benci sesuai apa" yang Allah SWT. cinta dan benci.
Sekularisme dan anak-anak cabangnya jelas bertentangan dengan hakikat Islam sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Umat Muslim telah diwajibkan oleh Allah untuk meluruskan dan mencegah siapapun yang telah melanggar batas-batas syari’at serta tidak juga luput mengemban dakwah Islam kepada seluruh umat manusia.
Perkara pelanggaran syari’at Islam seperti pernikahan beda agama dan lain-lainnya hanya akan berhenti jika Islam dijadikan sebagai landasan bernegara.
Allah Swt. Telah menurunkan Islam dengan pengaturan yang sempurna pada seluruh aspek kehidupan, termasuk pernikahan. Syari’at telah membatasi pernikahan beda agama hanya antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab (Nasrani dan Yahudi) yang senantiasa menjaga kehormatan mereka seperti firman Allah SWT.
Dalam surah Al-Ma'idah ayat 5, serta melarang mereka menikahi wanita musyrik. Sebaliknya bagi wanita muslimah, tidak dihalalkan pernikahan antara mereka dengan lelaki kafir, baik dari golongan ahli kitab maupun golongan musyrik.
Pernikahan beda agama yang dilakukan diluar batas-batas tadi menjadi tidak sah dan dinilai sebagai perzinaan. Pernikahan merupakan institusi yang penting dalam peradaban Islam karena didalamnyalah lahir dan terdidiknya generasi selanjutnya.
Selain itu, pernikahan merupakan manifestasi gharizah nau’ (naluri melestarikan jenis) antara laki-laki dan wanita, sebab Islam melarang hubungan seksual antara laki-laki dan wanita diluar pernikahan. Oleh karena itu, Islam mendorong kaum Muslim untuk menjadikan agama sebagai kriteria utama yang harus diperhatikan oleh mereka yang hendak menikah.
Rasulullah SAW. bersabda,"
“Wanita itu dinikahi karena empat hal, yakni karena keturunannya, karena kecantikannya, karena kekayaannyam dan karena agamanya. Maka nikahilah wanita karena agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (HR. Bukhari).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW. bersabda, “Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi)
Oleh karena itu, dakwah Islam harus memfokuskan tujuan tidak hanya dengan perbaikan level individu, tetapi juga menegakkan sistem pemerintahan Islam sehingga ajaran Islam tidak hanya diterapkan dibagian kecil kehidupan, tetapi secara sempurna di seluruh aspek kehidupan.
Oleh: Nanda Jihan Sabila
Aktivis Muslimah
0 Komentar