Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mata Rantai Kapitalistik dalam Insentif Mobil Listrik

Topswara.com -- Tren penggunaan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) secara global mengalami peningkatan. Pun demikian yang terjadi di Indonesia. Adanya isu pemanasan global dan perubahan iklim (climate change) menginisiasi sebagian besar negara di dunia untuk mengalihkan penggunaan sumber energi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan (renewable enery). 

Puncaknya di tahun 2011 emisi karbon dioksida melonjak drastis, yaitu 150 kali lebih tinggi dibandingkan jumlah emisi di tahun 1850. Karena sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia semakin beragam dengan ditemukannya bahan bakar fosil. 

Hal ini mengakibatkan suhu bumi naik 1,1 derajat celsius. Dan dalam dekade terakhir 2011-2020 merupakan rekor terpanas.
Efek lebih lanjut dari adanya perubahan iklim antara lain, mencairnya es di kutub, naiknya permukaan laut, meningkatnya frekuensi kondisi hidrometeorologis ekstrim (banjir, badai siklon, kemarau, kekeringan, kebakaran), dan rusaknya keanekaragaman hayati.

Pada tahun 2015 lahirlah Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang merupakan kesepakatan global untuk menghadapi perubahan iklim. Di tahun berikutnya secara resmi 196 negara melakukan penandatanganan dengan kesepakatan melakukan kerjasama untuk menghadapi perubahan iklim. 

Setidaknya ada tiga aksi yang dicanangkan, yaitu pengurangan emisi karbon, adaptasi dengan adanya dampak iklim, dan mendanai penyesuaian yang dibutuhkan. Keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan Perjanjian Paris inilah yang mengikat Indonesia dalam kesepakatan-kesepakatan yang harus dijalankan untuk mengurangi pemanasan global. 

Karena itu, sejak tahun 2019 hingga tahun 2020 pemerintah telah menyiapkan banyak regulasi yang berkaitan dengan kendaraan listrik berbasis baterai. Setidaknya ada 7 regulasi untuk menguatkan program kendaraan listrik berbasis baterai. Regulasi tersebut ada mulai dari Peraturan Presiden (Perpres) hingga turunannya setingkat kementrian.

Adanya isu pemanasan global dan perubahan iklim yang telah menjadi masalah internasional melibatkan kebijakan-kebijakan di banyak negara. Terutama negara-negara yang ikut bergabung dalam lembaga internsional PBB. Indonesia temasuk di dalamnya. Karena itulah, Indonesia mau tidak mau harus turut andil agar mendapatkan pengakuan secara internasional dengan cara ikut berperan aktif dalam penyelesaian permasalahan internasional.

Secara tidak langsung, itulah jaring dari sistem kapitalis yang mengikat negara-negara pengikutnya. Meskipun pembahasannya terkait dengan penanggulangan hingga penyelesaian tentang meningkatnya emisi karbon secara global, tetapi ikatan mata rantai sistem kapitalis tidak akan mudah lepas. Setiap negara harus mengikuti kesepakatan global. 

Termasuk dengan adanya program peralihan kendaraan berbasis bahan bakar fosil ke kendaraan berbasis baterai. Kesepakatan tersebut jika dilanggar akan menyebabkan pengucilan secara internasional dan akan dianggap sebagai negara yang tidak konsen pada perubahan yang lebih baik.

Inilah yang menyebabkan pemerintah Indonesia menggenjot keberadaan kendaraan listrik berbasis baterai, tanpa adanya persiapan ekosistem kendaraan listrik secara menyeluruh. Hanya melakukan penyelesaian secara praktis, secara instan. Tidak menyeluruh berdasarkan akar utama masalah ini bermula.

Hal selanjutnya yang harus dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah dengan adanya pemberian insentif untuk pembelian mobil listrik. Sebab harga mobil listrik masih tergolong mahal. Bahkan banyak yang banderolnya mendekati Rp 1 miliar lebih. 

Presiden Jokowi pun menyinggung alasan pemerintah yang memberikan insentif kendaraan listrik. Presiden Jokowi menjelaskan bahwa pemerintah memberikan subsidi dikarenakan negara lain pun melakukan hal yang sama (finance.detik.com, 18/08/2023).

Selain itu, adanya pemberian insentif kendaraan listrik dilakukan guna mendorong pengembangan ekosistem industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). 

Selanjutnya, pemerintah akan memperkenalkan serangkaian insentif yang diarahkan. Baik dari sisi supply maupun demand yang berguna untuk menstimulus investasi dan penggunaan kendaraan listrik oleh masyarakat secara luas (cnbcindonesia.com, 16/08/2023).

Pemberian insentif tersebut dimaksudkan agar masyarakat semakin banyak yang membeli kendaraan listrik sehingga mereka tidak lagi menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil. Benarkah demikian? 

Justru sebagian besar masyarakat menyangsikan akan kesadaran masyarakat terhadap perbaikan lingkungan ketika menggunakan kendaraan listrik berbasis baterai. Adanya insentif hanya akan menambah jumlah kendaraan di jalanan. Dengan demikian jumlah kendaraan semakin meningkat, kemacetanpun diperkirakan semakin parah.

Menurut Abdul Ghofar, juru kampanye polusi dan urban WALHI Nasional, dorongan untuk bertransisi dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik dinilai sebagai hal yang nyambung tidak nyambung dengan situasi polusi udara yang semakin memburuk. Bahkan berdasarkan catatan WALHI Nasional, masih sebanyak 85 persen sumber energi di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil. Sekitar 60 persen lebih berbentuk PLTU batubara dan sisanya berbentuk PLTU lain (bbc.com, 21/08/2023).

Adanya kendaraan listrik yang dianggap solusi, justru menimbulkan masalah polusi baru di tempat lainnya. Inilah yang disebut dengan teknologi berwawasan lingkungan yang justru merusak lingkungan. 

Kendaraan listrik berbasis baterai membutuhkan eksploitasi nikel untuk produksi baterainya. Salah satu ekosistem yang rusak akibat eksploitasi nikel adalah ekosistem di Pulai Obi Halmahera Selatan.

Penggunaan mobil listrik maupun motor listrik secara masif pun akan meningkatkan eksploitasi batubara. Mengapa demikian? Karena sebagian besar sumber energi listrik di Indonesia masih mengandalkan energi dari batubara.

Juru bicara bidang iklim dan energi greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu menyatakan bahwa kalaupun mau kendaraan listrik harusnya ada transisi energi, harus diubah terlebih dahulu menjadi energi bersih, baru solusi kendaraan listrik yang dikedepankan (bbc.com, 21/08/2023).

Bagaimana Islam memberikan solusi?

Karena saat ini sistem kehidupan yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah sistem kapitalisme, tentu sebagian besar solusinya pun ala kapitalisme. Hal ini tentu akan berbeda ketika syariat Islam dijadikan sebagai panduan dalam menata kehidupan ini.

Dalam Islam, solusi yang ditawarkan tidak boleh tebang pilih. Tetapi harus secara holistik dan komprehensif. Masalah pemanasan global dan perubahan iklim tidak cukup diatasi hanya dengan mengandalkan solusi teknis belaka dengan penggunaan mobil listrik misalnya. 

Karena masalah ini merupakan masalah sistemis, maka Islam pun akan menghadirkan solusinya berupa solusi sistemis. Yaitu dengan menjadikan sebagai sebuah sistem kehidupan menggantikan sistem kapitalisme yang saat ini masih menjadi sistem dominan dalam percaturan dunia.

Untuk menuju ke arah tersebut, bukanlah hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan kembali. Karena hanya sistem Islamlah yang terbukti mampu serlam ratusan bahkan ribuan tahun mengelola kehidupan manusia dengan sistem yang tidak tertandingi hingga saat ini.

Dalam sebuah pemerintahan yang menjadikan Islam sebagai aturan pemerintahannya, maka akan menjalankan beberapa hal berlandaskan aturan Islam.

Pertama, negara yang menjadikan Islam sebagai landasannya, akan menggunakan konsep keimanan Islam sebagai pondasi negara. Karena itulah, dari awal perlu adanya kesadaran umum yang terbentuk secara dominan di tengah-tengah masyarakat akan butuhnya kita diatur oleh aturan Islam. 

Meningkatkan kesadaran umat bahwa Islam tidak sekedar agama ritual semata. Tetapi, Islam merupakan satu-satunya agama yang memiliki sebuah sistem kehidupan yang mampu dijadikan sebagai solusi dalam pengaturan kehidupan manusia.

Kedua, berkaitan dengan kepemilikkan, maka akan dipisahkan adanya kepemilikkan umum, individu, dan negara. Sebagaimana sumber daya yang bisa memenuhi hajat hidup orang banyak akan dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan dalam rangka pemenuhan kebutuhan umat. Baik itu kebutuhan individu berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, maupun keamanan. Umat berhak untuk mendapatkannya secara baik.

Ketiga, sebuah negara dengan sistem pemerintahan Islam tidak diperkenankan untuk mengadakan kerjasama maupun perjanjian multirateral. Bentuk kerjasama yang ideal adalah bentuk kerjasama bilateral. Tidak boleh melakukan kerjasama dengan dengan yang secara jelas dan terang-terangan menyerang Islam (negara kafir harbi fi’lan). Kerjasama yang terjadi pun merupakan kerjasama yang nantinya akan menguatkan dalam negeri. Bukan berupa kerjasama seperti kacung dengan tuannya.

Keempat, negara yang menggunakan Islam dalam pemerintahannya akan menstandarkan pengelolaan negara berlandaskan Islam dan pemecahan masalah kehidupan dikembalikan pada aturan Islam. 

Hal ini mampu diwujudkan karena Islam memiliki aturan yang lengkap dan menyeluruh. Saat ini tinggal menunggu kesadaran umat untuk merindukan penerapan aturan Islam dan berjuang bersama-sama dalam mewujudkan sebuah negara yang menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan dalam pemerintahannya.

Maka selayaknya kita sebagai umat Islam makin menyadari bahwa kompleksitas permasalahan hidup manusia bukan karena tidak berkualitasnya manusia. Tetapi, aturan kehidupan saat inilah biang utama masalah disetiap lini kehidupan manusia. Baik itu di negeri-negeri Muslim maupun di negara-negara kafir.

Saatnya kita kembalikan lagi kesadaran umat untuk kembali pada Islam, memperjuangkan, mengusahakan tegaknya kembali sebuah institusi negara yang menjadikan Islam sebagai aturan utamanya. 

Wallahua’lam bishawab.


Oleh: R. Nugraha, S.Pd.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar